Minggu, 26 November 2017

Pitnah

"Pitnah itu ketika kau bilang ddiriku malas menulis. Padahal aku bukannya malas, hanya saja menurutku waktu terbaik untuk menuliskan ide brilian itu besok, besoknya lagi, lagi dan lagi. Bukan hari ini."





- Tulisan sederhana ini bisa menang di event grup FLP Jogja bertemakan “Pitnah”, mungkin karena waktunya yang sedikit kali ya, jadi yang senior belum buka grup dan ikutan lombanya.

Jago dan Lemah

Angin masih kuat berhembus, menggoyangkan dedaunan dari pohon bambu dan kelapa di sebelah rumah. Debu-debu turut beterbangan, sesekali membentuk miniatur pusaran beliung yang membuat sampah plastik dan daun berputar-putar. Angin itu masih berhembus kuat, hingga menggoyang-goyangkan pintu kamar dimana ada seorang lelaki yang tengah berbaring di kasur lesehannya.
Lelaki yang sedang memegangi gawai putihnya, mengetikkan pesan ke seorang kawan. Ia bertanya apakah ada masukan atau komentar terkait tulisan yang ia buat.

“Sori banget, baik cerbung, fabel maupun novel ini nggak dapat feelnya. Aku hanya melihat orang dewasa yang kekanakan. Bukan anak kecil dengan segala dunianya. Kalau baca tulisanmu, sorry to say, Flat.”

Pesan-pesan lain pun masuk, seolah saling berebut masuk ke gawai putih itu.

“Intinya, aku suka ide-ide ceritamu. Tapi delivery-nya nggak dapat. Kau jago di ide, tapi justu lemah di penyampaian dan gimana agar bisa membangkitkan feel melalui narasi. Ceritamu masuk di akal dan logika, cuman gersang.”

Lelaki itu memejamkan matanya barang sejenak. Berusaha menikmati hembusan angin yang masuk ke kamarnya.

“Mungkin saja aku terlalu terbuai dengan kalimat ini. Menulislah sebanyak-banyaknya. Ntar juga kau bakalan bisa dengan sendirinya.”

“Kalimat itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Yang kutahu pasti, kalau kau tidak pernah menuliskannya sama sekali, kau tidak akan belajar apa-apa.”

                

Waktu Luang dan Tulisan

Belakangan, meskipun aku menyakini bahwa waktu paling sempit untuk menulis adalah ketika masa di asrama, pada kenyataannya aku dipaksa mengakui bahwa tulisan paling banyak lahir justru ketika berada di asrama.


Kubertanya dalam hati, jadi apa hubungannya waktu luang dengan banyaknya tulisan yang tercipta? Sampai detik ini pun belum kutemukan jawabannya.

Senin, 09 Oktober 2017

Aku Bukan Mereka


Seingatku, jarang sekali aku membuat sebuah tulisan yang benar-benar ingin saya tuliskan di kepala langsung, tanpa mencari-cari sebuah adegan yang kira-kira tanpa dikatakan dengan gamblang pun maka pesannya bisa tersampaikan lewat cerita yang kukarang tersebut.

Tapi malam ini bukan malam biasa, malam ini berbeda. Entah kenapa hanya hendak bercerita tanpa mengarang, hanya ingin bercerita apa yang ada di kepala.

Malam itu malam Jumat, aku buru-buru ke stasiun ke Pekalongan untuk memenuhi panggilan wawancara perusahaan di Karawang. Yang terpikirkan saat itu, hanya kereta. Bis tak pernah jadi pilihan pertama karena beberapa kali naik bis, perut terasa mual. Bahkan pernah sampai naik bis dari kediri-jogja hanya memejamkan mata, tak berani membuka kelopak karena bis tersebut berasa naik jet di darat. Kecepatan kereta, namun di tengah kota. Ngeri pokoknya.

Nah, kereta Gumarang datang, aku langsung duduk di bangku 17D gerbong 1. Di tempat tersebut sudah ada tiga orang yang menduduki jatah empat kursi berhadap-hadapan. Di sebelah kiriku ada mbak-mbak pakai jaket transcorp pakai masker, di depanku ada dua mas-mas yang sedang menatap layar handphone mereka masing-masing, menurutku mereka berdua juga tidak saling kenal satu sama lain.

Kau tahu kan kalau perjalanan kereta itu bisa jadi memerlukan waktu lama. Lima jam lebih, nah bagian ini yang menjadi kepikiran di sepanjang perjalanan.

“Kok aku tidak bisa mengobrol ya?”

Kalimat tersebut pula yang kukirimkan ke grup nakula.

 “Ya tinggal nanya mau kemana, Jon. Ntar juga pembicarakan bakalan mengalir sendiri.” Yuda membalas chat di grup.

 “Aku juga kadang enggak ngobrol, Jon.” Jawab Ibnu Fajri.

 “Aku yo podo.” Jawab Aqmal. Jujur saja aku tidak menyangka sih Aqmal juga gitu.

Saat itu, aku hening sejenak dan menghembuskan nafas berat. Kemudian kuketikkan lagi alasannya kenapa tiba-tiba nanya tentang mengajak ngobrol teman duduk di kereta kepada grup nakula.

 “Aku itu jujur wae merasa iri kalau baca tulisan-tulisan Yuda, Isti ataupun Putri yang sering dapat sesuatu dari obrolan orang di depan atau sebelah mereka ketika di kereta. Kadang semacam hikmah atau pelajaran dan inspirasi gitu.”

Terus salah satu dari nakula nyeletuk di chat.

 “Kalau Putri wajahnya kayak kamu, Jon. Pasti pada kabur semua.”

Kubaca berulang-ulang, dan hanya dengan mengingatnya saja, membuatku ketawa-tawa sendiri tidak jelas.

Aku membuka kembali handphoneku dan mendengarkan video opening lagu dari anime barakamon. Karena tidak punya headset, kusetel volume rendah dan menempelkan handphone itu ke telinga kiriku.

Aku bukanlah dirimu
Dan kau juga bukan diriku
Karena itulah aku akan menjadi diriku sendiri
Dan kau akan menjadi dirimu sendiri juga
Karena itu kita bertemu dari arah jalan yang berbeda dan bergandengan tangan
Di sana cinta pun bisa terlahir

Sabtu, 15 Juli 2017

*What I Wish I Know When I was Maba*


-Catatan dari seorang mahasiswa biasa-biasa saja-

Kita sudah sering dengar sebuah kiat-kiat dari mereka yang memiliki prestasi gemilang, atau dari seorang kakak yang namanya begitu mentereng, juara di sana-sini, sosok inpiratif dan segala sosok yang membuat kita terkagum-kagum dan layak menjadi panutan. Tapi pernahkah kita mendapatkan nasehat dari seorang mahasiswa yang biasa-biasa saja? Nah karena mungkin ada yang belum pernah, maka saya selaku salah satu tersangka dari mahasiswa biasa-biasa saja tersebut akan sedikit memberikan wejangan (ceileh wejangan). Siapa tahu bagi kalian yang bulan depan sudah menyandang status mahasiswa bisa memberikan secuil manfaat.

Kalau tidak salah sekitar lima tahun yang lalu pertama kalinya menginjakkan kaki di tanah perguruan tinggi. Saat itu jujur merasa bingung banget dan muncul banyak sekali pertanyaan di kepala. Kebingungan kedua yang muncul setelah yang pertama suka rela menginap di sebuah masjid di Semarang saat tes SBMPTN dulu. Dan itu sendirian tak ada kawan (hiks).

Aku kudu piye?* Baiknya kuliah itu ngapain aja? Pokoknya waktu itu pikiran nge-blank dan berharap ada orang yang bisa memberitahuku hal-hal yang baiknya kutahu saat menjadi mahasiswa baru a.k.a maba.

Nah, karena lima tahun lalu aku tidak mendapatkan sosok yang kurindukan itu (ceileh dirindukan), makanya tulisan ini bisa dibilang sebagai balas dendam. Lho kok balas dendam, kak? Iya agar kalian tidak merindu selama itu. (apa sih?).

So, setidaknya ada beberapa poin tentang what I wish I know when I was Maba. Apa yang kuharap aku tahu ketika aku menjadi Maba dulu.

1.      Seriuslah dalam belajar

Kak, nasehatnya kok mainstream banget? Justru karena mainstream itu jadi dulu aku sampai terlupa. Kondisi ketika kuliah bisa dibilang beda jauh dengan ketika sekolah. Pas sekolah, kita bakalan berangkat pagi, pulang agak sore, dari senin sampai sabtu. Guru akan memarahi ketika kita malas atau bandel. Di kuliah? Tidak seperti itu. Kadang ada satu hari yang isinya full kelas (ditambah praktikum) dari pagi sampai mau menjelang maghrib, terus besoknya malah kosong melompong tak ada kelas dan takkan ada tuh dosen yang akan mengejar-ngejarmu untuk belajar.

Lalu apa maksudnya serius dalam belajar? Belajarnya dicicil, dipahami dan diserap, bila perlu ditelan sampai seperti kita ngeh banget kalau rumus persegi itu sisi kali sisi. Tapi ingat ya, dipahami bukan dihafal.

Kak emang tidak bisa ya kita belajar pas mendekati ujian saja, malam sebelum ujian gitu? Bisa, bisa banget. Bisa dapat nilai A malah kalau latihan dari soal-soal tahun sebelumnya. Tapi yakin seminggu dua minggu kemudian ditanyakan perihal materi kalian masih ingat?

Materi di  perkuliahan itu biasanya berantai. Kalau sudah gagal paham di mata kuliah semester 1, maka bakalan puyeng di mata kuliah-mata kuliah semester selanjutnya.

2.      Akrablah dengan dosen, bila perlu dekati anaknya.

Maaf yang kalimat kedua hanya ngawur, hehe. Kak kalau akrab dengan dosen ntar nilainya bakalan dikasih bagus ya, kak? Tidak seperti itu! Dosen itu fair, mau sedekat apapun dengan beliau, kalau kita nggak mudeng, dosen dengan senang hati ngasih nilai dengan huruf seperti orang tertawa a.k.a (D). Tapi intinya, dengan dekat dengan dosen banyak sekali manfaatnya. Kita bisa berkonsultasi, menjadikan beliau pembimbing, ditawari proyek, mendapatkan surat rekomendasi ataupun mendapat wejangan khusus dari pengalaman beliau yang pastinya begitu berharga.

Kak, nantinya dosen kita bakalan banyak banget, kan? Iya betul banget. Dari dosen yang banyak banget itu, setidaknya pastikan ada beberapa dosen yang kau dekat dan beliau mengenalmu dengan baik.

Caranya bagaimana? Aktif di kelas, jadi asisten dosen maupun asisten laboratorium dan tentunya dekati secara personal. (Jangan dekatin anaknya, itu namanya modus)

3.      PDKT beberapa organisasi, habis itu lamar.

Pas masuk awal kuliah, kau PDKT beberapa organisasi tuh. Tapi kalau boleh ngasih saran, pilih organisasi yang sesuai minat dan bakatmu dan perhatikan juga ruang lingkup organisasi tersebut.

Akan ada organisasi tingkat jurusan, tingkat fakultas, tingkat universitas, organisasi daerah asal. Nah lho, dilihat tingkatnya saja sudah ada 4. Padahal di tiap tingkat itu ada anak-anaknya lagi. Banyak kan? Saran saya di tiap tingkat itu minimal satu didaftari untuk fasa maba.

Nah setelah di tahun kedua, fokuslah di 2-3 organisasi saja. Jadilah ‘sesuatu’ di sana. Bisa ketua, sekjend atau posisi penting lainnya. Itu lebih bagus daripada ikut sepuluh (iki lebay) namun tidak jadi apa-apa. Kak organisasi yang lain bagaimana? Tetaplah jadi anggota, tetaplah sering muncul dan berkawan dengan anggota-anggotanya. Tidak dipilih bukan berarti dilupakan, kan?

4.      Buatlah banyak pertemanan, lalu bentuk geng.

Kalau ada kata geng, pikiran kita langsung buruk sih ya? Ingatnya sama geng begal atau geng nero atau geng-geng yang diberitakan negatif di televisi, sih.

Darimana dapat pertemanan? Dari organisasi itu, dari temennya temen, pokoknya ketika selesai kelas, jangan langsung balik kosan terus tidur, mending duduk-duduk sebentar untuk ngobrol-ngobrol.

Setelah punya banyak teman, kan kita otomatis tidak bisa dekat dengan semua orang kan? Nah itulah yang kumaksud sebagai geng. Ada sekumpulan orang yang kau begitu dekat dengan mereka. Ketawa bareng, belajar pas ujian bareng, kadang futsal atau badminton bareng, bisa juga ke pantai bareng.

Banyak juga lho geng belajar bareng pas mau dekat-dekat masa ujian.

Kelihatannya sih sepele, tapi manfaatnya banyak lho.

5.      Buatlah Curriculum Vitae (CV)

Janji deh ini poin yang terakhir, hehe.

Apa itu CV? Sebuah catatan tentang perjalanan hidupmu, apa yang kau lakukan dan apa yang kau raih. Biasanya sih digunain untuk melamar kerja.

Kak, tapi kan aku maba, masa udah diminta buat CV. Belum saatnya kan? Nanti aja pas lulus ketika mau melamar kerja. Iya kan?

Nah, itu juga yang ketika maba dulu aku pikirkan. Ngapain juga buat CV pas awal-awal kuliah. Tapi aku rasa itulah yang paling penting.

Tulislah CV apa yang ingin kau raih dari kau maba sampai lulus nanti. Jadi CV di sini merupakan kumpulan target-target yang ingin kau capai selama empat tahun studimu (normalnya 4 tahun). Misalnya, juara di tingkat nasional, exchange ke luar negeri, conference, jadi ketua di organisasi A, jadi asisten lab dan asisten dosen, pernah mengikuti pelatihan C, menguasai bahasa Arab, Jepang Cina dan masih banyak lagi target-target yang setiap orang pasti berbeda.

Semakin terperinci target di CV masa depanmu. Maka akan semakin bagus.

Lima poin itu dulu ya (akhirnya selesai juga ngetiknya). Nanti kalau terpikirkan poin yang lain lagi, insya Allah saya susulkan di tulisan selanjutnya.

Intinya sih, tulisan ini sebagai catatan dari seorang mahasiswa biasa-biasa saja kepada kalian yang kelak akan menjadi mahasiswa luar biasa yang mengguncang jagat raya.

See you on top, guys! – sambil melambaikan tangan.

Dari : Irkham Maulana – Mahasiswa Biasa Biasa Saja

*Catatan : Judul ini terinspirasi dari judul What I wish I know when I was 20 karya Tina Seelig

Jumat, 16 Juni 2017

Di Kandang Ayam - Jip dan Janeke

                “Mau kemana  kamu?” tanya Jip.
                “Saya harus memberi makan ayam,” jawab Janeke.
                Dia membawa sepiring gabah. Dan beberapa potong jagung.
                “Saya ikut,” kata Jip.
                Mereka pergi bersama-sama ke kandang ayam. Kandang ayam di kebun Janeke.
                Petok, petok, petok suara ayam-ayam terdengar riuh.
                “Ayam-ayam itu sudah melihat piring ini,” kata Janeke. Aym-ayam itu mengepak-ngepakkan sayapnya pada kawat kandang.
                Janeke membuka jendela kandang sedikit dan menyebarkan makanan ke dalam kandang.
                “Saya juga,” kata Jip.
                Dia juga mengambil segenggam penuh untuk disebarkan.
                “Au!” Jip menjerit tiba-tiba.
                Ayam jantan mematuknya. Ayam jantan itu terlalu rakus. Dia melompat tinggi dan mematuk Jip.
                “Ayam nakal!” teriak Jip. “Lihat, dia mendorong ayam-ayam lainnya. Dia mau seenaknya saja. Ayam nakal!”
                Tidak lama kemudian piring itu sudah kosong.
                “Akan bertelurkah mereka sekarang?” tanya Jip.
                “Saya tidak tahu,” kata Janeke.
                “Tidak tahu? Tetapi itu kan ayam-ayam kamu?”
                “Ya,” kata Janeke. “Tetapi mereka akan bertelur di dalam bak itu. Dan mereka bertelur pada malam hari, saya kira.”
                “Ayam jantan itu juga?”
                “Ayam jantan itu tidak,” kata Janeke. “Ayam jantan belum pernah bertelur.”
                Jip menatap ayam jantan itu lama sekali. Dan ayam jantan itu menantang Jip. Dia berdiri membusungkan dada dan berkokok, “Kukuruyuuuuuuk!”
                “Huh,” kata Jip. “Dia terlalu rewel. Dia mau makan paling banyak. Dan dia mendorong yang lain. Dia bertingkah seolah-olah raja. Dia berdiri dengan membusungkan dada dan membuat keributan. Tetapi, untuk bertelur?  Huh, mana bisa?”
                Jip menjulurkan lidahnya pada ayam itu.

                Tetapi, ayam jantan itu tidak menghiraukannya.


- Entah kenapa, cerita sederhana yang kutemukan di buku Jip dan Janeke #2 ini terasa begitu bermakna.

Jumat, 09 Juni 2017

Terlalu Memperhatikan Rumah Hingga Lupa untuk Mengisinya

Harus kuakui, memiliki rumah yang bagus dan cantik itu penting. Banyak hal yang menjadi alasannya. Rumah yang indah menjadikan mata kita tak pernah lepas untuk memandangnya. Rumah yang indah pula yang membuat kita nyaman ketika kita menghuninya.

Indah bukan berarti rapi. Kadang keindahan justru muncul dari yang kecil dan sederhana, mungil tapi tampak asri dan lain sebagainya. Setiap orang tentu memiliki definisinya masing-masing.

Dua-tiga bulan aku merasa terlenakan dengan rumah baru bernama tumblr (sampai di sini kau pasti tahu apa yang kumaksud rumah). Tampilannya bagus, enak dipandang meskipun kita isikan dengan tulisan-tulisan panjang macam cerpen yang bisa habis sampai 7-8 halaman. Melalui rumah baru itu, aku bermaksud untuk membuat semacam portofolio (ragu dengan istilahnya) dari tulisan-tulisan berupa cerita yang pernah kubuat. Mencoba mengisinya dengan sesuatu yang ‘penting-penting’ saja.

Penting-penting’ saja-lah yang menjadi masalah bagi rumah baruku.

Sebelumnya tidak seperti itu. Aku akan menulis jika ingin menulis. Aku tidak akan menulis jika sedang tidak ingin menulis. Tak pernah begitu terpikirkan apakah itu akan penting dibaca orang lain atau tidak.

Sebelumnya aku tidak pernah bergantung apa-apa dalam hal menulis sesuatu. Menulis, menulis saja.

Setelah kupikir-kupikir, akhir-akhir ini justru kebalikannya. Ketika aku hendak ingin menulis, lalu bertanya kepada diri, apakah topik ini akan penting untuk orang lain baca? Aku jadi urung menulis. Aku menundanya, menunda lagi, hingga ketika sadar, keinginan menulis yang sempat muncul menjadi luntur kembali. Hal itu karena sebuah keinginan satu hal, mengisi rumah baru dengan hal-hal yang penting saja.

Aku memang punya rumah baru, tapi aku tak pernah mengisi perabotannya.

Aku memang punya tumblr baru, tapi aku tak pernah menulis sesuatu untuk mengisinya.

Lupa mengisi perabotannya.
***

*Mulai malam ini, kupikir akan kucoba lagi merawat kembali rumah lamaku (irkhammaulana-nur-hilal.blogspot.com)
Tempat dimana aku bisa mencorat-coret tembok-temboknya ketika aku ingin melakukannya.

Jika ada tempat yang menerimamu, bukankah rasanya tenang untuk mencoba sesuatu yang mustahil.
Pooch-san

Minggu, 30 April 2017

God Makes Dishes



God makes dishes,
and the devil add seasoning on it.”

                Mulanya kau tidak begitu paham ketika pertama kali mendengar kalimat yang disampaikan oleh Tutormu di Pare. Beliau menyampaikannya kepada kami semua ketika sedang membicarakan betapa pentingnya menetapkan tujuan, “Untuk apa kau di pare?”

                Apa hubungannya dengan tujuan, Tuhan, makanan dan bumbu? Semakin kau pikirkan, semakin kau merasa tidak paham.
               
                 “I’m sorry, what the quote mean?”
               
                Tutormu di sana bilang bahwa kalimat tersebut disampaikan oleh Sanji (seorang koki) dalam serial animasi one piece. Awalnya juga beliau tidak paham, sampai ada teman satu kampung-nya dulu yang menjelaskan kepadanya.
***

God makes dishes,
and the devil add seasoning on it.”

                Tutormu bertanya kepadamu, “Apa sih sebenarnya hakikat dari makan itu?”

                Beberapa orang menjawab makan itu untuk kebutuhan, sebagian lagi bergurau untuk kenyang. Tutormu hanya tertawa mendengarnya.

                “Hakikat makan itu adalah mengisi tenaga untuk melanjutkan aktivitas selanjutnya. Kau makan, aku makan, pada akhirnya untuk bisa melanjutkan bekerja, melanjutkan kembali aktivitas belajar. Makan itu semacam mengumpulkan bekal kepada otot-otot kita.

                Kau dan teman-temanmu menganggukkan kepala. Penjelasan dari tutormu masuk akal. Kau mencatatnya di buku putih yang ada di pangkuanmu.

                Makan untuk melanjutkan.

                “Lalu, orang-orang mulai lupa akan hakikat dari makan, kita mulai sibuk berpikir pilih mana antara nasi pecel dan sate kambing, ribut pilih nasi kuning atau potongan rendang, pisang atau pizza, enakan mana antara rambutan dengan durian. Kita mulai sibuk sama ‘bumbu’nya. Tahu-tahu aja kita kena stroke, kolesterol dan lainnya. The Devil add seasoning on it.”

                Kau sendiri tidak menyangka penjelasan tutormu akan seperti itu. Bukankah kau juga sering pilah-pilih tentang makanan? Bukan mana yang sehat atau tidak, melainkan mana yang lebih lezat dan enak, terkadang bahkan kau memikirkan mana yang lebih ‘prestise’. Sehabis makan kau malah bersantai dan tidur-tiduran (kadang tidur beneran), seolah kau benar-benar lupa bahwa setelah makan kau harus melanjutkan pekerjaanmu.

                “Apa penjelasan dari teman saya cuman itu? Nyatanya tidak!” tutormu kembali melanjutkan ucapannya di depan kelas.

                “Tuhan menciptakan dunia, sama seperti menciptakan makanan. Untuk apa? Untuk melanjutkan perjalanan. Tapi iblis menambahkan bumbu dan gemerlap-gemerlap kesenangan di dunia hingga manusia terlalu sibuk untuk di dunia, lupa bahwa itu hanya sementara dan sarana menyiapkan bekal.”

                “Jadi, saya minta tolong diingat-ingat kembali, apa tujuan kalian semua ke Pare sini? Kalian tentu sudah menghabiskan biaya dan waktu untuk bisa kesini, dan saya tidak ingin kalian tidak mendapatkan apa-apa di sini. Ada banyak bumbu di Pare, banyak sekali. Jadi, coba targetkan secara spesifik.”

Malam itu, bukan tanpa alasan tutormu menyampaikan hal tersebut. Beliau mengutarakannya ketika jam program telah dimulai namun dirinya tidak menemukan kami tengah bersiap untuk menerima ilmunya. Kami diuji, dan tak banyak kemajuan yang beliau rasakan.

                Malam itu, sebuah tamparan keras untukmu, dan memang sesekali kau merasa butuh juga untuk ditampar. God makes dishes, and the devil add seasoning on it.

Tulungrejo – Pare, Maret 2017

Tak Apa Kalau Dirimu Melakukan Kesalahan



                Tak apa kalau dirimu melakukan kesalahan, toh kau tidak harus selalu benar sejak dari awal.

                Misalnya saja kau hendak pergi ke suatu kota, kemudian kau memesan sebuah tiket kereta jauh-jauh hari, takut kehabisan. Kau sudah mengecek rutenya dan kereta apa yang akan kau tumpangi untuk sampai ke kota tujuan. Ketemulah kereta api yang sesuai jadwal bernama Logawa.

                Untuk jaga-jaga, kau mengecek pula jadwal kepulanganmu dan kau menemukan tidak ada masalah baik untuk berangkat maupun pulang. Kau klik tombol pesan, mengingatkan diri untuk memilih kursi tengan 13E (sampai kau tanyakan di grup yang duduk cuma dua kolom itu AB atau DE), booking, kemudian pergi ke atm untuk melakukan pembayaran.

                Sepulang dari itu, kau mendapatkan sebuah sms bahwa tiket telah terpesan. Ketika kau membacanya kau mulai menyadari satu hal, jam keberangkatannya berbeda, harusnya 08.55 namun di  sms tertera 12.00. Siapa yang salah?
               
                Kau baca kembali pesan sms itu dengan pelan dengan seksama. Dan ternyata tiket yang kau pesan terbalik jalurnya. Harusnya kau pesan A ke B, namun kau memesan dengan rute B ke A di hari keberangkatanmu.

                Kereta yang sama, kursi yang sama, tapi jalurnya terbalik.

                Tak apa kalau dirimu melakukan kesalahan, toh kau tidak harus selalu benar sejak dari awal.

                Meskipun akhirnya kau harus berangkat sendiri ke stasiun untuk melakukan perubahan jadwal. Menunda waktu sarapan, menghubungi customer service dan kau sendiri melihat sendiri penjaganya menahan tawa kala tahu jalurmu terbalik.

                “Oke mas, kami potong 25% ya sebagai biaya administrasi. Dan silahkan ambil tiket antrian.”

                Kau pencet tombol biru itu. keluarlah angka 85. Padahal kau tahu, antrian sekarang baru sampai angka 47. Butuh waktu 1 jam penantian untuk melakukan konfirmasi ulang.

                “Mau dirubah ke jadwal yang mana, Mas?”
                “Itu mba, tanggal sekian tujuan kesana dan kereta ini.”
                “Lho ini sudah cocok, Mas.”
                “Tidak Mba, itu tujuannya terbalik.”

                Akhirnya kau menambahkan beberapa rupiah dari kantung sakumu yang sudah kumal.

                Tak apa kalau dirimu melakukan kesalahan, toh kau tidak harus selalu benar sejak dari awal.

                Meskipun kau harus membayar lebih beberapa rupiah dan menunggu sekian waktu, sungguh Tak apa kalau dirimu melakukan salah.
                Toh dalam waktu menunggumu itu kau bisa berbincang dengan seseorang bernama Firman yang baru kau kenal. Teman menunggu antrianmu juga.
                Toh dalam waktu menunggumu kau bisa mengobrol tentang warung makan yang Firman jalankan di dekat kampus kesenian.
                Toh dengan sebuah kesalahan, akhirnya kau mendapatkan pengalaman. Bahkan paling tidak kau sudah bisa menjadikan kesalahanmu itu sebagai bahan sebuah tulisanmu sekarang.

                Sungguh, Tak apa kalau dirimu melakukan kesalahan, toh kau tidak harus selalu benar sejak dari awal.

Sebuah Stasiun, 23 Februari 2017