Aku sejenak menghentikan pandangan dari buku novel yang
kubaca. Menatap jemuran baju klub sepakbola yang bergoyang-goyang karena
terpaan angin sawah. Menerawang betapa bersihnya langit ketika ia ceria.
Burung-burung pun seakan bergemberi karena sejak dari tadi pagi langit tidak
menampakkan tanda-tanda akan bersedih.
“Nak,
ayuk makan. Makanan sudah siap. Ibu masak sayur sop lho,” terdengar suara ibu
dari balik pintu tepat ketika aku berniat melanjutkan kembali membaca novel di
tangan.
“Baik
Bu,” cepat-cepat aku jawab seruan itu.
Tanpa
ba-bi-bu langsung kututup buku yang kupegang. Kuikat kembali snack ulir manis
di samping tempatku duduk yang sekarang isinya hanya tinggal setengah. Tak
peduli seberapapun menarik bahasan dalam buku yang kubaca. Bagiku makan makanan
masakan ibu dan bisa duduk bersamanya adalah sesuatu yang lebih spesial dari
itu.
Tak
butuh lama untukku sampai menuju meja makan. Aroma harum yang keluar dari sop
sayur buatan ibu telah memperdayaiku untuk mempercepat langkahku.
Dan
yang kulihat dan selalu kurindukan adalah senyuman itu. Malaikatku mengambilkan
nasi ke piring. Menyodorkannya dengan halus ke arahku.
“Kurang Nak nasinya segini?”
“Tidak, Bu. Cukup.”
Tak mungkin pula ibu mengambilkan nasi itu kelebihan atau
kekurangan. Beliau hafal benar berapa porsi anak kecilnya ini makan. Tidak
kekenyangan dan tidak merasa ‘kelaparan’. Beliau kemudian mencidukkan sop
tersebut ke piring yang telah berisi nasi. Padahal baik piring maupun gelas
yang ada di hadapan ibu masih kosong.
Kelak aku
paham begitulah tabiat ibuku. Aku tak pernah berpikir bagaimana bisa ia yang
memasak namun ia bukan pertama yang mengambilnya. Ia yang memasak namun ia
seringnya kehabisan menu yang ia makan dan hanya berkata lembut pada anaknya.
“Masih kurang nak, ayok nambah. Ibu sudah kenyang”. Bagaimana bisa ia sudah
kenyang padahal seringnya kulihat piring yang ada di depannya masih putih
bersih. Hanya ada segelas air putih yang ia isikan berulang kali untuk
mengatasi laparnya.
“Bu, masakan Ibu enak sekali. Gimana si bu caranya bisa
masak seenak ini?” tanyaku keheranan karena memang masakan beliau begitu enak
di lidahku.
“Masak-masak saja,” ucapnya sambil mencoba menggodaku
dengan nada agak ketus.
Pipi kanan-kiriku spontan kukembungkan walau masih ada
sop dan kentang di mulutku. Tanda tidak terima dengan jawaban tersebut. Tapi
lagi-lagi Ibu hanya tersenyum. Dan masakan enak yang masih di mulut seolah
menjadi obat emosi yang mujarab.
“Masak sih iya jawabannya cuma masak masak aja?” gumamku
dalam hati.
***
Aku
masihlah anak kecil yang sama ketika terakhir merasa ‘kesal’ dengan jawaban
masak-masak aja dari ibu. Hanya sekarang sudah 20 tahun berlalu dan aku telah
menikah dengan seorang bidadari bernama Lana. Dia kusebut sebagai bidadari karena
ada harapan besar bahwa Lana pulalah yang akan menuntun dan membersamaiku di
Surga bersama-sama. Dengan kelembutan hati dan kesantunan perangainya. Meski
kadang-kadang ia muncul dengan sifat agak ‘menyebalkan’ yang mampu membuat kami
berdua tertawa. Lebih tepatnya, Dia agak sensitif.
Jalanan telah disinari cahaya berwarna orange.
Lampu-lampu di kanan kiri jalan juga mulai menyala satu satu secara otomatis.
Memanfaatkan sensor cahaya dan tenaga surya sebagai sumber tenaga di malam
hari. Aku turun dari mobil. Masuk ke warung. Membeli menu makanan untuk dimakan
bersama istri di rumah.
“Assalamualaikum,
Bun.”
“Waalaikumsalam,
Eh Ayah pulang”
Aku
hafal sekali dengan kalimat yang ia ucapkan barusan. Karena bidadari itu
menunggu tiap malam untuk menyambut kedatanganku dengan senyum merekah bak
kuncup bunga yang baru diguyur hujan tadi malam.
“Bun, ini Ayah bawa nasi padang.
Ayah beli tadi di jalan.”
“Ayah, Bunda ingin belajar masak.”
“Kenapa Bun? Kok tiba-tiba gitu?”
“Masa
Ayah setiap hari makan masakan orang lain. Nanti kalau hati ayah terpaut kepada
yang punya masakan padang gimana?” Ia mengucapkan kalimat tersebut sambil
terkekeh-kekeh. Meski aku sebenarnya tahu, ada perasaan sedih dalam ucapan
tersebut. Ia memang dari dulu belum pernah memasak sebelumnya.
***
Di
minggu pagi aku mengantarkan dia membeli buku resep. Menu yang ia incar adalah
sop sayur. Karena istriku tahu, itu
masakan favoritku sejak dulu.
Kalian
pasti tahu, gimana gerak gerik orang yang baru mau belajar masak jika akan
memasak bukan. Semuanya ditimbang seteliti mungkin. Jika 20gram garam yang
tertulis di buku resep maka harus seberat itu pula lah yang istriku tuangkan ke
dalam kuali. Bahkan menurutku, aku kadang melihat dia menghitung berapa kali
dia mengaduk kuali berisi sop sayur tersebut. Sampai aku bertanya dalam hati.
Apa buku resepnya sampai bilang berapa kali adukan?
Sebuan
sajian telah terhidang di meja makan. Lana menyuguhkan masakan tersebut dengan
harap harap cemas.
“Wah,
masakan pertama istriku nih. Cobain ah…”
“Iya
yah, kan untuk Ayah seorang.”
Terlihat
dari wajahnya, perasaan deg degan dan kecemasan itu. Mungkin diamerasa khawatir
dengan rasa masakan yang dia hidangkan. Dan kalian tahu, wajah khawatir itu
tetap saja terihat menawan. Cantik
“Enak
tidak Yah?”
“Keasinan tidak?”
“Apa kurang kental kuahnya?” tanyanya padaku.
Aku hanya tersenyum manis kepada Lana. Melahap sesemangat
layaknya aku benar benar lapar. Aku tahu benar-benar masakan itu tidak begitu
enak di lidah. Tapi melihat kegigihannya entah kenapa di hati terasa lebih
lezat dari rasa yang dikecap di lidah.
Hari-hari telah berganti. Lembaran-lembaran kalender
harian telah lama tersobek. Dan Lana masih terus belajar memasak.
Ia terus memasak, dan lama kelamaan buku resep yang
menjadi panutan dalam dia memasak disimpan rapat-rapat di lemari dapur.
Mengenai takaran bumbu? Ia hanya menggunakan feeling-nya.
Bidadari itu tetap menemaniku ketika makan. Namun
sekarang dengan wajah santai. Tidak terliat sedikitpun wajah cemas yang tampak
seperti ketika menyuguhkan masakan pertamanya.
“Bun, masakan Bunda enak sekali. Gimana si Bun caranya
Bunda bisa masak seenak ini?” tanyaku keheranan karena memang kali ini masakan
istriku begitu enak.
Aku
kira dia bakalan menjawab memakai bumbu rahasia. Atau mengaduknya dengan cara
yang unik. Atau mungkin dengan tambahan sedikit asam yang berumur 2 bulan.
Namun ternyata bukan itu. Sama sekali tidak ada hubungannya malahan dengan
jawaban yang aku harapkan.
Engkau tahu apa jawabnya?
“Masak, Masak saja,” jawabku istriku dengan nada agak
ketus.
Aku pun hanya mendengus sebal dengan jawaban yang ia
pikirkan. Saking sebalnya aku reflek mencubit pipinya dan berucap gemas.
“Dasar. Ibu sama Istri sama saja. Tingkahmu benar benar mirip dengan ibuku.”
0 komentar:
Posting Komentar