Jumat, 04 Desember 2015

Pelajaran Memasak


            Aku sejenak menghentikan pandangan dari buku novel yang kubaca. Menatap jemuran baju klub sepakbola yang bergoyang-goyang karena terpaan angin sawah. Menerawang betapa bersihnya langit ketika ia ceria. Burung-burung pun seakan bergemberi karena sejak dari tadi pagi langit tidak menampakkan tanda-tanda akan bersedih.

                “Nak, ayuk makan. Makanan sudah siap. Ibu masak sayur sop lho,” terdengar suara ibu dari balik pintu tepat ketika aku berniat melanjutkan kembali membaca novel di tangan.

                “Baik Bu,” cepat-cepat aku jawab seruan itu.

                Tanpa ba-bi-bu langsung kututup buku yang kupegang. Kuikat kembali snack ulir manis di samping tempatku duduk yang sekarang isinya hanya tinggal setengah. Tak peduli seberapapun menarik bahasan dalam buku yang kubaca. Bagiku makan makanan masakan ibu dan bisa duduk bersamanya adalah sesuatu yang lebih spesial dari itu.

                Tak butuh lama untukku sampai menuju meja makan. Aroma harum yang keluar dari sop sayur buatan ibu telah memperdayaiku untuk mempercepat langkahku.

                Dan yang kulihat dan selalu kurindukan adalah senyuman itu. Malaikatku mengambilkan nasi ke piring. Menyodorkannya dengan halus ke arahku.

“Kurang Nak nasinya segini?”
“Tidak, Bu. Cukup.”

Tak mungkin pula ibu mengambilkan nasi itu kelebihan atau kekurangan. Beliau hafal benar berapa porsi anak kecilnya ini makan. Tidak kekenyangan dan tidak merasa ‘kelaparan’. Beliau kemudian mencidukkan sop tersebut ke piring yang telah berisi nasi. Padahal baik piring maupun gelas yang ada di hadapan ibu masih kosong.

Kelak aku paham begitulah tabiat ibuku. Aku tak pernah berpikir bagaimana bisa ia yang memasak namun ia bukan pertama yang mengambilnya. Ia yang memasak namun ia seringnya kehabisan menu yang ia makan dan hanya berkata lembut pada anaknya. “Masih kurang nak, ayok nambah. Ibu sudah kenyang”. Bagaimana bisa ia sudah kenyang padahal seringnya kulihat piring yang ada di depannya masih putih bersih. Hanya ada segelas air putih yang ia isikan berulang kali untuk mengatasi laparnya.

“Bu, masakan Ibu enak sekali. Gimana si bu caranya bisa masak seenak ini?” tanyaku keheranan karena memang masakan beliau begitu enak di lidahku.

“Masak-masak saja,” ucapnya sambil mencoba menggodaku dengan nada agak ketus.

Pipi kanan-kiriku spontan kukembungkan walau masih ada sop dan kentang di mulutku. Tanda tidak terima dengan jawaban tersebut. Tapi lagi-lagi Ibu hanya tersenyum. Dan masakan enak yang masih di mulut seolah menjadi obat emosi yang mujarab.

“Masak sih iya jawabannya cuma masak masak aja?” gumamku dalam hati.
***

                Aku masihlah anak kecil yang sama ketika terakhir merasa ‘kesal’ dengan jawaban masak-masak aja dari ibu. Hanya sekarang sudah 20 tahun berlalu dan aku telah menikah dengan seorang bidadari bernama Lana. Dia kusebut sebagai bidadari karena ada harapan besar bahwa Lana pulalah yang akan menuntun dan membersamaiku di Surga bersama-sama. Dengan kelembutan hati dan kesantunan perangainya. Meski kadang-kadang ia muncul dengan sifat agak ‘menyebalkan’ yang mampu membuat kami berdua tertawa. Lebih tepatnya, Dia agak sensitif.

Jalanan telah disinari cahaya berwarna orange. Lampu-lampu di kanan kiri jalan juga mulai menyala satu satu secara otomatis. Memanfaatkan sensor cahaya dan tenaga surya sebagai sumber tenaga di malam hari. Aku turun dari mobil. Masuk ke warung. Membeli menu makanan untuk dimakan bersama istri di rumah.

                “Assalamualaikum, Bun.”
                “Waalaikumsalam, Eh Ayah pulang”

                Aku hafal sekali dengan kalimat yang ia ucapkan barusan. Karena bidadari itu menunggu tiap malam untuk menyambut kedatanganku dengan senyum merekah bak kuncup bunga yang baru diguyur hujan tadi malam.

                “Bun, ini Ayah bawa nasi padang. Ayah beli tadi di jalan.”
                “Ayah, Bunda ingin belajar masak.”
                “Kenapa Bun? Kok tiba-tiba gitu?”
                “Masa Ayah setiap hari makan masakan orang lain. Nanti kalau hati ayah terpaut kepada yang punya masakan padang gimana?” Ia mengucapkan kalimat tersebut sambil terkekeh-kekeh. Meski aku sebenarnya tahu, ada perasaan sedih dalam ucapan tersebut. Ia memang dari dulu belum pernah memasak sebelumnya.
                ***

                Di minggu pagi aku mengantarkan dia membeli buku resep. Menu yang ia incar adalah sop sayur. Karena istriku  tahu, itu masakan favoritku sejak dulu.

                Kalian pasti tahu, gimana gerak gerik orang yang baru mau belajar masak jika akan memasak bukan. Semuanya ditimbang seteliti mungkin. Jika 20gram garam yang tertulis di buku resep maka harus seberat itu pula lah yang istriku tuangkan ke dalam kuali. Bahkan menurutku, aku kadang melihat dia menghitung berapa kali dia mengaduk kuali berisi sop sayur tersebut. Sampai aku bertanya dalam hati. Apa buku resepnya sampai bilang berapa kali adukan?

                Sebuan sajian telah terhidang di meja makan. Lana menyuguhkan masakan tersebut dengan harap harap cemas.

                “Wah, masakan pertama istriku nih. Cobain ah…”
                “Iya yah, kan untuk Ayah seorang.”

                Terlihat dari wajahnya, perasaan deg degan dan kecemasan itu. Mungkin diamerasa khawatir dengan rasa masakan yang dia hidangkan. Dan kalian tahu, wajah khawatir itu tetap saja terihat menawan. Cantik

                “Enak tidak Yah?”
“Keasinan tidak?”
“Apa kurang kental kuahnya?” tanyanya padaku.

Aku hanya tersenyum manis kepada Lana. Melahap sesemangat layaknya aku benar benar lapar. Aku tahu benar-benar masakan itu tidak begitu enak di lidah. Tapi melihat kegigihannya entah kenapa di hati terasa lebih lezat dari rasa yang dikecap di lidah.

Hari-hari telah berganti. Lembaran-lembaran kalender harian telah lama tersobek. Dan Lana masih terus belajar memasak.

Ia terus memasak, dan lama kelamaan buku resep yang menjadi panutan dalam dia memasak disimpan rapat-rapat di lemari dapur. Mengenai takaran bumbu? Ia hanya menggunakan feeling­-nya.

Bidadari itu tetap menemaniku ketika makan. Namun sekarang dengan wajah santai. Tidak terliat sedikitpun wajah cemas yang tampak seperti ketika menyuguhkan masakan pertamanya.

“Bun, masakan Bunda enak sekali. Gimana si Bun caranya Bunda bisa masak seenak ini?” tanyaku keheranan karena memang kali ini masakan istriku begitu enak.

                Aku kira dia bakalan menjawab memakai bumbu rahasia. Atau mengaduknya dengan cara yang unik. Atau mungkin dengan tambahan sedikit asam yang berumur 2 bulan. Namun ternyata bukan itu. Sama sekali tidak ada hubungannya malahan dengan jawaban yang aku harapkan.
Engkau tahu apa jawabnya?
“Masak, Masak saja,” jawabku istriku dengan nada agak ketus.

Aku pun hanya mendengus sebal dengan jawaban yang ia pikirkan. Saking sebalnya aku reflek mencubit pipinya dan berucap gemas.
“Dasar. Ibu sama Istri sama saja. Tingkahmu  benar benar mirip dengan ibuku.”


0 komentar:

Posting Komentar