Senin, 27 September 2021

Problematika Bahasa

 

Ternyata jadi orang jawa yang nggak bisa ngomong krama alus itu susah. Kalau ngomong inggris dibilang keminggris. Kalau ngomong indonesia dibilang kemindon? Kalau pake bahasa ngoko dibilang nggak sopan, hiks hiks. Padahal semasa sekolah, ada mata pelajarannya, seminggu sekali dan selama 9 tahun, dan entah kenapa tetap level krama alus ku begitu-begitu saja. Hanya sebatas tahu, tapi nggak mahir menggunakannya.

“Kowe gelem karo wong sing boso karo wongtuo ae raiso?”

Aduh, bayangin balon yang menggelembung besar, terus tiba tiba ujung balonnya dibuka lebar, langsung ciut dan kempes. Persis seperti itu rasanya pas baca sepenggal kalimat tadi.

Ternyata jadi orang jawa yang nggak bisa ngomong krama alus itu susah. Jadi nyesel kenapa dulu tidak belajar serius dan tidak serius pula untuk sering-sering menggunakan. Terlalu terbiasa menggunakan ngoko, jadi ngomong ngoko seperti ringan saja tanpa ada berpikiran “sopan nggak ya?”. Hiks hiks. Aku bahkan nggak ingat sih, kepada siapa aku bicara ngoko, dan kepada siapa aku pakai bahasa indonesia.

Kalau tak pikir-pikir, agak susah sih ya. Karena krama alus itu hanya sering kudengar ketika di acara formal. Kebayang nggak, dalam hidup lebih banyak formalnya atau lebih banyak tidak formalnya? Ditambah lagi karena krama alus adalah bentuk bahasa penghormatan, kita yang muda harus berkrama alus dengan yang tua, sedangkan yang tua bisa ngoko dengan kita yang muda. Dilihat dari probabilitasnya (hilih nyebut istilah apalagi ini) kita yang muda jadi jarang mendengarnya kan ya? Jarang mendengar untuk dijadikan contoh dan pembiasaan, ditambah kalau sesama teman sepantaran, ngoko an bebas.

Orang jawa itu hobinya mbatin. Sepertinya memang gitu sih. Dan jadi dimunculkan pikiran bahwa barangkali setelah mendengar diriku yang tidak bisa berbahasa krama alus dan tanpa sadar ngoko-an, batin mereka bisa berucap.

“Ini anak tidak sopan ya kepadaku”

Ada nggak sih, sebuah teknologi gitu, yang bisa mengantarkan apa yang di pikiran dan di hati langsung menuju ke pikiran dan hati orang yang dituju dan bisa saling paham. Telepati gitu. Kita bisa mengerti maksud seseorang tanpa keluarnya suara dari kerongkongan? Semacam kita tidak perlu kebingungan harusnya ngomong ini lebih baik daripada itu. Harusnya pakai kata ini lebih halus daripada kata itu atau semacamya.

Tidak selesai dengan kata-kata, ditambah lagi ada bahasa gesture atau mimik wajah dan bahasa kalbu. Toloooooooooong.

Bakul Cilok


Kukira bakul cilok itu karena aku bisa memanen cilok dari pipi. Tinggal cubit pipi dengan telunjuk dan jempol membentuk lingkaran, terus tinggal ditarik. Aha, dapatlah cilok. Jadilah tulisan ini judulya bakul cilok, meskipun awalnya ingin kuberi judul Hari Ketiga.

Jumat malam kemarin, mantan teman-teman satu departemen di pabrik yang dulu pada berangkat untuk liburan ke Bandung.

“Mantapppp. Have fun guys” (huruf p nya perlu 4, aku bayangin kalau kuucapkan itu p nya harus berdengung sambil mingkem lama)

“Parani nggak mas? Iseh 1 slot kursine”. Jadi perjalanan mereka menyewa dua mobil, dan temenku ngajak karena mungkin biar iurannya lebih ringan, padahal yo nambah satu orang juga nggak terlalu ngefek juga kan pengurangannya.

Nah jadilah aku kepikiran, itu chat nya Jumat siang selepas jumatan. That’s why aku ngechat, mbok menowo barangkali bisa jumpa di Jumat Malam, terus buru buru pulang, barangkali jadi bisa ikut ke Bandung karena mereka baru berangkat jam 11 malam dari Cilegon. Oportunis banget ya, wkwkwk.

Tapi untunglah, tetap di hari Sabtu. Untung banget tidak jadi, karena aku sendiri nggak kebayang, saat duduk sambil gemetara, chat dari bos masuk, minta bahan presentasi diperingkas dan dibuatkan naskah untuk bahan materi di hari Senin. Pas curi-curi baca WA aja sudah harap harap cemas, ini teks chat nya lebih membuat cemas kuadrat. Aku masih nggak bayangin sih, kondisi nggak bawa laptop, pinjam laptop linux punya teman, tapi kok merasa buntu pikirannya. Kejadian ini juga semacam menemukan kesadaran yang baru, manja banget aku kalau kerja kudu menatap layar laptop sendiri yang berdebu dan penuh gelembung karena nggak pandai memasang screen protector, nggak bisa pakai laptop orang. Dih.

Aku masih nggak kebayang, kalau hari itu ke Bandung, kayake bisa jadi cuma panik tak bersolusi pas harusnya senang senang karena sedang liburan. Siapa pula orang yang akan bawa laptop ketika mereka menikmati liburan karena saking banyaknya penat di keseharian?

Kembali ke hari Jumat, check list hari itu, mencuci, potong rambut, servis motor dan beli lapis talas bogor. Mencuci karena outfitku cuman jeans, dan saat itu sedang kotor, hiks hiks. Potong rambut? Karena rambutku kalau panjang jadi bergelombang dan mengembang persis kayak bakpau (apa singa ya?). Intinya kalau panjang, rambutku bisa ditekan terus kerasa ada ruang hampa di batas antara rambut dan kulit kepala. Servis motor? Serius deh, kalau nggak ada hari Sabtu kemarin, entah motor bakal terservis kapan. Semenjak mampir ke dealer dekat kosan jam 9 pagi dan tertolak gegara sistem online atau antrian apalah itu karena corona, jadi mager servis motor, hiks hiks. Jadi emang berfaedah sekali hari Sabtu buat motor hitamku (Hey tor, kowe perlu matur nuwun sama hari Sabtu). Yang terakhir adalah Lapis talas bogor, pernah sempat kepikiran kalau beli langsung ke Bogor, ceritanya mau naik KRL nyampe Bogor, beli, terus langsung pulang. Wkwkwkw segabut itu pikirannya. Ya karena katanya kalau di Bogor bisa murah harganya. Padahal ya niatnya cuman beli dua kotak, dan saat kalkulasi harus jalan kaki,  busway, KRL – KRL, busway, jalan kaki, lah malah jadi mahalan di perjalanan. Kepikirannya beli pakai gofood, biar dibeliin dan dianterin sampai depan kos. Tapi njuk kepikiran lagi (kakehan mikir yo) kalau disimpan semalam di kamar, dirubung semut nggak yo. Lapis jadi satu uncompleted mission.

Jalan jam delapan pagi. Nggak bisa ngebut, satu karena nggak tahu jalan, dua karena mencari-cari barangkali ada toko lapis yang kemarin sempat nggak dibeli. Pokoknya kalau nggak lapis itu, ya amanda. Cuma dua itu kepikirannya, eh ternyata beneran ketemu dua-duanya di satu kawasan yang bersebelahan. Ada keuntungannya ternyata kalau motoran itu. Ngikutin gmaps, dan nggak enaknya kalau sendirian terus modal cuman gmaps jadi nggak tahu kalau ada fly over, ambil bawah apa ambil atas. Gmapnya nggak ngomong apa-apa. Diem aja kayak baperan. Fly over pertama, oke berhenti dulu di pinggiran. Ambil hp dari tas slempang, lihat peta nya, oh ternyata lewat atas. Fly over kedua, karena masih diem aja gmap nggak ada suara, ya pilih atas dong (bener nggak sih, karena kejadian pertama, jadi pelajaran buat kejadian kedua), dan ketika motor sudah berada pada posisi di angkasa, si gmap bilang belok kiri. Gmap nya nyuruh motorku terjun ke kiri dari fly over atas. Sudah gitu, entah sehabis ngelawatin nama jalan Jatireja apa ya, jalan yang kulewati semacam kebon orang. Haish

Sampai di dekat lokasi, masih jam 9.50. Karena sudah diingetin ontime, jangan kecepetan (aku masih gagal paham, biasanya orang ngingetin ontime itu berbarengan dengan jangan telat), akhirnya minta tolong gmaps yang sudah sempat membuatku kecewa tadi, ketik masjid terdekat. Ketemu Muhajirin. Markirin motor kesitu, beli es teh pake plastik dari warung dekat masjid, sruput. Buka hp lagi, kalau bisa jangan jam 10 pas. Ya mampir ke masjidnya dan tetiba kok rasanya pingin pulang ya, hiks-hiks. Akhirnya duduk di teras masjid dan berdoa sembari menunggu.

Aku juga baru sadar, kalau disuruh bicara formal, aku pasti menawarkan jowonan opo bahasa indonesia? Terus milih jowo, padahal bahasaku ngoko, terus jadi nggak lancar ngomongnya, terus usul pakai bahasa indonesia, yo plintat plintut neh. Aku sampai ingin usul ada bahasa baru, yaitu bahasa kalbu. Jadi apa yang ada di hatiku dan pikiranku bisa terucap tanpa harus ada suara yang keluar dari mulut. Ya semacam telepati, dan masih sempat sempatnya aku mengkhayal kalau saja ada telepati, pas sedang berbicara.

Diriku yang kukenal adalah orang kikuk. Aku sampai bertanya ke orang, tentang topik obrolan dan juga tanya kepada orangnya langsung. Bayangin yo, misal aku ada rencana ketemu sama seseorang, terus beberapa hari sebelum ketemu, orangnya kuchat.

“Nanti kalau ketemu, mau ngobrolin apa?”

Makanya iri banget sama orang yang pandai bicara, kalau orang dengernya bisa ikut ketawa-tawa, balok es nya jadi air (mencairkan suasana maksudnya).

Kalau aku pulkam, ibuku selalu ke pasar, beli bebek utuh, dipotong-potong sendiri, dimasak, terus aku disuruh makan yang banyak. Tidak cuman perihal bebek sih, pokoknya pas di rumah, aku dadi tukang resik resik. Resik-resik maeman maksude. Pulkam kemarin juga pas balik jakarta jadi umbelen. Hidung meler. Kayake karena anak kos kalau lihat kulkas jadi kegirangan gitu ya, jadi hawanya pingin bikin es terooooos.

Terus ternyata aku merasa amazing denger pembicaraan antar orang tua tentang pilihan pendidikan anaknya. Pilih pondok pesantren mana, cari opsi-opsi yang tersedia, survei sana-sini. Pemandangan yang sesuatu banget. Soale mungkin dulu aku nggak ngalamin hal yang kayak gitu. SD sampai kuliah, milih sendiri. Sekarang sempet kepikiran sih, kayake pingin gitu masuk ke sekolah pondok pesantren. Sepertinya hidupku akan lebih baik. Tapi hush hush, nggak boleh gitu kham, kau yang hari ini adalah kumpulan dari dirimu yang masa lalu, dan pastilah jalur hingga sampai ke keadaan seperti ini adalah pilihan terbaik dari Allah.

Akhirnya ke kosan temen, tujuh kilo perjalanan tapi kerasa dekat sih.

Di kos temen, tadinya mau langsung ke karawang, eh tapi ternyata temenku lagi pilek dan temen yang hendak kita kunjungi masih ada bayi di dalam keluarganya. Akhirnya ya kita urungkan. Rebahan, nungguin temen potong rambut sambil menggigit ayam di pinggir jalan (dekat tempat cukur, ada penjual gerobak ayam tepung, daripada nganggur bengong nungguin orang potong rambut, ya belilah dan langsung disantap tanpa pakai piring. Sedih ya, pengisi waktu luangku adalah makan. Hiks hiks. Beli pecel madiun, mendoan dan sekoteng (dimana mana kalau ditawari pecel yang sebenar-benarnya pecel, pasti nggak bisa nolak). Terus pura-puranya pinjam laptop, eh ternyata tetap mampet pikiran nggak ada ide buat ngerjain kerjaan.

Besoknya sarapan jam 6, di warteg prasmanan di jalan Kasuari 9 dan langsung buru-buru pulang. Hiks hiks.

Pas sampainya di kamar kos, padahal pingin tidur, tapi kalau bos nelpon itu, kayak neror, makanya sering nggak kuangkat (plis jangan ditiru ini). Daripada diteror kan ya, jadi pilih langsung ngerjain. Lancar sih ngerjainnya ternyata kalau pakai laptop sendiri. Tapi ya tetap memakan waktu juga.

Selesai tuh, kukira bisa langsung tidur. Tapi ternyata kalau tidur direncanakan, jadi nggak bisa tidur lagi. Hadeh

Dan sampai paragraf ini, ternyata tulisannya sudah 1276 kata. Sudah lebih panjang dari cerpen yang selama ini kubuat -,-

Closingnya? Aku masih bingung, kayake setiap tulisanku biar yang baca metik suatu hikmah, atau minimal kata mutiara, atau sesuatu penutup yang worth lah kan lumayan juga kalau dibaca sampai habis tulisan ini bisa 10 menitan.

Denger cerita orang tua yang memikirkan pendidikan anaknya itu amazing banget sih. Melihat mereka pusing, aku nggak bisa nahan senyum (ini amazing apa julid sih). Tapi kata orang lain itu adalah hal biasa. So kata mutiara sebagai penutup tulisan ini adalah.

“Tunjukanlah hal biasamu padaku sebanyak-banyaknya, bisa jadi hal biasa itu malah hal yang luar biasa yang aku terkagum karenanya”

 

 

 

Selasa, 21 September 2021

Pilihan


Judulnya memang pilihan. Seakan topik berat, atau mungkin sudah kau kaitkan dengan topik jodoh, karir dan segala macamnya. Halah. Tulisan ini ditulis jam 3 pagi, dan di jam-jam ini, topik berat macam jodoh tentu bukan pilihan untuk dipikirkan.

Ceritanya malam ini tidur seperti biasa, tapi berulang kali terbangun, gelisah, ke toilet dan ketika buka jam di xiaomi (seolah penting banget nyebut merk, ketimbang dari dulu hp hp mulu kan bilangnya), masih jam 2 pagi. Ingin rasanya tidur lagi, tapi kayaknya bakal kebangun lagi dan lagi. Jadinya ya coba melek saja. Nyari aktivitas di dalam kamar.

Terus baru ingat, ada paket yang datang tadi pagi, sebuah meja portable yang kubeli beberapa hari lalu. Jadi sendirian di dalam kamar jam 2 pagi, ada gitu ya orang kepikiran unboxing saat suasananya sesepi ini.

Kalau kuingat-ingat, belinya juga karena hal yang sepele sih. Jadi senior kantor kukirimi sebuah gambar jepretan layar biar bukti sedang meeting dari kos (hehehe, mungkin butuh perkenalan lagi, aku orangnya suka jepret sesuatu yang ada di depan mata terus kukirimkan ke orang yang ngechat. Contohnya ketika ditanya sedang apa dan ingin kujawab sedang makan, kujepret gerobang tukang nasi gorengnya, atau kujepret tembok warungnya, atau mangkuk baksonya, iki opo tanda kurung e kok dowo ngene). Nah foto ini lah yang kukirimkan.

Senior balas owalah dan disusul dengan chat link buat beli meja laptop portable tanpa aku minta.

“Beli ini kah satu mas” (aku nangkapnya mbok beli meja yang proper to, kok kardus kertas gitu, wkwkwkw)

   Dalam hatiku, sepertinya saran yang bagus. Akhir kata, check out, paket datang, dan baru kubuka di pagi ini. Nah ketika sedang membentuk formasi struktur (halah), kardus kertas yang biasa kupakai buat dudukan laptop langsung kusingkirkan dan niat kupensiunkan. Diotak atiklah engsel dari meja laptop yang dibeli. Laptop juga kutaruh di atas papan alumuniumnya. Tapi pas niatnya mau nulis sesuatu yang masih belum tahu topiknya mau tentang apa, kayak ada kerasa yang kurang. Nggak kerasa mantep pokoknya. Kalau kusenggol dan sedikit kudorong-dorong menyamping, dudukannya terasa gleyot gleyot (bahasa opo iki gleyot gleyot). Njuk kulipat lagilah meja hitam itu, dan kuambil lagi kardus kertas yang tadi niatnya gantung sepatu (kalau pemain bola, kalau kardus apa ya? Gantung karton?).

Itu saja ceritanya. Mana pilihannya?

Ya pilihannya ada pada aku memilih membeli karena berpikir yang akan kubeli akan lebih baik dari yang kugunakan sekarang. Ya secara 135 ribu dibandingkan dengan kardus yang kubeli di tempat fotokopian (tapi seringnya dikasih gratis, ehe). Kupikir kardus akan kupensiunkan, eh ternyata justru barang yang baru dibeli malah pensiun duluan.

Nyesel belinya? Enggak. Karena kalau tidak beli meja itu, nggak bakal nyadar kalau yang sudah kita punya, ternyata sudah cocok dan terbaik menurut kita (tidak harus terbaik juga untuk orang lain) meskipun barang tersebut tampak akward or ugly to someone eyes. Pilihan paling baik ternyata bukan tentang harga, tentang material, atau tentang apapun. Tapi sederhana hanya tentang kenyamanan.

Box kardus kertas A4 atau F4 selama ini membuatku nyaman. Tingginya pas, kokoh nggak goyah. Buka tutup box nya, dan bisa menyimpan banyak barang di dalamnya (mostly kuisi dengan buku sih).

Ini tulisan kayak gini aja kok dibahas sih? Nggak tahu, pokoknya bingung mau nulis apa di jam segini dan yang sedang kepikiran hanya tentang ini. Udah gitu, jujur saja, nulis ini terasa terbata-bata dan tidak selancar saat nulis tulisan-tulisan sebelumnya.

Intinya sih ya, kalau mau ditarik inti dan diakhiri semacam quote atau kata mutiara, atau apapunlah biar tulisan ini terkesan ada faedahnya.

Bisa jadi yang menjadi pilihan terbaik, adalah sesuatu yang sudah kita punya sekarang.

Bentar lagi subuh, aku pamit ya. Salam.

 

 

 

 

  

Senin, 20 September 2021

Terlalu Sedih untuk Bercerita


Kunyalakan lagi lampu kamar, kubuka lagi laptop yang sempat kututup lipatannya di jam sebelas malam tadi. Pagi ini jam setengah satu, jam ketika aku harusnya sudah terlelap, atau ketika setengah sadar menggoyangkan raket ke udara ngasal tapi ada bunyi cetar-cetar. Pagi ini jam setengah satu, menulis sekarang ini, cuma salah satu cara yang kupikirkan agar kantuk segera hadir kembali.

Daripada bengong doang di gelapnya kamar kan?

Seorang teman membuat status di whatsapp nya, hobinya dia memang sepertinya begadang. Ada kalimat dari statusnya yang membuatku mereply nya padahal sudah tengah malam.

“Tapi ternyata ada doa yang sempat terlupakan, dan mungkin akan dikabulkan.. Yuk bisaa yuk :)”

Pas kubaca kalimat statusnya, aku mengiranya ia sedang berbahagia.

“Apa itu doa yang terlupakan?” ternyata aku sekepo itu. Ingin tahu apa yang membuat temanku (kayak e ini bisa jadi klaim sepihakku doang) bahagia.

“Aku terlalu sedih untuk bercerita.” 

Jawabannya sungguh berkebalikan. Ternyata dia sedang sedih? Dan aku justru mengira dia sedang bahagia dari baca tulisannya? Dan entah pikiranku yang sepertinya sedang tidak nyambung atau gimana. Aku cuma bisa reply, its okay, semoga aku bisa paham (lagi-lagi reply ku justru tentang diriku, egois sekali ya).

“Aku terlalu sedih untuk bercerita.”

Dalam hatiku aku cuma bisa berdoa, semoga lekas diangkat kesedihannya.

Tapi dia benar, bercerita itu membutuhkan keceriaan. Menceritakan apa yang kita rasakan itu juga butuh tenaga. Sayangnya ketika kita sedih, tenaga dan keceritaan kita hilang. Lantas kenapa kita harus bercerita? Padahal untuk tertawa saja yang cuma ha ha ha, kita sedang tidak bisa? Apalagi hanya untuk mengetik layar di lampu kamar yang sudah padam, memikirkan susunan kalimat agar dipahami dan tidak salah paham.

Aku sendiri masih percaya dengan kalimatku sendiri. Tidak begitu ingat dapat inspirasinya darimana, atau jangan jangan aku mencomotnya dari ingatan orang.

Meskipun kita tahu ceritanya, tidak lantas kita bisa tahu rasanya

Toh beberapa hari kemarin, gloomy day benar-benar ada. Sampai ia sirna ketika seseorang mengatakan bahwa diriku seperti keluar dari kebiasaan.

Suara-suara malam telah hilang, kini hanya tinggal keheningan. Jam digital di layar bilang sekarang 12.55 AM.

Aku juga belum mengantuk, tapi tak tahu apa lagi yang ingin diceritakan.

Untuk temanku yang sedih sampai tidak bisa bercerita, semoga terbukanya matamu besok pagi, maka sudah cerah juga hatimu dari kesedihanmu.

Tapi tak ada yang salah dari kesedihan, itu bagian dari kehidupan.

Dan tolong maafkan, aku yang mengaku teman, tapi tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Hiks hiks.

 

 

 

              

 

 

 

 

 

              

Rabu, 15 September 2021

Bukankah Aku Telah Berjasa

 


Sesekali bercerita tentang tontonan kartun lah ya. Tapi kayaknya aku bohong kalau bilang hanya akan cuma sekali. Mungkin karena meskipun yang ditonton adalah produk dari gambar, cerita fiksi dan yah kesannya kartun adalah tontonan anak-anak, sebenarnya banyak pula adegan atau cerita yang menyentuh sampai membekas di pikiran.

Tokoh tersebut bernama Zerofuku. Dia adalah salah satu sosok petarung dalam cerita record of ragnarok. Sosok yang mewakili pihak dewa dalam pertempuran antara dewa dan manusia di dalam arena. Tapi wujud dari Zerofuku yang merupakan gabungan dari 7 dewa keberuntungan ini sungguh begitu kontras karena ia tampak begitu menyeramkan dan dipenuhi dengan aura kebencian

“Dia lebih cocok disebut iblis ketimbang dewa”

“Dulunya, Zerofuku adalah sosok dewa yang paling baik hatinya”

Sang tokoh narator dalam cerita pun mengungkapkan masa lalu Zerofuku.

Dahulu kala, Zerofuku itu lebih baik hati dari dewa manapun. Namun pemandangan yang menyambutnya saat turun ke dunia adalah kesedihan dan kesedihan. Kematian, lanjut usia, penyakit, berpisah dengan orang yang disayang, bertemu dengan orang yang dibenci, gagal mencapai tujuan, depresi dan segala jenis kesedihan terpampang di depan mata saat mengunjungi sebuah desa.

“Apa yang bisa kulakukan sebagai dewa untuk bisa membuat orang-orang ini bahagia? Jika manusia menjalani kehidupan yang sedih maka mereka pasti akan senang jikalau aku menghapus sumber kesedihan mereka dari asalnya.”

Zerofuku akhirnya bisa menyembuhkan seorang anak kecil yang sakit-sakitan hingga seperti tak pernah sakit sebelumnya. Yang Zerofuku lakukan sebenarnya bukan penyembuhan, melainkan ia pindahkan sakit si anak ke dalam dirinya. Ia menyerap sumber kesedihan si anak.

“Kuharap kau senang.” ucapnya dengan senyuman.

Zerofuku menemukan bahwa dirinya bisa membantu manusia dengan menyerap kemalangan mereka agar hidup mereka bahagia. Jadi setelah menemukan arti dari dirinya, dia mengembara jauh dan mengambil seluruh kemalangan manusia di sepanjang perjalanan. Tubuhnya menjadi buruk rupa, dan tak ada keceriaan lagi dirinya karena terlalu banyak kemalangan yang ia serap.

“Kuharap kalian semua senang. Kuharap semua orang senang”

Walaupun dia harus menyerap banyak sekali kesedihan dan kemalangan. Walaupun itu membuatnya merasakan sakit dan menderita. Zerofuku menemukan kebahagiaan dari memberikan kebahagiaan itu sendiri kepada manusia.

Ia kemudian berpikir untuk menengok desa dimana ia menyembuhkan seorang anak kecil yang sakit dan yang penduduknya ia ambil seluruh kemalangannya dulu.

Pemandangan yang ia lihat, sangat jauh berbeda dari yang dia bayangkan. Semakin banyak kemalangan yang dia ambil, para penduduk justru semakin tersesat dalam kesenangan dan jatuh dalam kebejatan. Hingga ia menyenggol seorang pemuda, dan pemuda itu justru menghinanya dengan pandangan jijik dan umpatan dasar bocah kotor. Ia bahkan meludahinya. Zerofuku ingat, sosok pemuda itu adalah anak kecil yang ia sembuhkan dulu dari sakitnya.

Sembari tersungkur ke tanah, ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Huh? Ini semua pasti salah. Ini tidak mungkin nyata kan? Padahal aku sudah melalui begitu banyak demi mengambil kemalangan mereka. Tapi kenapa aku tidak bisa membuat mereka bahagia? Tapi kenapa malah seperti ini yang terjadi?”

Kemudian ia melihat sesosok manusia yang diikuti oleh rombongan manusia lain. Mereka-mereka yang mengikutinya terlihat kurus kering. Tapi Zerofuku melihat kebahagiaan di wajah mereka. Kenapa?

“Kenapa para manusia yang mengikutimu terlihat sangat senang. Kenapa kenapa? Padahal aku sudah berusaha mati-matian menyerap kemalangan mereka! Kenapa mereka tak tampak bahagia sedikitpun? Kenapa kenapa kenapa?”

“Menyerap kemalangan mereka? Itu salah. Mereka jadi semakin tidak bahagia. Kebahagiaan itu bukanlah hal yang bisa diberikan pada orang lain. Itu adalah hal yang harus kau dapatkan sendiri.”

Zerofuku berlari, menangis dan tidak terima.

“Apa-apaan yang manusia tadi ucapkan? Aku sudah berusaha mati-matian!”

Zerofuku terus mengumpat. Cinta suci dengan cepat menjadi kebencian. Ia justru ingin menghancurkan umat manusia.

Ini kenapa aku malah jadi menceritakan panjang apa yang ada di komik ya? Adegan-adegan selanjutnya adalah pertarungan dan pertarungan. Namun pada akhirnya, yang membuat ini menarik adalah apa yang disampaikan Zerofuku saat di arena.

Aku menyelamatkan mereka, tapi tak ada yang berterima kasih padaku.

Wait-wait, aku mau disclaimer dulu. Mungkin saja kau berpikir, halah begitu doang. Apa menariknya sampai kutuliskan sepanjang ini? Iya kau benar, bisa saja sesuatu yang menarik buatku, tidak menarik buatmu. Dan bisa saja sesuatu yang menarik buatmu, tidak menarik buatku. Aku sedang belajar satu hal itu sih. Bantu aku latihan ya. Kalau aku dan kamu itu berbeda, tapi tidak untuk dibeda-bedakan.

Cerita sederhana tentang Zerofuku itu terasa something to me. Kenapa?

“Aku sudah senyum dan bersikap ramah di depannya, tapi kenapa dia secuek itu?”

“Aku sudah menyapanya, tapi kenapa dia diam saja?”

“Aku telah membantumu, kenapa sikapmu seperti itu?”

“Aku telah memberimu segelas susu, kenapa kau tidak tampak senang?”

“Aku sudah berbuat baik padamu, kenapa kau tidak melakukan hal yang sama untukku?

 “Aku telah memprioritaskanmu, tapi kenapa aku bukan prioritasmu?”

“Aku merawatmu, tapi kenapa kau tidak menghormati dan menyayangiku?”

“Padahal aku berjuang mati-matian untuk mereka, tapi tak ada yang berterima kasih padaku.”

“Aku memberimu segelas susu, tapi kau guyurkan seember air comberan ke mukaku?”

Jikalau bisa ditarik ke dalam sebuah rumus. Maka akan menjadi seperti ini.

Aku telah . . . . . . . . untukmu, tapi kenapa kamu. . . . .

Saat itu terjadi, makanan yang kita kunyah, tak lagi selezat itu. Minuman manis, bisa jadi hambar, atau bahkan pahit. Usaha yang kita lakukan, terasa melelahkan dan berubah menjadi beban. Keringat yang berkucur menjadi menyebalkan.

“Kenapa aku tetap harus begini, padahal dia begitu”

Cinta suci dengan cepat berubah menjadi kebencian. Kebaikan tidak lagi terlihat. Semuanya hanya gelap. Gelap ketika kita mengharapkan satu hal dari manusia.

Gelap ketika kita berharap manusia menunjukan Rasa Terima Kasih (yang seringnya mereka tidak memberikannya) dan akhirnya berubah menjadi kekecewaan.

 

Selasa, 14 September 2021

Hari Kedua

 


Hari kedua tidak berjalan dengan lancar, tapi aku jadi lebih mengenal diriku sendiri. Aku itu orang yang pendiam, diriku sudah lama mengetahui hal ini dan nampaknya juga sudah sangat paham. Tapi entah kenapa aku baru mengerti juga, kupikir pribadi yang pendiam biasanya sepaket dengan pribadi yang tenang. Logikanya begitu? Seorang yang terbiasa tidak banyak berbicara, dia memikirkan kata-kata sebelum keluar dari mulutnya. Maka apa yang terucap dari bibirnya, tertata rapi, tenang dan menyakinkan. 

Aku sempat mengira, pribadi yang pendiam selalu sepaket dengan pribadi yang tenang. Tapi nyatanya tidak, aku tergesa-gesa, aku tidak bisa berpikir sebelum mengucapkannya. Tanganku bergerak-gerak tidak karuan, aku sering menutup muka, aku menampilkan senyum dimana bibir kusimpan terlalu dalam (aku merasa senyumku yang seperti ini bisa saja disalahartikan). Kalimatku sering tidak terdengar, kosa kata yang keluar tidak tersusun berurutan. Petakilan.

Aku selalu merasa terdiam saat berkendara motor pulang. Diam dimana seperti ada air yang menghalangi pandanganku akan jalan. Aku berpikir bisa saja orang-orang setelah terjadinya sebuah pertemuan, menemukan bahwa diriku dalam teks dan diriku dalam dunia nyata adalah dua orang yang berbeda. Bisa saja orang akan merasakan keraguan setelah tahu bahwa diriku pendiam, tapi juga bukan pribadi yang tenang.

“Aku mengatasi satu wujud yang memiliki perasaan saja, aku kesulitan. Bagaimana mungkin aku menambah wujud-wujud lainnya?” jawaban macam apa ini.

Hari kedua tidak berjalan lancar, sebagaimana setidaklancar dulu ketika menjalani sesi wawancara penerimaan kerja. Ketika aku menjawab dan menatap wajah mereka yang bertanya, aku seperti melihat wajah yang tidak puas karena mungkin saja jawabanku, mungkin juga cara menjawabku, atau mungkin juga pribadiku.

Hari kedua tidak berjalan lancar, tapi ada kabar baik juga yang baru aku tersadar. Ternyata aku bisa lupa batuk dalam dua hal. Yang pertama ketika badminton, dan yang kedua ketika mengobrol dengan seseorang. Padahal aku sudah siap jaket di pangkuan, mbok menowo, uhuk, terus jaketnya bisa kututupkan ke mulut biar mengurangi suara uhuk yang terdengar. Aku sudah siap minyak angin di tas.

Malam ini aku merasa, sepertinya aku terlihat seperti anak kecil yang sedang meminum segelas kopi dari sedotan.

Semisalnya saja kau membacanya, tulisan ini bukan tentang apa-apa ya. Aku hanya sedikit merasa bersalah, karena aku tidak seperti diriku di bayanganku.

(Tulisan ini ditulis sambil mendengarkan instrumen Mitsuha yang sedang menaiki kereta menuju ke kota)

 

Minggu, 12 September 2021

Pesan antara Dua Orang


Kalau dilihat dari postingan terakhir yang tercantum tanggal 14 Juli 2019, sudah dua tahun lebih tidak merapikan pikiran di rumah ini. Apalagi kalu lihat satu postingan sebelum itu, 7 Oktober 2018 yang berjudul waktu terburuk, itu sudah tiga tahun yang lalu. Aku sendiri jadi kelelahan karena tiap pembukaan tulisan, selalu diawali dengan niat untuk rutin menulis lagi, lagi dan lagi. Tapi juga tidak konsisten lagi, lagi dan lagi. Seolah-olah hanya euforia sesaat saja.

 

Dashboard juga sudah lama sekali tidak pernah kubuka. Tapi malam ini aku iseng untuk membuka daftar bacaan (di blogger kita bisa follow blog orang lain) dan merasa takjub dengan kawan-kawan yang masih rutin menulis di rumah mereka. Aku berdecak kagum, karena tahu bahwa diriku belum bisa mencapai di level mereka. Dua tulisan terakhir saja sudah tiga tahun berselang, duh parah ya.

 

Padahal menulis selalu menjadi hobi yang menyenangkan dan menenangkan. Menyenangkan karena kita berimajinasi ke segala arah penjuru, padahal fisik kita sedang duduk bersila menatap layar. Menenangkan karena menulis bisa sekaligus menjadi perantara untuk menata pikiran.

 

Padahal menulis selalu menyenangkan, tapi seolah akhir akhir ini aku sendiri terjebak dalam mendefinisikan apa itu menulis. Belakangan, menulis adalah merangkai huruf menjadi cerita, merangkai kata menjadi cerpen, ata menghubungkan kalimat hingga menjadi penggalan cerita Raya. Seolah menulis adalah tentang melengkapi Raya. Hingga akhirnya, kupikir ketidakmampuanku dalam menulis, akibat sibuk oleh agenda latsar, tapi toh ketika latsar sudah terlewati dan presentasi seminar aktualisasi juga sudah terlaksana, pikiran dan badan masih tidak tergerak untuk menulis. Berarti menulis bukan perkara tentang kesibukan kan?

 

Diriku selalu ingin bangun dari pembaringan, duduk rapi bersila, dan melengkapi Raya. Tapi sepertinya mendefinisikan menulis adalah tentang menggenapkan cerita Raya adalah sebuah kesalahan. Dulu aku menulis tentang apa saja, terkadang hanya sepenggal kata, selarik quote, paragraf yang ada di kepala, cerita hewan, cerita kegiatan atau agenda asrama, tentang adegan dalam sebuah tayangan bahkan tentang puisi yang ingin kutuliskan ulang yang berjudul Kota tanpa Diriku. Dulu, menulis adalah sebebas itu, dan karena bebas itulah, terlahir sekitar hampir 300 postingan di rumah ini.

 

Dih intronya panjang bener.

 

“Seharian ngapain aja?” (aku selalu suka dengan pertanyaan ini, tapi baik jawabanku maupun aktivitasku, juga tidak begitu menarik untuk  kuceritakan)

“Paling mantau live score mu tadi.”

“Ya ampun, aku aja nggak lihat” (dia tuh, bahkan lokasi tes aja bisa salah pas di hari H)

“Udah lama ga nyodorin cerita ya” (pas baca ini, jadi merenung, kemudian akhirnya buka dashboard blogger lagi)

“Sepertinya aku butuh asupan, karena semacam stuck sih” (semacam kangen baca buku sih)

“Mau tak ceritain pengalamanku di krl kemarin ga?” (aku selalu menunggu ini, dan mana mungkin aku nggak mau)

“Jadi kemarin sejak dari stasiun manggarai bareng sama seorang ibu dan bapak tunanetra. Si ibu berkata : Duit kita tinggal 100 ribu ini (dengan nada bingung), si bapak terdiam sesaat kemudian beberapa saat kemudian dia pun berucap : bersyukur ya kita masih dapat rejeki. Si ibu pun menimpali : iya ya”

“Kebayang ga sih gimana rasanya jadi mereka?”

“Saat itu. Apa yang kau pikirkan?”

“Terharu. Mereka yang kekurangan (di mata kira orang normal), masih bisa bersyukur. Padahal duit di kantong tinggal 100 ribu.”

“Aku juga mikir, mungkin ini ya definisi cinta tanpa memandang fisik”

“Kayaknya orang-orang yang diberi kekurangan, justru punya kelebihan pandai bersyukur dan ikhlas dibanding kita yang normal. Ironi ya”

“Pengen tak gandeng, ibu mau kemana? Tak anter. Tapi badanku puegel” (Padahal suasana cerita nya sudah dapet, tapi bisa bisa nya dia melawak di akhir kalimat. Wkwkwk)

“Jikalau entah bagaimana ceritanya. Keadaan ini terjadi pada dirimu? Gimana tuh?”

“Bagian ga bisa liatnya? Atau seratus ribunya?”

“Bagian seratus ribunya. Karena bagian yang ga bisa liatnya sudah di luar imajinasiku.”

“Ya bersyukur saja”

“Di bayanganmu. Kau bisa bersyukur?”

“Misal nih, di kantongku ada 0 rupiah. Kok logikanya masih tetap harus bersyukur ya. (semoga) masih punya iman, masih sehat, masih bisa nyari rizki entah gimana caranya. Semoga.” (Aku tipikal orang yang ketika bertanya dengan seseorang, hobi memprediksi orang lain akan menjawab dengan jawaban seperti apa. Tapi jawaban ini, entah bagaimana tidak masuk dalam skenario pilihan jawaban. Aku sampai terdiam pas bacanya).

 

Tulisan ini berjudul pesan antara dua orang, dan sampai sini saja yang ingin kubagikan. Dan seperti apa yang di awal aku sampaikan. Menulis harusnya bisa tentang apa saja dan darimana saja. Seperti malam ini aku yang hanya ingin berbagi pesan yang disampaikan oleh seseorang.

              

Berbagi saja

Toh yang dibagikan, tidak membuatku kekurangan.

Berbagi saja

Toh dibaca orang atau tidak, bermanfaat bagi orang atau tidak, tapi itu sudah menjadi pengalaman dan layak untuk dirapikan.