Rabu, 30 Maret 2022

Tempat Sampah

 


 

Sore kemarin, orang-orang kantor mengadakan makan bersama. Kupilih tempat duduk yang sekiranya akan satu kelompok dengan orang-orang yang tidak terlalu doyan makan. Dirimu pasti tahu kan mengapa aku memilih seperti itu? Iya karena agar bisa mencicipi menu lebih banyak dan ekstremnya lagi menghabiskan segalanya yang bisa kulahap.

Hidangan telah tersaji, dengan begitu banyaknya orang yang datang, menu yang dihidangkan adalah menu-menu yang dimakan rombongan. Ikan gurame, sate, sayur kangkung, bakwan, dan tak lupa ayam. Semua orang menyantapnya, bahkan sampai ada yang berpindah ke kelompok meja lain karena memang menu tiap deretan meja berbeda karena perbedaan ‘kasta’.

“Itu gurameh goreng tepungnya tidak dimakan?”

“Enggak, kering soalnya, tidak berkuah atau bersambal basah,”

Semua yang mendengar kalimat itu, ikut mengangguk. Mereka sepertinya terlihat sepakat kalau menu guramehnya akan ‘seret’ di mulut.

Sejak dari tadi aku menyantap makananku dengan sendok dan garpu. Melihat gurameh yang hampir tidak tersentuh dan hanya terpotong secuil, kuambil hand sanitizer di dalam tas lalu kusemprotkan di kedua tangan. Kuraih gurameh yang ‘tidak laku’ itu.

“Kamu doyan dan laper banget ya?”

“Enggak juga, tapi sayang banget kalau tidak ada yang makan,”

“Karena sekarang sudah jadi bapak-bapak, jadi mulai memikirkan tempat sampah ya?”

Kunyahanku terhenti. Iya di saat itu, entah bagaimana seolah aku tetiba berpikir keras dan baru menyadari akan suatu hal. Sesuatu tentang tempat sampah.

“Iya mba, aku cuman sayang saja sama makanannya kalau tidak kumakan, ia hanya akan terbuang di tempat sampah.”

Semakin banyak makanan yang tidak termakan, semakin cepat penuh pula tempat sampahnya. Padahal aku pun agak malas bila harus sering-sering membuang sampah terutama makanan.

Pernah suatu ketika di acara pernikahan kakak perempuan, aku iseng untuk membantu cuci piring di dapur. Dadaku sesak, karena dengan menjadi petugas cuci piring, ternyata akan melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyaknya makanan yang terbuang karena para tamu mengambil makanan prasmanan terlalu banyak dari yang bisa mereka habiskan. Rendang, ayam, telur, kentang dan masih banyak lagi.

Padahal makanan tersebut bisa jadi diinginkan oleh orang lain yang sedang kelaparan.

Makanannya juga sedih karena hanya akan terbuang dan dihinggapi lalat tanpa ada kemanfaatan.

Tempat sampah pun jadi terlalu cepat penuh karena kita terlalu berlebihan.

 

Sekarang sedang merasa kaku dalam menulis, mohon dimaklumi ya. . .

Kamis, 11 November 2021

Senar

 



Tulisan ini bukan tentang senar gitar, bukan juga tentang senar layangan. Tulisan ini tentang senar raket badminton. Emang mau cerita tentang apa kalau cuma topik senar raket?

Hobiku badminton, sepertinya buat mereka yang menyimpan nomor kontakku dan yang nomornya kusimpan, sering melihat diriku update status di lapangan. Ceritanya dulu pas SMA, sering mampir ke dusun sebelah untuk ikut main badminton di lapangan yang masih beralaskan tanah.

Singkat cerita, tepok sana tepok sini berkali kali sampai senar raketku putus di saat permainan sedang ramai-ramainya. Aku selalu membawa dua raket, jadi langsung kutukar saja raket yanng senarnya putus dengan raket yang berada di tasku dan langsung kulanjutkan permainan. Sempat sayup sayup kudengar kalau aku harusnya memotong habis senarnya terlebih dahulu.

“Ah bisa nanti saja” pikirku.

Akhirnya permainan selesai, masih menunggu giliran untuk bermain lagi, badan sudah capek dan pegel-pegel, akhirnya pulang ke rumah dan perkara harus menggunting senar raket yang putus jadi terlupa.

Mungkin bagi yang sudah sangat berpengalaman dalam badminton sudah bisa menebak nasib dari raketku itu. Tapi di waktu itu, aku masih sangat awam, dan aku jadi terkaget dan menyesal dibuatnya. Batang lingkaran raketku penyok, tidak lagi simetris melainkan miring ke arah samping. Selain itu, di tepi kepalanya juga retak dan beberapa bagian malah terlihat pecah. Raket itu rusak secara keseluruhan akibat aku mengabaikan satu senar putus. Raket itu sudah tidak bisa lagi digunakan.

***

Beberapa waktu yang lalu, aku baru merampungkan menonton animasi berjudul Odd Taxi. Lho ini dari cerita tentang raket badminton kok bisa langsung loncat cerita tentang animasi? Iya, kupikir agak berhubungan. Jadi tulisan kali ini adalah perpaduan antara raket badminton, animasi odd taxi, dan deadline hari jumat yang mengharuskan membuat tulisan panjang dan serius agar tidak ditendang keluar dari grup whatsaap.

Dalam salah satu episode Odd Taxi yang tokoh utamanya seekor walrus yang bernama Odokawa, kaca mobil taxi miliknya berlubang dan retak karena ditembak. Shirakawa berkomentar harusnya Odokawa langsung melakukan perbaikan terhadap kaca tesebut. Kemudian mereka berdua menyebutkan teori kaca retak. Kaca yang retak yang tidak segera diperbaiki, akan mengundang kerusakan-kerusakan lainnya (kugoogling dan menemukan windows broken theory yang sebenarnya adalah teori tentang kejahatan).

Putusnya satu helai senar raket adalah masalah kecil. Tapi membiarkannya dan tidak memperbaiki/menuntaskan masalahnya segera dengan memotong habis senar sisanya justru menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Ketika senar raket putus, bagian bagian senar yang lain justru akan saring tarik menarik dengan kuat, dan akibatnya yang semula tarikannya seimbang, kemudian menjadi kuat di berbagai sisi dan tidak berimbang lagi. Hal ini membuat batang raket menjadi ditarik ke arah yang tidak beraturan, sehingga mengakibatkan miring, penyok, ataupun pecah.

Barangkali dalam kehidupan juga sama. Masalah yang serius atau masalah besar timbul akibat kita mendiamkan dan tidak segera mengatasi masalah kecil. Masalah besar seharusnya bisa saja tidak perlu hadir dalam kehidupan kita kalau saja kita tidak memiliki hobi untuk menunda-nunda penyelesaian maslaah kecil.

Padahal kalau hanya mengganti senar, lumayan murah. Tapi akibat menunda, raket yang harusnya sehat-sehat saja jadi hanya bisa dibuang karena telah rusak.

 

Minggu, 31 Oktober 2021

Menasehati Masa Depan

 

Aku sering mendengar diksi seperti ini.

“Jikalau kau bisa kembali memutar waktu dan menyampaikan sesuatu kepada dirimu di masa lalu, apa yang ingin kau sampaikan?”

Kalimatnya terdengar indah, kayak ada manis-manisnya gitu. Menyampaikan sesuatu kepada diriku di masa lalu. Siapa yang tidak ingin? Jikalau memang benar-benar bisa, aku menduga apa yang ingin kusampaikan adalah jangan lakukan ini itu, dan lakukan ini itu, jadilah berani, atau ambillah kesempatan yang ini, dan tinggalkan kebiasaan itu. Pesan-pesan yang seolah jika kita melakukan sesuatu yang berbeda di masa lalu, hidup kita.

Sederhananya kalau satu paragraf barusan bisa dirangkum dengan satu kalimat, akan jadi seperti ini.

“Andai saja aku yang dulu. . .”

Kalimat yang terdengar merdu, tapi berbahaya sekali. Katanya kalimat ini bisa datang dari setan.

Bahasan yang terlalu serius, sampai kugosok-gosok keningku dengan tangan kiriku karena agak terasa pusing, hiks hiks.

Tapi selalu ada kabar baik, kan?

Iya kabar baiknya kali ini, masa lalu memang tidak bisa kita apa-apakan lagi karena ia telah berlalu. Yang kita bisa lakukan hanya mengambil pelajaran darinya. Kita memang tidak bisa menasehati masa lalu, tapi justru hal luar biasanya kita malah sangat bisa menasehati masa depan.

Kita sering melihat seseorang memposting apa yang diingatkan oleh sosial media seperti foto di masa lalu atau kita sendiri lah yang diingatkan. Kita jadi ingat momen kapan foto itu diambil, tetiba terlintas suasana dan cerita-cerita yang seolah tertuliskan di hasil jepretan dan hanya kita sendiri yang bisa membacanya. Kita seakan merasakan kembali dan hadir terbayang di masa-masa itu. Kita tahu persis dan paling mengerti apa saja yang tidak dimengerti oleh orang biasa saat melihatnya.

Meskipun, sekarang orang lebih suka memposting melalui story ketimbang di feed. Sejauh yang kulihat sih seperti itu.

Tapi menasehati masa depan itu konsepnya sama. Sekarang di detik ini, entah kenapa aku baru tersadar dan sekarang sedang melakukannya. Iya, menulis di halaman ini, dan tulisan tulisan setelah ini selain menjadi tempat menata pikiran, ia ternyata bisa menjadi tempat menasehati masa depan.

Saat diriku di masa depan membaca tulisan-tulisanku kelak, dia bisa tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini. Dia juga akan tahu kenapa aku yang saat ini menuliskannya. Dia akan sangat mengerti kenapa tulisan itu dibuat. Menulis pengalaman dan pikiran saat ini, bisa jadi akan membantu diriku yang berada di masa depan. Aku pernah mengalami masalah seperti ini, masalah seperti itu, meskipun tentunya kubalut dengan kamuflase agar hanya diriku saja yang tahu isi yang sebenarnya.

Ingatan diriku yang saat ini terasa terbatas, apalagi ingatanku diriku yang berada di masa depan. Aku yang sekarang membayangkan bahwa diriku di masa depan akan mengalami pengalaman yang lebih banyak, bisa jadi lebih menguras pikiran daripada yang sekarang. Perkara ingatan ini memang ya, sesuatu sekali. Aku bahkan tidak bisa ingat seminggu yang lalu makan dengan lauk apa ketika makan siang. Terus aku berharap hanya mengandalkan ingatan untuk menangkap seluruh kejadian-kejadian dan pelajarannya?

Aku sedikit merasa lega, karena ternyata ada yang bisa diriku yang sekarang lakukan untuk sedikit membantu diriku di masa depan. Ya sejatinya seluruh tulisanku yang kubuat, entah itu kata mutiara, atau review kartun, atau apapun itu, sejatinya kutujukkan ke seseorang. Yang mana seseorang itu adalah diriku sendiri. Menuliskannya, terasa sedang seperti sedang berdialog. Menceritakannya, kadang benar-benar seperti merasa nafas menjadi agak tenang, pikiran cemas menjadi berkurang.

Aku sih yakin, setiap orang bisa menemukan caranya masing-masing untuk menasehati masa depan. Kalau aku lewat tulisan, bisa jadi kau lewat lukisan, jepretan, lantunan, atau pun menitipkannya ke teman-teman. Gimana cara menitipkannya? Ya ketika kalian saling bercerita dan mengobrol sambil tertawa bersama, kupikir itu juga adalah caranya. Temanmu di masa depan bisa membantu mengingatkan dirimu yang di masa depan.

Coba tebak, berapa kata masa depan yang sudah terketik di sini? Aku saja tidak tahu persis jumlahnya berapa. Tapi kayaknya sudah terlalu banyak, hiks hiks.

Sok-sokan sekali ya aku berbicara banyak tentang masa depan, padahal barangkali saja,  eh tiba-tiba mati, maut menjemput duluan.

Semoga Allah memberkahi umur panjang dan kebaikan-kebaikan di umur tersebut.

Kutipannya adalah Manusia lebih berusaha untuk hidup saat mati ketimbang saat masih hidup. Maka hargailah kehidupan saat masih hidup.

 

 

Kamis, 28 Oktober 2021

Anonim

 


Pertama kali mendengar istilah anonim, maka yang terpikirkan di kepalaku adalah tentang seorang penulis yang menyembunyikan tulisannya. Anonim juga sering disematkan bersamaan dengan tulisan, kata mutiara ataupun cuitan yang tidak diketahui siapa penulis pertamanya. (Dih kok tumben nulisnya serius macam artikel gini ya).

Dunia yang sekarang itu, riuh, penuh gegap gempita. Dunia yang sekarang itu seolah panggung telah berdiri di tiap genggaman. Like, komentar, subscribe dan view menjadi sebuah patokan tentang perhatian.

Dunia yang sekarang seolah bisa mengukur perhatian dengan angka. Digit-digit tentang suka, ramainya jumlah akun yang memberikan pujian dan lain sebagainya. Aku juga sama. Sering mengukur bagus tidaknya tulisan dari berapa tombol berbentuk jantung manusia dipencet dan dihadiahkan untukku. Sampai-sampai aku ingin tahu siapa yang menyukai tulisanku, untuk kemudian kutawarkan tulisan lain secara privat.

Dulu sejauh yang kuingat, pas masa kuliah, aku sudah mulai tertarik menuliskan cerita-cerita yang kutaruh di sebuah chat whatsapp, kukirimkan ke sebuah grup yang berjumlah lebih dari 60 orang. Ketika tidak ada respon atau malah ketimbun dengan topik lain. Aku merasa sedih. Kucoba ulang untuk mengirim cerita lagi ke sana, hingga akhirnya aku memutuskan tidak akan mengirimkan cerita berupa chat ke grup itu lagi.

Aku juga pernah menuliskan tulisan panjang maupun cerita ke dalam instagram, biasanya kulayout dan kususun menggunakan power point, sehingga menjadi slide cerita. Itu terus kulakukan sampai kini karena mempelajari canva dan menuliskan sepenggal kata-kata pendek dengan tempel tulisan sana sini.

Dan kini entah apa yang terbesit di pikiran, mencoba kembali pulang menulis melalui blog. Ngeblog yang sudah kujadikan tempat menulis jauh sebelum aku memposting di grup whatsapp itu. Blog menjadi terasa seperti rumah untuk tulisanku pulang.

Kini aku menemukan alasannya. Anonim. Di platform blog, bukan penulis yang anonim, tapi justru pembacanya. Tidak ada tombol like, juga sangat jarang orang meninggalkan komentar karena sulitnya meninggalkan komentar tidak seperti medsos pada umumnya. Melalui status whatsapp, kita bisa mengecek siapa saja yang sudah membaca unggahan kita (bisa baca beneran maupun langsung diskip sih). Tapi yang melihat, memiliki nama. Yang membaca, kita mengenal orangnya. Bahkan mereka bisa langsung memberikan respon dan masuk sebagai chat.

Blog begitu berbeda. Karena memang sepertinya dianggap sudah ketinggalan jaman sehingga tidak banyak lagi yang memainkannya. Di blog, pada dashboard hanya ditampilkan statistik jumlah view. Penulisnya saya, pembacanya anonim. Hebat kan?

Seolah dari media sosial yang menawarkan keriuhan dan panggung untuk tampil mempesona dan sempurna, blog malah berada di kutub sebaliknya. Dia menawarkan ketenangan. Di blog, aku sangat paham bahwa aku menulis sendirian, dan kadang aku jadi paham tentang tujuanku menulis yaitu menata pikiran dan utamanya untukku sendiri.

Secara personal, menulis blog itu terasa unik. Kita bisa berpura-pura menasehati seseorang, padahal seseorang yang kita maksudkan dan tujukan adalah diri kita sendiri.

Kalau mengutip tagline dari blog temanku. Write like no one’s watching (aku bahkan nggak paham yang punya tagline ini membaca ini atau tidak -,-a )


Sabtu, 16 Oktober 2021

Berkeringat

 

Normalnya, keringat akan muncul kalau lingkungan sekitar kita atau tempat kita berada terasa panas kan ya? Atau karena kita sedang beraktivitas berat, olahraga dan kerja keras misalnya? Tapi ternyata ada kondisi ketiga. Kita bisa berkeringat bahkan ketika lingkungannya dingin dan kita sedang diam saja alias tidak ngapa-ngapain (padahal ini bukan hal yang wah untuk kuberitahu juga, kalian pasti juga sudah tahu).

Bulir-bulir air yang keluar dari kulit juga bisa keluar lantaran jantung kita yang berdegup kencang meskipun hanya duduk dengan bertumpu pada kedua kaki yang ditekuk ke belakang. Lengan dan punggung bisa tetiba merasa basah hanya karena berpikir terlalu keras tentang jawaban-jawaban. Bagaimana kalau jawabanku tidak berkenan, bagaimana kalau bahasaku berantakan, bagaimana kalau gurauanku tidak lucu, bagaimana kalau aku menjadi gagap, bagaimana kalau kata-kata tidak tersampaikan sebagaimana yang ingin dimaksudkan.

Aku bahkan mencari alasan untuk meminta izin mengganti posisi duduk menjadi bersila. Selain agar sedikit menurunkan tensi dan ketegangan, ternyata sakit juga kakiku ditindih oleh beban berat tubuhku (Saat itu aku tersadar bahwa aku harus diet, tapi entah itu tekad yang keberapa kali diucapkan).

Sampai saat itu aku selalu mengira, jarak antara dua kota yang bersebelahan pastilah tidak sejauh itu. Eh ternyata, tetap juga waktu tempuh perjalanannya lumayan. Sejam pas berangkat, sejam setengah pas pulang karena agak macet. Apa itu juga yang menjadikanku berkeringat sampai harus kuusap-usap kedua lenganku untuk menyembunyikannya? Kedua tanganku belang, apalagi kedua punggung kakiku, dia tampak putih dengan corak berbentuk V khas sandal jepit (tapi bukan swallow). Padahal seseorang sudah beberapa kali menanyakan dan menyarankan juga untuk pakai sarung tangan.

Aku melihat butir-butir anggur. Kubelah dia dan kumakan. Aku tidak begitu ingat rasanya. Tapi aku baru sadar pas anggur-anggur itu kubawa ke pantai, anggur bisa seenak itu. Sering juga sekarang foto foto nggak jelas, membandingkan anggur dan siluet matahari di pantai. Tapi aku juga jadi tahu kalau kita tidak bisa berkeringat saat berdiri saja di pasir pantai yang luas dengan terpaan angin yang sangat kencang di sore hari. Seolah semua keringat yang hendak keluar, didorong masuk lagi dan membuatku masuk angin sepulangnya.

Padahal awalnya nulis tentang keringat, terus tentang kata-kata, terus anggur, dilanjutkan dengan pantai. Setidakberpola itu ya tulisanku. Meskipun judul dari blog ini adalah menata pikiran, kadang kubiarkan saja ia tidak tertata seperti ini.

 

Senin, 11 Oktober 2021

Apa Adanya Diriku


Apa artinya menjadi diri sendiri itu?

Apakah sesuatu yang sangat membedakan diri kita dengan orang lain? Sesuatu yang sangat menggambarkan diri kita, ciri khas atau sebuah karakter yang spesial?

Apa artinya menjadi diri sendiri itu?

Saat kecil aku tidak memikirkannya sama sekali, aku akan tertawa kalau itu lucu, aku akan bilang tidak suka ketika tidak suka, dan aku akan bilang menyukainya ketika aku menyukainya.

Apa artinya menjadi diri sendiri itu?

Kenapa pertanyaan ini sekarang menjadi sesuatu yang sangat penting bagiku? Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari saat kecil? Apa aku hanya sedang ikut-ikutan menganggapnya penting karena semua orang bilang itu adalah hal penting? Atau apa?

Kalau saja ada suatu hari dimana aku harus berdiri di depan sebuah panggung untuk memperkenalkan diri sendiri dengan tema apa adanya diriku. Aku mungkin akan kebingungan. Mungkin saja aku akan merasa panik, cemas, gagap dan segala masalah komunikasi lain, tapi aku membayangkan bahwa diriku hanya bisa terdiam karena aku tidak tahu diriku sendiri. Aku tidak apa adanya diriku itu seperti apa?

Apa adanya diriku itu orang yang bagaimana?

Suatu waktu aku bersemangat melakukan sesuatu, suatu yang lain aku hanya membaringkan kepala di atas bantal dan bermalas-malasan. Aku pekerja keras atau seorang pemalas? Seperti kedua-duanya, jadi aku tidak tahu diriku yang sebenar-benarnya diriku itu yang mana.

Aku berbicara tentang apa saja, ketawa, kadang guyon dengan celetukan nyinyir, kadang orang tertawa, kadang garing sampai dibilang, ngomong apa sih kamu? Tapi aku juga bisa diam begitu saja, tanpa suara. Tidak mood mengeluarkan kata-kata, orang melihatku katanya sepertinya aku sedang banyak pikiran. Padahal tidak ada jeda lima menit yang terlewat, dari tertawa bisa menjadi tertawannya suara. Jadi aku seorang yang cerewet ataukah pendiam? Seperti kedua-duanya, jadi aku tidak tahu diriku yang sebenar-benarnya diriku itu yang mana.

Orang juga bilang bahwa diriku terlihat seperti tidak punya masalah sama sekali yang dipikirkan, terutama ketika masa-masa kuliah, tapi di waktu yang sama juga, orang bilang aku seperti sedang tertekan? Lalu aku yang mana?

Aku sempat mengira diriku adalah orang yang penyabar, tapi bukannya tidak jarang aku hanya terdiam karena merasa ngambek hanya dengan kata-kata? Aku merasa diriku adalah pribadi yang terbuka akan masukan, tapi ketika sebuah nasehat ditujukan kepada diriku langsung dimana aku dibilang pribadi yang terlalu pasif dan sangat kurang inisiatif (aku sendiri berpikir barangkali ini benar) tapi seketika seperti membuat moodku berbicara langsung hilang seketika. Padahal di depanku ada es matcha yang kusuka, tapi tidak ada lagi rasa di lidah. Manis nya matcha tidak mampu mengobati moodku yang jadi terlalu banyak berpikir, bagaimana kalau aku tua sendirian?

Ketika sebuah kata-kata terasa benar, aku terdiam, aku ingin masuk goa, aku ingin memikirkannya, atau terpaksa memikirkannya saat itu juga. Saat berpikir sesuatu yang sangat mendalam, aku mengunci mulutku. Aku berpikirnya lama. Kadang pikirannya bahkan membuat hariku mendung padahal matahari bersinar terik di atas langit sana.

Aku merasa sepeduli itu, tapi di waktu yang tidak jauh berbeda, aku bisa secuek itu.

Aku merasa hidup haruslah luar biasa, di saat yang sama aku memikirkan apakah itu sebuah dosa kalau hidup biasa-biasa saja?

Bahkan ketika tulisan ini kuutarakan, aku sedang tidak tahu apakah yang kutuliskan ini adalah bentuk dari kejujuran, atau hanya sekedar kebohongan.

Seabsurd itu.

Setidaktahunya aku tentang apa adanya diriku itu seperti apa.

Aku itu siapa?

Sifat apa yang kau suka?

Rabu, 06 Oktober 2021

Memberi dan Mengambil Tanggung Jawab

Ada sebuah grup yang terdiri dari kumpulan alumni asrama dulu yang kini tinggal di Jabodetabek. Dulunya sih sepertinya tujuan grup itu dibuat agar ‘koordinasi’ manakala pada ribut kapan nongkrong, kapan ketemuan, kapan meet up. Pas diingat-ingat, ya memang gitu pas isi grup lebih banyak status bujang dan perawan daripada status istri atau suami, ibu dan bapak dari seorang anak.

Aku ngiranya, saat status penghuninya proporsinya berubah lebih banyak yang menjadi istri atau suami, grup ini akan menjadi sepi. Tapi ternyata aku juga salah. Grup ini malah menjadi lebih rame karena sepertinya bisa dijadikan pelarian untuk menceritakan sesuatu yang tidak bisa disampaikan di grup besar yang berisi 60 an personel. Terlebih lagi, sering pula ada sosok yang apapun topiknya, menjerumusnya ke topik patriarki lagi, lagi, dan lagi sampai entah nggak tahu kapan. Kadang kesel, tapi lebih sering tersentuh apalagi ketika bapak-bapak dan ibu-ibu yang beranak bercerita tentang apa yang dipikiran mereka. Jadi semacam grup yang macam oven. Kok oven? Hatiku jadi hangat pas bacanya.

Banyak sekali topik dan nyesel juga karena sejak lama tidak menulis blog, tulisanku hanya tentang cerita pendek ataupun quote yang kupost di status wa maupun feed ig. Hiks hiks.

“Karir untuk ibu hamil atau ibu ber anak bagaimana ya? Mungkin ada ibu ibu yang ingin sharing.”

“Kuncinya musti ngantongin hal yang mendasarnya dulu kar, “Ridho suami” titik. Karena secara nggak langsung dia pun akan berkorban waktunya terbagi karena peran istrinya terbagi.”

“Hiks hiks” (Ya Allah komenku nggak mutu banget).

“Iya ini dilema juga bagi dia. For me, I just want her to do what makes her happy aja” (ini yang ngechat cowok ya)

“Yes, mas ku dulu ngizininnya juga gitu gara gara ku bilang bosen di rumah, tapi ada satu titik karirnya kadang nggak membuat si istri bahagia dan suami yang bisa bantu nyemangatin lagi. Semisal lagi burn out sama kerjaan, rasanya pingin resign aja titik pingin full bareng bayik, tapi diinget-inget lagi ternyata alasan ingin berkarir di luar ternyata nggak hanya meleaskan alasan bosen di rumah, wkwkw”

“Alasan lainnya adalah?” (hoy aku kalau nanya nggak ngotak ya)

“Kalau aku pribadi, karena aku anak pertama dari sandwich gen, jadi aku merasa punya tanggung jawab lebih walaupun ku anak perempuan.”

“Agar ketika memberi ke keluarga tidak sungkan dengan suami?” (keplok wae sirahku.)

“Yess, walaupun tetap izin dulu sih, tapi mau kasih berapanya jadi lebih enak.”

“Berapa emang menganggarkan ngasihnya?” (untung chat ini nggak pernah terkirim, oh dasar diriku kalau nanya nggak kira-kira.

“Tapi kau merasa menanggung sesuatu nggak? Semisalnya saja biaya kuliah adik” (Kham, menengo).

Di bagian ini, aku sebenarnya sudah merasa jedag jedug jantungku. Kayak menunggu jawaban tapi juga berseru, don’t say, don’t say, don’t say.     

“Iyap, mas irkham, apalagi semenjak almarhumah ibu ndak ada, terutama tabungan pendidikan adikku yang terakhir aku handover”

Duerrrrrr, aku terkaget sih ini.

“Aku masih bisa kalau memberi. Tapi kalau mengambil tanggung jawab seperti ini. Ini sudah jossss banget dan di luar kemampuanku sih.”

“Karena yang bisa ku balas budi ke ayahku adalah meringankan beban pikiran beliau :” walaupun tetap nggak seberapa sama perjuangan beliau yang bisa jadikanku sarjana.”

***

Kalau melihat konteksnya, seperti apa orangnya, suasananya, semua chat di aas terasa mengena. Apalagi di bagian temenku mengambil tanggung jawab untuk adiknya.

Memberi itu, kita ada lebih, kita berikan kelebihan itu pada seseorang dan kita tidak memikirkan lebih lanjut orang tersebut. Sedangkan mengambil tanggung jawab itu, kita benar mencurahkan segalanya untuk orang yang dimaksud. Rela berpeluh, rela bekerja lebih larut, keringat menetes lebih banyak, air mata kadang-kadang menetes di suasana hening demi memastikan seseorang tersebut hidup dengan baik, bahkan meski hidup kita belum sebaik itu.

Sederhananya memberi dan mengambil tanggung jawab itu seperti saat kita melihat kucing.

Saat melihatnya di jalanan dan kita memberikan secuil makanan untuknya. Itu memberi. Besoknya kalau kita tidak melihatnya, atau kita sedang tidak ada makanan, kita tidak terlalu mengkhawatirkan dan memikirkannya.

Tapi jika kucing itu kita pungut, kita kasih makan rutin, kita bersihkan dia, dia kadang eek sembarangan yang membuat kita harus mengepel atau menjemur kasur yang merepotan, kadang dia menggigit, kita belikan makanan yang lebih mahal dari se porsi makanan kita. Kita rawat kalau sakit. Itu semua adalah mengambil tanggung jawab.

Sesuatu yang tidak lagi sederhana. Mengambil tanggung jawab itu berarti semacam ikrar, aku mengikatkan diri padamu, merawatmu, bersedih akanmu, bersusah payah juga karenamu, agar kau menjadi lebih baik.

Kalau disederhanakan lagi di konteks obrolan di atas.

Aku mengambil tanggung jawab atas adiiku adalah bentuk nyata karena aku mencintai adikku.