18 Februari 2015
Murid-murid
berpakaian putih abu-abu mulai bermunculan satu demi satu dari pintu kelas.
Kursi-kursi di ruangan hampir terisi penuh. Hanya menyisakan kursi kosong milik
guru dan satu kursi di bagian murid.
“Kemana pula tuh Dewi? Sudah jam tujuh kurang lima
menit nih, masa nggak datang-datang juga tuh anak. Apa dia terlalu bahagia?”
ucap Hani kepada teman-teman yang tengah duduk-duduk lesehan di samping pintu.
Muncul suara berderit ketika seorang gadis bertas pink membuka pintu dari sisi luar dengan
perlahan.
“Tuh dia orangnya!” seru Hani kegirangan melihat Dewi
muncul dari balik pintu. Hani langsung meloncat dan menghampiri sahabatnya
tersebut. Menampilkan mata yang seakan menyimpan sejuta pertanyaan untuk
ditanyakan kepada Dewi.
“Cieeee Dewi sudah gede nih ye, sekarang ngerti
cinta-cintaan gitu!” goda Hani yang diikuti dengan tawa dari teman-teman yang
duduk bersama Hani.
Yang digoda justru ber-hah tak mengerti sambil
menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Siapa tuh namanya, Doni yang ganteng, kece dan tajir
itu ya. Pantas saja dia suka kamu Dew. Secara kau juga cantik, baik, peringkat
1 paralel di sekolah dan kemarin-kemarin baru menang lomba-lomba bikin program
gitu. Ah apalah itu namanya. Aku tak mengerti. Kau begitu beruntung bisa
berpasangan dengan Doni.”
Teman-teman riuh dan serempak mengangguk. Tanda
sepakat membenarkan apa yang barusan Hani ucapkan. Dulu ketika hari pertama
menginjakkan sekolah putih abu-abu, para perempuan takjub dan tak bisa
melepaskan pandangan ketika Doni lewat dengan moge berwarna merah darah.
“Beruntung?” desah Dewi pelan.
***
31 Januari
2014
Para
siswa-siswi mulai meninggalkan sekolah, Dewi menatap jam tangan putih di tangan
kirinya, tertera angka 14:11 dan 31:01:14. Pengharum ruangan yang tergantung di
AC bergoyang-goyang ikut menemani dewi yang tengah sibuk menghadap laptop di meja.
“Software ini harus segera kuselesaikan,
semoga ibu bisa bersabar menunggu anaknya 15 menit lagi” gumam Dewi dengan tawa
getir yang dipaksakan.
Dewi
bergegas pulang berharap menyantap menu makan siang buatan ibu dengan segera.
Namun langkahnya terhenti ketika ia sadar ada seseorang yang sejak dari tadi
menunggunya di parkiran sepeda sekolah. Membawa mawar merah yang dibungkus
dengan plastik bening di tangan.
“Aku suka
kamu Dewi, maukah kau jadi kekasihku?” tiba-tiba Doni mengucapkan kalimat
tersebut sambil duduk bersimpuh menyodorkan mawar merah.
“Apa apaan
si kamu Don?” sambil menuntun sepedanya ke luar sekolah.
“Kau mau
kemana?”
“Ibuku sudah
menungguku..”
Maka
hari-hari sejak kejadian itu kehidupan Dewi menjadi merasa terganggu. Doni
terus menerus mengucapkan aku suka kamu di tiap kesempatan. Saat istirahat dia
mengikuti Dewi hingga ke kantin. Membayar penuh apa yang dibeli Dewi di warung
tadi. Berteriak di luar kelas saat jam pelajaran sekolah tengah berlangsung,
aku suka kamu Dewi.
Pernah suatu
ketika Dewi sedang bersepeda sepulang sekolah, tiba-tiba Doni memotong jalan
sepeda Dewi dengan motor CBRnya. Bergegas turun dan melakukan hal yang sama
dengan kemarin. Menyodorkan mawar merah ditambah sepotong coklat berbentuk
hati. Dilihat oleh murid-murid lain yang hendak pulang kerumah ditambah lagi
tatapan mata orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya. Penembakan, orang-orang menyebutnya.
Dewi justru
langsung memutar sepedanya, mengayuh pedal sekuat tenaga sambil menitikkan air
mata. Cairan hangat itu membasahi pipi putih bersihnya, jatuh dan langsung
menguap lantaran panasnya aspal terpanggang terik matahari.
“Apaan-apaan
Doni ini?” Dewi terisak.
***
8 Februari 2015
Suara gemericik air
mancur di halaman sekolah terdengar riuh. Hari minggu suasana sekolah memang
begitu lengang, hanya menyisakan satu dua orang yang ditugaskan untuk menyapu
ruang kelas. Dewi telah menunggu kedatangan Doni. Berusaha menyudahi tingkahnya
yang menyebalkan sejak seminggu terakhir.
“Ada apa Dewi? Apa kau mau menerima cintaku?”
“Begini saja, besok kita lomba siapa yang sanggup
berangkat pagi duluan ke sekolah. kalau ternyata aku duluan yang datang, maka
kau sudahi aku suka Dewi atau aku cinta Dewi yang kau gembar gemborkan. Dan kalau kau yang menang….”
“Kau akan jadi pacarku?” kedua matanya terbuka lebar,
alis terangkat ke atas, sambil mengepalkan tangan mantap.
Dewi menjulurkan lidah ke luar. Menarik kulit di
bawah mata kirinya dengan jari telunjuk. Meskipun dengan wajah yang seperti
itu, dia tetap tampak cantik. Lomba ini dipilih karena Dewi tahu bahwa di
catatan piket guru, hampir selalu ada nama Doni tertulis di bagian siswa yang
telat.
***
9 Februari 2015
Langit masih gelap,
pukul enam pagi ketika Dewi tiba di sekolah. Aroma tanah yang basah menyeruak
lantaran semalaman diguyur hujan. Kali ini dia yakin pasti akan menang. Bahkan
satpam pun baru membukakan pintu gerbang untuk dirinya tadi.
Dewi
bersenandung sembari berlompat-lompat kecil. Memasuki sekolah. menyanyikan
lirih lirik bersiap untuk jadi pemenang milik Sheila on 7.
“Akhirnya
berakhir sudah penderitanku,” sambil mengusap dada dan menghembuskan nafas
panjang.
Tapi apa
yang dia lihat sungguh tak terduga. Motor CBR itu sudah berdiri gagah di
parkiran sekolah. Si pemilik tidur di dalam kelas memakai seragam sekolah,
lengkap dengan topi upacara. Dewi tak menduganya, berusaha untuk langsung
menghindar agar tidak terlihat oleh Doni. Tapi si orang yang tidur tadi justru
terbangun karena derap langkah Dewi yang buru buru mau kabur.
“Aku menang kan?” ucap Doni samar samar.
***
Hari-hari menyebalkan
Maka hari hari sejak hari itu tidaklah sama lagi.
Sudah berjalan seminggu sejak kejadian Doni tidur di sekolah demi memenangkan
lomba itu.
Doni selalu menanyakan lewat sms, whatsapp, dan line tentang kabar, Dewi sedang apa, dengan siapa. Namun, Dewi
tidak pernah membalasnya kecuali untuk hal yang menurutnya penting. Dewi merasa
sebal dengan tingkah polah Doni, di tengah jam pelajaran saat Dewi presentasi
makalah, hp-nya tiba-tiba bunyi. sms dari Doni “Sudah sarapan, Yang?”
“Tolonglah bales smsku wi. Bukankah aku menang lomba
itu? Aku jadi gundah gulana kalau tak kau bales pesan-pesan dariku”
“Oke, Fine. Aku bantu”
Besoknya
rona wajah Doni terlihat semakin bersinar. Ia merasa bangga bisa punya kekasih
macam Dewi. Setiap pesan yang dikirimkan, selalu dibalas dengan cepat oleh
Dewi. Doni merasa diperhatikan, benar-benar diperhatikan.
***
18 Februari 2015
“Dewi, kenapa kau selalu menolak pulang bareng
denganku? Bukankah kita pacaran?”
“Sejak kapan?”
“Sejak aku menang lomba berangkat pagi itu, kau
bilang kalau kau….”
“Aku mau jadi pacarmu? Yakin kau kalau aku
mengatakannya?” Dewi memotong kalimat Doni yang belum selesai diucapkan.
Seketika Doni mengingat Minggu 8 Februari lalu,
memang benar ternyata bahwa Dewi tidak mengatakan apa apa. Dia hanya
menjulurkan lidah tanda mengejek dan yang terjadi, Doni berasumsi bahwa hadiah
dari kemenangan itu adalah Dewi mau jadi kekasihnya.
“Tapi kan kau selalu menjawab pesanku, selalu
memperhatikanku, bukankah itu tandanya kau juga suka padaku?” tanya Doni dengan
perasaan kesal.
“Itu hanya program. Program Autoreply yang kubuat. Kau tak ingat bahwa aku pernah jadi juara programmer tingkat nasional? Tak sulit
untuk membuatnya. Yang kau cinta itu bukan orang, tapi balasan akan
pesan-pesanmu. Makanya aku membantumu, membuatkan program yang bisa otomatis
menjawab pesanmu dengan singkat dengan jawaban yang telah kusiapkan semuanya.”
“Hah?” mulut Doni terbuka lebar. Setengah tidak
percaya mendengar penjelasan Dewi barusan.
“Samperin aja Bapakku.”
*****
0 komentar:
Posting Komentar