Selasa, 08 Desember 2015

Dewi





18 Februari 2015

Murid-murid berpakaian putih abu-abu mulai bermunculan satu demi satu dari pintu kelas. Kursi-kursi di ruangan hampir terisi penuh. Hanya menyisakan kursi kosong milik guru dan satu kursi di bagian murid.

                “Kemana pula tuh Dewi? Sudah jam tujuh kurang lima menit nih, masa nggak datang-datang juga tuh anak. Apa dia terlalu bahagia?” ucap Hani kepada teman-teman yang tengah duduk-duduk lesehan di samping pintu.

                Muncul suara berderit ketika seorang gadis bertas pink membuka pintu dari sisi luar dengan perlahan.

                “Tuh dia orangnya!” seru Hani kegirangan melihat Dewi muncul dari balik pintu. Hani langsung meloncat dan menghampiri sahabatnya tersebut. Menampilkan mata yang seakan menyimpan sejuta pertanyaan untuk ditanyakan kepada Dewi.

                “Cieeee Dewi sudah gede nih ye, sekarang ngerti cinta-cintaan gitu!” goda Hani yang diikuti dengan tawa dari teman-teman yang duduk bersama Hani.

                Yang digoda justru ber-hah tak mengerti sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

                “Siapa tuh namanya, Doni yang ganteng, kece dan tajir itu ya. Pantas saja dia suka kamu Dew. Secara kau juga cantik, baik, peringkat 1 paralel di sekolah dan kemarin-kemarin baru menang lomba-lomba bikin program gitu. Ah apalah itu namanya. Aku tak mengerti. Kau begitu beruntung bisa berpasangan dengan Doni.”

                Teman-teman riuh dan serempak mengangguk. Tanda sepakat membenarkan apa yang barusan Hani ucapkan. Dulu ketika hari pertama menginjakkan sekolah putih abu-abu, para perempuan takjub dan tak bisa melepaskan pandangan ketika Doni lewat dengan moge berwarna merah darah.

                “Beruntung?” desah Dewi pelan.

***

31 Januari 2014

Para siswa-siswi mulai meninggalkan sekolah, Dewi menatap jam tangan putih di tangan kirinya, tertera angka 14:11 dan 31:01:14. Pengharum ruangan yang tergantung di AC bergoyang-goyang ikut menemani dewi yang tengah sibuk menghadap  laptop di meja.

Software ini harus segera kuselesaikan, semoga ibu bisa bersabar menunggu anaknya 15 menit lagi” gumam Dewi dengan tawa getir yang dipaksakan.

Dewi bergegas pulang berharap menyantap menu makan siang buatan ibu dengan segera. Namun langkahnya terhenti ketika ia sadar ada seseorang yang sejak dari tadi menunggunya di parkiran sepeda sekolah. Membawa mawar merah yang dibungkus dengan plastik bening di tangan.

“Aku suka kamu Dewi, maukah kau jadi kekasihku?” tiba-tiba Doni mengucapkan kalimat tersebut sambil duduk bersimpuh menyodorkan mawar merah.

“Apa apaan si kamu Don?” sambil menuntun sepedanya ke luar sekolah.
“Kau mau kemana?”
“Ibuku sudah menungguku..”

Maka hari-hari sejak kejadian itu kehidupan Dewi menjadi merasa terganggu. Doni terus menerus mengucapkan aku suka kamu di tiap kesempatan. Saat istirahat dia mengikuti Dewi hingga ke kantin. Membayar penuh apa yang dibeli Dewi di warung tadi. Berteriak di luar kelas saat jam pelajaran sekolah tengah berlangsung, aku suka kamu Dewi.

Pernah suatu ketika Dewi sedang bersepeda sepulang sekolah, tiba-tiba Doni memotong jalan sepeda Dewi dengan motor CBRnya. Bergegas turun dan melakukan hal yang sama dengan kemarin. Menyodorkan mawar merah ditambah sepotong coklat berbentuk hati. Dilihat oleh murid-murid lain yang hendak pulang kerumah ditambah lagi tatapan mata orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya. Penembakan, orang-orang menyebutnya.

Dewi justru langsung memutar sepedanya, mengayuh pedal sekuat tenaga sambil menitikkan air mata. Cairan hangat itu membasahi pipi putih bersihnya, jatuh dan langsung menguap lantaran panasnya aspal terpanggang terik matahari.

“Apaan-apaan Doni ini?” Dewi terisak.
***

8 Februari 2015

                Suara gemericik air mancur di halaman sekolah terdengar riuh. Hari minggu suasana sekolah memang begitu lengang, hanya menyisakan satu dua orang yang ditugaskan untuk menyapu ruang kelas. Dewi telah menunggu kedatangan Doni. Berusaha menyudahi tingkahnya yang menyebalkan sejak seminggu terakhir.

                “Ada apa Dewi? Apa kau mau menerima cintaku?”

                “Begini saja, besok kita lomba siapa yang sanggup berangkat pagi duluan ke sekolah. kalau ternyata aku duluan yang datang, maka kau sudahi aku suka Dewi atau aku cinta Dewi yang kau gembar gemborkan. Dan kalau kau yang menang….”

                “Kau akan jadi pacarku?” kedua matanya terbuka lebar, alis terangkat ke atas, sambil mengepalkan tangan mantap.

                Dewi menjulurkan lidah ke luar. Menarik kulit di bawah mata kirinya dengan jari telunjuk. Meskipun dengan wajah yang seperti itu, dia tetap tampak cantik. Lomba ini dipilih karena Dewi tahu bahwa di catatan piket guru, hampir selalu ada nama Doni tertulis di bagian siswa yang telat.
***

9 Februari 2015

                Langit masih gelap, pukul enam pagi ketika Dewi tiba di sekolah. Aroma tanah yang basah menyeruak lantaran semalaman diguyur hujan. Kali ini dia yakin pasti akan menang. Bahkan satpam pun baru membukakan pintu gerbang untuk dirinya tadi.

Dewi bersenandung sembari berlompat-lompat kecil. Memasuki sekolah. menyanyikan lirih lirik bersiap untuk jadi pemenang milik Sheila on 7.

“Akhirnya berakhir sudah penderitanku,” sambil mengusap dada dan menghembuskan nafas panjang.

Tapi apa yang dia lihat sungguh tak terduga. Motor CBR itu sudah berdiri gagah di parkiran sekolah. Si pemilik tidur di dalam kelas memakai seragam sekolah, lengkap dengan topi upacara. Dewi tak menduganya, berusaha untuk langsung menghindar agar tidak terlihat oleh Doni. Tapi si orang yang tidur tadi justru terbangun karena derap langkah Dewi yang buru buru mau kabur.

                “Aku menang kan?” ucap Doni samar samar.
***

Hari-hari menyebalkan

                Maka hari hari sejak hari itu tidaklah sama lagi. Sudah berjalan seminggu sejak kejadian Doni tidur di sekolah demi memenangkan lomba itu.

                Doni selalu menanyakan lewat sms, whatsapp, dan line tentang kabar, Dewi sedang apa, dengan siapa. Namun, Dewi tidak pernah membalasnya kecuali untuk hal yang menurutnya penting. Dewi merasa sebal dengan tingkah polah Doni, di tengah jam pelajaran saat Dewi presentasi makalah, hp-nya tiba-tiba bunyi. sms dari Doni “Sudah sarapan, Yang?”

                “Tolonglah bales smsku wi. Bukankah aku menang lomba itu? Aku jadi gundah gulana kalau tak kau bales pesan-pesan dariku”

                “Oke, Fine. Aku bantu”

Besoknya rona wajah Doni terlihat semakin bersinar. Ia merasa bangga bisa punya kekasih macam Dewi. Setiap pesan yang dikirimkan, selalu dibalas dengan cepat oleh Dewi. Doni merasa diperhatikan, benar-benar diperhatikan.

                ***

18 Februari 2015

                “Dewi, kenapa kau selalu menolak pulang bareng denganku? Bukankah kita pacaran?”
                “Sejak kapan?”
                “Sejak aku menang lomba berangkat pagi itu, kau bilang kalau kau….”

                “Aku mau jadi pacarmu? Yakin kau kalau aku mengatakannya?” Dewi memotong kalimat Doni yang belum selesai diucapkan.

                Seketika Doni mengingat Minggu 8 Februari lalu, memang benar ternyata bahwa Dewi tidak mengatakan apa apa. Dia hanya menjulurkan lidah tanda mengejek dan yang terjadi, Doni berasumsi bahwa hadiah dari kemenangan itu adalah Dewi mau jadi kekasihnya.

                “Tapi kan kau selalu menjawab pesanku, selalu memperhatikanku, bukankah itu tandanya kau juga suka padaku?” tanya Doni dengan perasaan kesal.

                “Itu hanya program. Program Autoreply yang kubuat. Kau tak ingat bahwa aku pernah jadi juara programmer tingkat nasional? Tak sulit untuk membuatnya. Yang kau cinta itu bukan orang, tapi balasan akan pesan-pesanmu. Makanya aku membantumu, membuatkan program yang bisa otomatis menjawab pesanmu dengan singkat dengan jawaban yang telah kusiapkan semuanya.”

                “Hah?” mulut Doni terbuka lebar. Setengah tidak percaya mendengar penjelasan Dewi barusan.

                “Samperin aja Bapakku.”
                *****





0 komentar:

Posting Komentar