Kamis, 11 November 2021

Senar

 



Tulisan ini bukan tentang senar gitar, bukan juga tentang senar layangan. Tulisan ini tentang senar raket badminton. Emang mau cerita tentang apa kalau cuma topik senar raket?

Hobiku badminton, sepertinya buat mereka yang menyimpan nomor kontakku dan yang nomornya kusimpan, sering melihat diriku update status di lapangan. Ceritanya dulu pas SMA, sering mampir ke dusun sebelah untuk ikut main badminton di lapangan yang masih beralaskan tanah.

Singkat cerita, tepok sana tepok sini berkali kali sampai senar raketku putus di saat permainan sedang ramai-ramainya. Aku selalu membawa dua raket, jadi langsung kutukar saja raket yanng senarnya putus dengan raket yang berada di tasku dan langsung kulanjutkan permainan. Sempat sayup sayup kudengar kalau aku harusnya memotong habis senarnya terlebih dahulu.

“Ah bisa nanti saja” pikirku.

Akhirnya permainan selesai, masih menunggu giliran untuk bermain lagi, badan sudah capek dan pegel-pegel, akhirnya pulang ke rumah dan perkara harus menggunting senar raket yang putus jadi terlupa.

Mungkin bagi yang sudah sangat berpengalaman dalam badminton sudah bisa menebak nasib dari raketku itu. Tapi di waktu itu, aku masih sangat awam, dan aku jadi terkaget dan menyesal dibuatnya. Batang lingkaran raketku penyok, tidak lagi simetris melainkan miring ke arah samping. Selain itu, di tepi kepalanya juga retak dan beberapa bagian malah terlihat pecah. Raket itu rusak secara keseluruhan akibat aku mengabaikan satu senar putus. Raket itu sudah tidak bisa lagi digunakan.

***

Beberapa waktu yang lalu, aku baru merampungkan menonton animasi berjudul Odd Taxi. Lho ini dari cerita tentang raket badminton kok bisa langsung loncat cerita tentang animasi? Iya, kupikir agak berhubungan. Jadi tulisan kali ini adalah perpaduan antara raket badminton, animasi odd taxi, dan deadline hari jumat yang mengharuskan membuat tulisan panjang dan serius agar tidak ditendang keluar dari grup whatsaap.

Dalam salah satu episode Odd Taxi yang tokoh utamanya seekor walrus yang bernama Odokawa, kaca mobil taxi miliknya berlubang dan retak karena ditembak. Shirakawa berkomentar harusnya Odokawa langsung melakukan perbaikan terhadap kaca tesebut. Kemudian mereka berdua menyebutkan teori kaca retak. Kaca yang retak yang tidak segera diperbaiki, akan mengundang kerusakan-kerusakan lainnya (kugoogling dan menemukan windows broken theory yang sebenarnya adalah teori tentang kejahatan).

Putusnya satu helai senar raket adalah masalah kecil. Tapi membiarkannya dan tidak memperbaiki/menuntaskan masalahnya segera dengan memotong habis senar sisanya justru menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Ketika senar raket putus, bagian bagian senar yang lain justru akan saring tarik menarik dengan kuat, dan akibatnya yang semula tarikannya seimbang, kemudian menjadi kuat di berbagai sisi dan tidak berimbang lagi. Hal ini membuat batang raket menjadi ditarik ke arah yang tidak beraturan, sehingga mengakibatkan miring, penyok, ataupun pecah.

Barangkali dalam kehidupan juga sama. Masalah yang serius atau masalah besar timbul akibat kita mendiamkan dan tidak segera mengatasi masalah kecil. Masalah besar seharusnya bisa saja tidak perlu hadir dalam kehidupan kita kalau saja kita tidak memiliki hobi untuk menunda-nunda penyelesaian maslaah kecil.

Padahal kalau hanya mengganti senar, lumayan murah. Tapi akibat menunda, raket yang harusnya sehat-sehat saja jadi hanya bisa dibuang karena telah rusak.

 

Minggu, 31 Oktober 2021

Menasehati Masa Depan

 

Aku sering mendengar diksi seperti ini.

“Jikalau kau bisa kembali memutar waktu dan menyampaikan sesuatu kepada dirimu di masa lalu, apa yang ingin kau sampaikan?”

Kalimatnya terdengar indah, kayak ada manis-manisnya gitu. Menyampaikan sesuatu kepada diriku di masa lalu. Siapa yang tidak ingin? Jikalau memang benar-benar bisa, aku menduga apa yang ingin kusampaikan adalah jangan lakukan ini itu, dan lakukan ini itu, jadilah berani, atau ambillah kesempatan yang ini, dan tinggalkan kebiasaan itu. Pesan-pesan yang seolah jika kita melakukan sesuatu yang berbeda di masa lalu, hidup kita.

Sederhananya kalau satu paragraf barusan bisa dirangkum dengan satu kalimat, akan jadi seperti ini.

“Andai saja aku yang dulu. . .”

Kalimat yang terdengar merdu, tapi berbahaya sekali. Katanya kalimat ini bisa datang dari setan.

Bahasan yang terlalu serius, sampai kugosok-gosok keningku dengan tangan kiriku karena agak terasa pusing, hiks hiks.

Tapi selalu ada kabar baik, kan?

Iya kabar baiknya kali ini, masa lalu memang tidak bisa kita apa-apakan lagi karena ia telah berlalu. Yang kita bisa lakukan hanya mengambil pelajaran darinya. Kita memang tidak bisa menasehati masa lalu, tapi justru hal luar biasanya kita malah sangat bisa menasehati masa depan.

Kita sering melihat seseorang memposting apa yang diingatkan oleh sosial media seperti foto di masa lalu atau kita sendiri lah yang diingatkan. Kita jadi ingat momen kapan foto itu diambil, tetiba terlintas suasana dan cerita-cerita yang seolah tertuliskan di hasil jepretan dan hanya kita sendiri yang bisa membacanya. Kita seakan merasakan kembali dan hadir terbayang di masa-masa itu. Kita tahu persis dan paling mengerti apa saja yang tidak dimengerti oleh orang biasa saat melihatnya.

Meskipun, sekarang orang lebih suka memposting melalui story ketimbang di feed. Sejauh yang kulihat sih seperti itu.

Tapi menasehati masa depan itu konsepnya sama. Sekarang di detik ini, entah kenapa aku baru tersadar dan sekarang sedang melakukannya. Iya, menulis di halaman ini, dan tulisan tulisan setelah ini selain menjadi tempat menata pikiran, ia ternyata bisa menjadi tempat menasehati masa depan.

Saat diriku di masa depan membaca tulisan-tulisanku kelak, dia bisa tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini. Dia juga akan tahu kenapa aku yang saat ini menuliskannya. Dia akan sangat mengerti kenapa tulisan itu dibuat. Menulis pengalaman dan pikiran saat ini, bisa jadi akan membantu diriku yang berada di masa depan. Aku pernah mengalami masalah seperti ini, masalah seperti itu, meskipun tentunya kubalut dengan kamuflase agar hanya diriku saja yang tahu isi yang sebenarnya.

Ingatan diriku yang saat ini terasa terbatas, apalagi ingatanku diriku yang berada di masa depan. Aku yang sekarang membayangkan bahwa diriku di masa depan akan mengalami pengalaman yang lebih banyak, bisa jadi lebih menguras pikiran daripada yang sekarang. Perkara ingatan ini memang ya, sesuatu sekali. Aku bahkan tidak bisa ingat seminggu yang lalu makan dengan lauk apa ketika makan siang. Terus aku berharap hanya mengandalkan ingatan untuk menangkap seluruh kejadian-kejadian dan pelajarannya?

Aku sedikit merasa lega, karena ternyata ada yang bisa diriku yang sekarang lakukan untuk sedikit membantu diriku di masa depan. Ya sejatinya seluruh tulisanku yang kubuat, entah itu kata mutiara, atau review kartun, atau apapun itu, sejatinya kutujukkan ke seseorang. Yang mana seseorang itu adalah diriku sendiri. Menuliskannya, terasa sedang seperti sedang berdialog. Menceritakannya, kadang benar-benar seperti merasa nafas menjadi agak tenang, pikiran cemas menjadi berkurang.

Aku sih yakin, setiap orang bisa menemukan caranya masing-masing untuk menasehati masa depan. Kalau aku lewat tulisan, bisa jadi kau lewat lukisan, jepretan, lantunan, atau pun menitipkannya ke teman-teman. Gimana cara menitipkannya? Ya ketika kalian saling bercerita dan mengobrol sambil tertawa bersama, kupikir itu juga adalah caranya. Temanmu di masa depan bisa membantu mengingatkan dirimu yang di masa depan.

Coba tebak, berapa kata masa depan yang sudah terketik di sini? Aku saja tidak tahu persis jumlahnya berapa. Tapi kayaknya sudah terlalu banyak, hiks hiks.

Sok-sokan sekali ya aku berbicara banyak tentang masa depan, padahal barangkali saja,  eh tiba-tiba mati, maut menjemput duluan.

Semoga Allah memberkahi umur panjang dan kebaikan-kebaikan di umur tersebut.

Kutipannya adalah Manusia lebih berusaha untuk hidup saat mati ketimbang saat masih hidup. Maka hargailah kehidupan saat masih hidup.

 

 

Kamis, 28 Oktober 2021

Anonim

 


Pertama kali mendengar istilah anonim, maka yang terpikirkan di kepalaku adalah tentang seorang penulis yang menyembunyikan tulisannya. Anonim juga sering disematkan bersamaan dengan tulisan, kata mutiara ataupun cuitan yang tidak diketahui siapa penulis pertamanya. (Dih kok tumben nulisnya serius macam artikel gini ya).

Dunia yang sekarang itu, riuh, penuh gegap gempita. Dunia yang sekarang itu seolah panggung telah berdiri di tiap genggaman. Like, komentar, subscribe dan view menjadi sebuah patokan tentang perhatian.

Dunia yang sekarang seolah bisa mengukur perhatian dengan angka. Digit-digit tentang suka, ramainya jumlah akun yang memberikan pujian dan lain sebagainya. Aku juga sama. Sering mengukur bagus tidaknya tulisan dari berapa tombol berbentuk jantung manusia dipencet dan dihadiahkan untukku. Sampai-sampai aku ingin tahu siapa yang menyukai tulisanku, untuk kemudian kutawarkan tulisan lain secara privat.

Dulu sejauh yang kuingat, pas masa kuliah, aku sudah mulai tertarik menuliskan cerita-cerita yang kutaruh di sebuah chat whatsapp, kukirimkan ke sebuah grup yang berjumlah lebih dari 60 orang. Ketika tidak ada respon atau malah ketimbun dengan topik lain. Aku merasa sedih. Kucoba ulang untuk mengirim cerita lagi ke sana, hingga akhirnya aku memutuskan tidak akan mengirimkan cerita berupa chat ke grup itu lagi.

Aku juga pernah menuliskan tulisan panjang maupun cerita ke dalam instagram, biasanya kulayout dan kususun menggunakan power point, sehingga menjadi slide cerita. Itu terus kulakukan sampai kini karena mempelajari canva dan menuliskan sepenggal kata-kata pendek dengan tempel tulisan sana sini.

Dan kini entah apa yang terbesit di pikiran, mencoba kembali pulang menulis melalui blog. Ngeblog yang sudah kujadikan tempat menulis jauh sebelum aku memposting di grup whatsapp itu. Blog menjadi terasa seperti rumah untuk tulisanku pulang.

Kini aku menemukan alasannya. Anonim. Di platform blog, bukan penulis yang anonim, tapi justru pembacanya. Tidak ada tombol like, juga sangat jarang orang meninggalkan komentar karena sulitnya meninggalkan komentar tidak seperti medsos pada umumnya. Melalui status whatsapp, kita bisa mengecek siapa saja yang sudah membaca unggahan kita (bisa baca beneran maupun langsung diskip sih). Tapi yang melihat, memiliki nama. Yang membaca, kita mengenal orangnya. Bahkan mereka bisa langsung memberikan respon dan masuk sebagai chat.

Blog begitu berbeda. Karena memang sepertinya dianggap sudah ketinggalan jaman sehingga tidak banyak lagi yang memainkannya. Di blog, pada dashboard hanya ditampilkan statistik jumlah view. Penulisnya saya, pembacanya anonim. Hebat kan?

Seolah dari media sosial yang menawarkan keriuhan dan panggung untuk tampil mempesona dan sempurna, blog malah berada di kutub sebaliknya. Dia menawarkan ketenangan. Di blog, aku sangat paham bahwa aku menulis sendirian, dan kadang aku jadi paham tentang tujuanku menulis yaitu menata pikiran dan utamanya untukku sendiri.

Secara personal, menulis blog itu terasa unik. Kita bisa berpura-pura menasehati seseorang, padahal seseorang yang kita maksudkan dan tujukan adalah diri kita sendiri.

Kalau mengutip tagline dari blog temanku. Write like no one’s watching (aku bahkan nggak paham yang punya tagline ini membaca ini atau tidak -,-a )


Sabtu, 16 Oktober 2021

Berkeringat

 

Normalnya, keringat akan muncul kalau lingkungan sekitar kita atau tempat kita berada terasa panas kan ya? Atau karena kita sedang beraktivitas berat, olahraga dan kerja keras misalnya? Tapi ternyata ada kondisi ketiga. Kita bisa berkeringat bahkan ketika lingkungannya dingin dan kita sedang diam saja alias tidak ngapa-ngapain (padahal ini bukan hal yang wah untuk kuberitahu juga, kalian pasti juga sudah tahu).

Bulir-bulir air yang keluar dari kulit juga bisa keluar lantaran jantung kita yang berdegup kencang meskipun hanya duduk dengan bertumpu pada kedua kaki yang ditekuk ke belakang. Lengan dan punggung bisa tetiba merasa basah hanya karena berpikir terlalu keras tentang jawaban-jawaban. Bagaimana kalau jawabanku tidak berkenan, bagaimana kalau bahasaku berantakan, bagaimana kalau gurauanku tidak lucu, bagaimana kalau aku menjadi gagap, bagaimana kalau kata-kata tidak tersampaikan sebagaimana yang ingin dimaksudkan.

Aku bahkan mencari alasan untuk meminta izin mengganti posisi duduk menjadi bersila. Selain agar sedikit menurunkan tensi dan ketegangan, ternyata sakit juga kakiku ditindih oleh beban berat tubuhku (Saat itu aku tersadar bahwa aku harus diet, tapi entah itu tekad yang keberapa kali diucapkan).

Sampai saat itu aku selalu mengira, jarak antara dua kota yang bersebelahan pastilah tidak sejauh itu. Eh ternyata, tetap juga waktu tempuh perjalanannya lumayan. Sejam pas berangkat, sejam setengah pas pulang karena agak macet. Apa itu juga yang menjadikanku berkeringat sampai harus kuusap-usap kedua lenganku untuk menyembunyikannya? Kedua tanganku belang, apalagi kedua punggung kakiku, dia tampak putih dengan corak berbentuk V khas sandal jepit (tapi bukan swallow). Padahal seseorang sudah beberapa kali menanyakan dan menyarankan juga untuk pakai sarung tangan.

Aku melihat butir-butir anggur. Kubelah dia dan kumakan. Aku tidak begitu ingat rasanya. Tapi aku baru sadar pas anggur-anggur itu kubawa ke pantai, anggur bisa seenak itu. Sering juga sekarang foto foto nggak jelas, membandingkan anggur dan siluet matahari di pantai. Tapi aku juga jadi tahu kalau kita tidak bisa berkeringat saat berdiri saja di pasir pantai yang luas dengan terpaan angin yang sangat kencang di sore hari. Seolah semua keringat yang hendak keluar, didorong masuk lagi dan membuatku masuk angin sepulangnya.

Padahal awalnya nulis tentang keringat, terus tentang kata-kata, terus anggur, dilanjutkan dengan pantai. Setidakberpola itu ya tulisanku. Meskipun judul dari blog ini adalah menata pikiran, kadang kubiarkan saja ia tidak tertata seperti ini.

 

Senin, 11 Oktober 2021

Apa Adanya Diriku


Apa artinya menjadi diri sendiri itu?

Apakah sesuatu yang sangat membedakan diri kita dengan orang lain? Sesuatu yang sangat menggambarkan diri kita, ciri khas atau sebuah karakter yang spesial?

Apa artinya menjadi diri sendiri itu?

Saat kecil aku tidak memikirkannya sama sekali, aku akan tertawa kalau itu lucu, aku akan bilang tidak suka ketika tidak suka, dan aku akan bilang menyukainya ketika aku menyukainya.

Apa artinya menjadi diri sendiri itu?

Kenapa pertanyaan ini sekarang menjadi sesuatu yang sangat penting bagiku? Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari saat kecil? Apa aku hanya sedang ikut-ikutan menganggapnya penting karena semua orang bilang itu adalah hal penting? Atau apa?

Kalau saja ada suatu hari dimana aku harus berdiri di depan sebuah panggung untuk memperkenalkan diri sendiri dengan tema apa adanya diriku. Aku mungkin akan kebingungan. Mungkin saja aku akan merasa panik, cemas, gagap dan segala masalah komunikasi lain, tapi aku membayangkan bahwa diriku hanya bisa terdiam karena aku tidak tahu diriku sendiri. Aku tidak apa adanya diriku itu seperti apa?

Apa adanya diriku itu orang yang bagaimana?

Suatu waktu aku bersemangat melakukan sesuatu, suatu yang lain aku hanya membaringkan kepala di atas bantal dan bermalas-malasan. Aku pekerja keras atau seorang pemalas? Seperti kedua-duanya, jadi aku tidak tahu diriku yang sebenar-benarnya diriku itu yang mana.

Aku berbicara tentang apa saja, ketawa, kadang guyon dengan celetukan nyinyir, kadang orang tertawa, kadang garing sampai dibilang, ngomong apa sih kamu? Tapi aku juga bisa diam begitu saja, tanpa suara. Tidak mood mengeluarkan kata-kata, orang melihatku katanya sepertinya aku sedang banyak pikiran. Padahal tidak ada jeda lima menit yang terlewat, dari tertawa bisa menjadi tertawannya suara. Jadi aku seorang yang cerewet ataukah pendiam? Seperti kedua-duanya, jadi aku tidak tahu diriku yang sebenar-benarnya diriku itu yang mana.

Orang juga bilang bahwa diriku terlihat seperti tidak punya masalah sama sekali yang dipikirkan, terutama ketika masa-masa kuliah, tapi di waktu yang sama juga, orang bilang aku seperti sedang tertekan? Lalu aku yang mana?

Aku sempat mengira diriku adalah orang yang penyabar, tapi bukannya tidak jarang aku hanya terdiam karena merasa ngambek hanya dengan kata-kata? Aku merasa diriku adalah pribadi yang terbuka akan masukan, tapi ketika sebuah nasehat ditujukan kepada diriku langsung dimana aku dibilang pribadi yang terlalu pasif dan sangat kurang inisiatif (aku sendiri berpikir barangkali ini benar) tapi seketika seperti membuat moodku berbicara langsung hilang seketika. Padahal di depanku ada es matcha yang kusuka, tapi tidak ada lagi rasa di lidah. Manis nya matcha tidak mampu mengobati moodku yang jadi terlalu banyak berpikir, bagaimana kalau aku tua sendirian?

Ketika sebuah kata-kata terasa benar, aku terdiam, aku ingin masuk goa, aku ingin memikirkannya, atau terpaksa memikirkannya saat itu juga. Saat berpikir sesuatu yang sangat mendalam, aku mengunci mulutku. Aku berpikirnya lama. Kadang pikirannya bahkan membuat hariku mendung padahal matahari bersinar terik di atas langit sana.

Aku merasa sepeduli itu, tapi di waktu yang tidak jauh berbeda, aku bisa secuek itu.

Aku merasa hidup haruslah luar biasa, di saat yang sama aku memikirkan apakah itu sebuah dosa kalau hidup biasa-biasa saja?

Bahkan ketika tulisan ini kuutarakan, aku sedang tidak tahu apakah yang kutuliskan ini adalah bentuk dari kejujuran, atau hanya sekedar kebohongan.

Seabsurd itu.

Setidaktahunya aku tentang apa adanya diriku itu seperti apa.

Aku itu siapa?

Sifat apa yang kau suka?

Rabu, 06 Oktober 2021

Memberi dan Mengambil Tanggung Jawab

Ada sebuah grup yang terdiri dari kumpulan alumni asrama dulu yang kini tinggal di Jabodetabek. Dulunya sih sepertinya tujuan grup itu dibuat agar ‘koordinasi’ manakala pada ribut kapan nongkrong, kapan ketemuan, kapan meet up. Pas diingat-ingat, ya memang gitu pas isi grup lebih banyak status bujang dan perawan daripada status istri atau suami, ibu dan bapak dari seorang anak.

Aku ngiranya, saat status penghuninya proporsinya berubah lebih banyak yang menjadi istri atau suami, grup ini akan menjadi sepi. Tapi ternyata aku juga salah. Grup ini malah menjadi lebih rame karena sepertinya bisa dijadikan pelarian untuk menceritakan sesuatu yang tidak bisa disampaikan di grup besar yang berisi 60 an personel. Terlebih lagi, sering pula ada sosok yang apapun topiknya, menjerumusnya ke topik patriarki lagi, lagi, dan lagi sampai entah nggak tahu kapan. Kadang kesel, tapi lebih sering tersentuh apalagi ketika bapak-bapak dan ibu-ibu yang beranak bercerita tentang apa yang dipikiran mereka. Jadi semacam grup yang macam oven. Kok oven? Hatiku jadi hangat pas bacanya.

Banyak sekali topik dan nyesel juga karena sejak lama tidak menulis blog, tulisanku hanya tentang cerita pendek ataupun quote yang kupost di status wa maupun feed ig. Hiks hiks.

“Karir untuk ibu hamil atau ibu ber anak bagaimana ya? Mungkin ada ibu ibu yang ingin sharing.”

“Kuncinya musti ngantongin hal yang mendasarnya dulu kar, “Ridho suami” titik. Karena secara nggak langsung dia pun akan berkorban waktunya terbagi karena peran istrinya terbagi.”

“Hiks hiks” (Ya Allah komenku nggak mutu banget).

“Iya ini dilema juga bagi dia. For me, I just want her to do what makes her happy aja” (ini yang ngechat cowok ya)

“Yes, mas ku dulu ngizininnya juga gitu gara gara ku bilang bosen di rumah, tapi ada satu titik karirnya kadang nggak membuat si istri bahagia dan suami yang bisa bantu nyemangatin lagi. Semisal lagi burn out sama kerjaan, rasanya pingin resign aja titik pingin full bareng bayik, tapi diinget-inget lagi ternyata alasan ingin berkarir di luar ternyata nggak hanya meleaskan alasan bosen di rumah, wkwkw”

“Alasan lainnya adalah?” (hoy aku kalau nanya nggak ngotak ya)

“Kalau aku pribadi, karena aku anak pertama dari sandwich gen, jadi aku merasa punya tanggung jawab lebih walaupun ku anak perempuan.”

“Agar ketika memberi ke keluarga tidak sungkan dengan suami?” (keplok wae sirahku.)

“Yess, walaupun tetap izin dulu sih, tapi mau kasih berapanya jadi lebih enak.”

“Berapa emang menganggarkan ngasihnya?” (untung chat ini nggak pernah terkirim, oh dasar diriku kalau nanya nggak kira-kira.

“Tapi kau merasa menanggung sesuatu nggak? Semisalnya saja biaya kuliah adik” (Kham, menengo).

Di bagian ini, aku sebenarnya sudah merasa jedag jedug jantungku. Kayak menunggu jawaban tapi juga berseru, don’t say, don’t say, don’t say.     

“Iyap, mas irkham, apalagi semenjak almarhumah ibu ndak ada, terutama tabungan pendidikan adikku yang terakhir aku handover”

Duerrrrrr, aku terkaget sih ini.

“Aku masih bisa kalau memberi. Tapi kalau mengambil tanggung jawab seperti ini. Ini sudah jossss banget dan di luar kemampuanku sih.”

“Karena yang bisa ku balas budi ke ayahku adalah meringankan beban pikiran beliau :” walaupun tetap nggak seberapa sama perjuangan beliau yang bisa jadikanku sarjana.”

***

Kalau melihat konteksnya, seperti apa orangnya, suasananya, semua chat di aas terasa mengena. Apalagi di bagian temenku mengambil tanggung jawab untuk adiknya.

Memberi itu, kita ada lebih, kita berikan kelebihan itu pada seseorang dan kita tidak memikirkan lebih lanjut orang tersebut. Sedangkan mengambil tanggung jawab itu, kita benar mencurahkan segalanya untuk orang yang dimaksud. Rela berpeluh, rela bekerja lebih larut, keringat menetes lebih banyak, air mata kadang-kadang menetes di suasana hening demi memastikan seseorang tersebut hidup dengan baik, bahkan meski hidup kita belum sebaik itu.

Sederhananya memberi dan mengambil tanggung jawab itu seperti saat kita melihat kucing.

Saat melihatnya di jalanan dan kita memberikan secuil makanan untuknya. Itu memberi. Besoknya kalau kita tidak melihatnya, atau kita sedang tidak ada makanan, kita tidak terlalu mengkhawatirkan dan memikirkannya.

Tapi jika kucing itu kita pungut, kita kasih makan rutin, kita bersihkan dia, dia kadang eek sembarangan yang membuat kita harus mengepel atau menjemur kasur yang merepotan, kadang dia menggigit, kita belikan makanan yang lebih mahal dari se porsi makanan kita. Kita rawat kalau sakit. Itu semua adalah mengambil tanggung jawab.

Sesuatu yang tidak lagi sederhana. Mengambil tanggung jawab itu berarti semacam ikrar, aku mengikatkan diri padamu, merawatmu, bersedih akanmu, bersusah payah juga karenamu, agar kau menjadi lebih baik.

Kalau disederhanakan lagi di konteks obrolan di atas.

Aku mengambil tanggung jawab atas adiiku adalah bentuk nyata karena aku mencintai adikku.

 

Senin, 27 September 2021

Problematika Bahasa

 

Ternyata jadi orang jawa yang nggak bisa ngomong krama alus itu susah. Kalau ngomong inggris dibilang keminggris. Kalau ngomong indonesia dibilang kemindon? Kalau pake bahasa ngoko dibilang nggak sopan, hiks hiks. Padahal semasa sekolah, ada mata pelajarannya, seminggu sekali dan selama 9 tahun, dan entah kenapa tetap level krama alus ku begitu-begitu saja. Hanya sebatas tahu, tapi nggak mahir menggunakannya.

“Kowe gelem karo wong sing boso karo wongtuo ae raiso?”

Aduh, bayangin balon yang menggelembung besar, terus tiba tiba ujung balonnya dibuka lebar, langsung ciut dan kempes. Persis seperti itu rasanya pas baca sepenggal kalimat tadi.

Ternyata jadi orang jawa yang nggak bisa ngomong krama alus itu susah. Jadi nyesel kenapa dulu tidak belajar serius dan tidak serius pula untuk sering-sering menggunakan. Terlalu terbiasa menggunakan ngoko, jadi ngomong ngoko seperti ringan saja tanpa ada berpikiran “sopan nggak ya?”. Hiks hiks. Aku bahkan nggak ingat sih, kepada siapa aku bicara ngoko, dan kepada siapa aku pakai bahasa indonesia.

Kalau tak pikir-pikir, agak susah sih ya. Karena krama alus itu hanya sering kudengar ketika di acara formal. Kebayang nggak, dalam hidup lebih banyak formalnya atau lebih banyak tidak formalnya? Ditambah lagi karena krama alus adalah bentuk bahasa penghormatan, kita yang muda harus berkrama alus dengan yang tua, sedangkan yang tua bisa ngoko dengan kita yang muda. Dilihat dari probabilitasnya (hilih nyebut istilah apalagi ini) kita yang muda jadi jarang mendengarnya kan ya? Jarang mendengar untuk dijadikan contoh dan pembiasaan, ditambah kalau sesama teman sepantaran, ngoko an bebas.

Orang jawa itu hobinya mbatin. Sepertinya memang gitu sih. Dan jadi dimunculkan pikiran bahwa barangkali setelah mendengar diriku yang tidak bisa berbahasa krama alus dan tanpa sadar ngoko-an, batin mereka bisa berucap.

“Ini anak tidak sopan ya kepadaku”

Ada nggak sih, sebuah teknologi gitu, yang bisa mengantarkan apa yang di pikiran dan di hati langsung menuju ke pikiran dan hati orang yang dituju dan bisa saling paham. Telepati gitu. Kita bisa mengerti maksud seseorang tanpa keluarnya suara dari kerongkongan? Semacam kita tidak perlu kebingungan harusnya ngomong ini lebih baik daripada itu. Harusnya pakai kata ini lebih halus daripada kata itu atau semacamya.

Tidak selesai dengan kata-kata, ditambah lagi ada bahasa gesture atau mimik wajah dan bahasa kalbu. Toloooooooooong.

Bakul Cilok


Kukira bakul cilok itu karena aku bisa memanen cilok dari pipi. Tinggal cubit pipi dengan telunjuk dan jempol membentuk lingkaran, terus tinggal ditarik. Aha, dapatlah cilok. Jadilah tulisan ini judulya bakul cilok, meskipun awalnya ingin kuberi judul Hari Ketiga.

Jumat malam kemarin, mantan teman-teman satu departemen di pabrik yang dulu pada berangkat untuk liburan ke Bandung.

“Mantapppp. Have fun guys” (huruf p nya perlu 4, aku bayangin kalau kuucapkan itu p nya harus berdengung sambil mingkem lama)

“Parani nggak mas? Iseh 1 slot kursine”. Jadi perjalanan mereka menyewa dua mobil, dan temenku ngajak karena mungkin biar iurannya lebih ringan, padahal yo nambah satu orang juga nggak terlalu ngefek juga kan pengurangannya.

Nah jadilah aku kepikiran, itu chat nya Jumat siang selepas jumatan. That’s why aku ngechat, mbok menowo barangkali bisa jumpa di Jumat Malam, terus buru buru pulang, barangkali jadi bisa ikut ke Bandung karena mereka baru berangkat jam 11 malam dari Cilegon. Oportunis banget ya, wkwkwk.

Tapi untunglah, tetap di hari Sabtu. Untung banget tidak jadi, karena aku sendiri nggak kebayang, saat duduk sambil gemetara, chat dari bos masuk, minta bahan presentasi diperingkas dan dibuatkan naskah untuk bahan materi di hari Senin. Pas curi-curi baca WA aja sudah harap harap cemas, ini teks chat nya lebih membuat cemas kuadrat. Aku masih nggak bayangin sih, kondisi nggak bawa laptop, pinjam laptop linux punya teman, tapi kok merasa buntu pikirannya. Kejadian ini juga semacam menemukan kesadaran yang baru, manja banget aku kalau kerja kudu menatap layar laptop sendiri yang berdebu dan penuh gelembung karena nggak pandai memasang screen protector, nggak bisa pakai laptop orang. Dih.

Aku masih nggak kebayang, kalau hari itu ke Bandung, kayake bisa jadi cuma panik tak bersolusi pas harusnya senang senang karena sedang liburan. Siapa pula orang yang akan bawa laptop ketika mereka menikmati liburan karena saking banyaknya penat di keseharian?

Kembali ke hari Jumat, check list hari itu, mencuci, potong rambut, servis motor dan beli lapis talas bogor. Mencuci karena outfitku cuman jeans, dan saat itu sedang kotor, hiks hiks. Potong rambut? Karena rambutku kalau panjang jadi bergelombang dan mengembang persis kayak bakpau (apa singa ya?). Intinya kalau panjang, rambutku bisa ditekan terus kerasa ada ruang hampa di batas antara rambut dan kulit kepala. Servis motor? Serius deh, kalau nggak ada hari Sabtu kemarin, entah motor bakal terservis kapan. Semenjak mampir ke dealer dekat kosan jam 9 pagi dan tertolak gegara sistem online atau antrian apalah itu karena corona, jadi mager servis motor, hiks hiks. Jadi emang berfaedah sekali hari Sabtu buat motor hitamku (Hey tor, kowe perlu matur nuwun sama hari Sabtu). Yang terakhir adalah Lapis talas bogor, pernah sempat kepikiran kalau beli langsung ke Bogor, ceritanya mau naik KRL nyampe Bogor, beli, terus langsung pulang. Wkwkwkw segabut itu pikirannya. Ya karena katanya kalau di Bogor bisa murah harganya. Padahal ya niatnya cuman beli dua kotak, dan saat kalkulasi harus jalan kaki,  busway, KRL – KRL, busway, jalan kaki, lah malah jadi mahalan di perjalanan. Kepikirannya beli pakai gofood, biar dibeliin dan dianterin sampai depan kos. Tapi njuk kepikiran lagi (kakehan mikir yo) kalau disimpan semalam di kamar, dirubung semut nggak yo. Lapis jadi satu uncompleted mission.

Jalan jam delapan pagi. Nggak bisa ngebut, satu karena nggak tahu jalan, dua karena mencari-cari barangkali ada toko lapis yang kemarin sempat nggak dibeli. Pokoknya kalau nggak lapis itu, ya amanda. Cuma dua itu kepikirannya, eh ternyata beneran ketemu dua-duanya di satu kawasan yang bersebelahan. Ada keuntungannya ternyata kalau motoran itu. Ngikutin gmaps, dan nggak enaknya kalau sendirian terus modal cuman gmaps jadi nggak tahu kalau ada fly over, ambil bawah apa ambil atas. Gmapnya nggak ngomong apa-apa. Diem aja kayak baperan. Fly over pertama, oke berhenti dulu di pinggiran. Ambil hp dari tas slempang, lihat peta nya, oh ternyata lewat atas. Fly over kedua, karena masih diem aja gmap nggak ada suara, ya pilih atas dong (bener nggak sih, karena kejadian pertama, jadi pelajaran buat kejadian kedua), dan ketika motor sudah berada pada posisi di angkasa, si gmap bilang belok kiri. Gmap nya nyuruh motorku terjun ke kiri dari fly over atas. Sudah gitu, entah sehabis ngelawatin nama jalan Jatireja apa ya, jalan yang kulewati semacam kebon orang. Haish

Sampai di dekat lokasi, masih jam 9.50. Karena sudah diingetin ontime, jangan kecepetan (aku masih gagal paham, biasanya orang ngingetin ontime itu berbarengan dengan jangan telat), akhirnya minta tolong gmaps yang sudah sempat membuatku kecewa tadi, ketik masjid terdekat. Ketemu Muhajirin. Markirin motor kesitu, beli es teh pake plastik dari warung dekat masjid, sruput. Buka hp lagi, kalau bisa jangan jam 10 pas. Ya mampir ke masjidnya dan tetiba kok rasanya pingin pulang ya, hiks-hiks. Akhirnya duduk di teras masjid dan berdoa sembari menunggu.

Aku juga baru sadar, kalau disuruh bicara formal, aku pasti menawarkan jowonan opo bahasa indonesia? Terus milih jowo, padahal bahasaku ngoko, terus jadi nggak lancar ngomongnya, terus usul pakai bahasa indonesia, yo plintat plintut neh. Aku sampai ingin usul ada bahasa baru, yaitu bahasa kalbu. Jadi apa yang ada di hatiku dan pikiranku bisa terucap tanpa harus ada suara yang keluar dari mulut. Ya semacam telepati, dan masih sempat sempatnya aku mengkhayal kalau saja ada telepati, pas sedang berbicara.

Diriku yang kukenal adalah orang kikuk. Aku sampai bertanya ke orang, tentang topik obrolan dan juga tanya kepada orangnya langsung. Bayangin yo, misal aku ada rencana ketemu sama seseorang, terus beberapa hari sebelum ketemu, orangnya kuchat.

“Nanti kalau ketemu, mau ngobrolin apa?”

Makanya iri banget sama orang yang pandai bicara, kalau orang dengernya bisa ikut ketawa-tawa, balok es nya jadi air (mencairkan suasana maksudnya).

Kalau aku pulkam, ibuku selalu ke pasar, beli bebek utuh, dipotong-potong sendiri, dimasak, terus aku disuruh makan yang banyak. Tidak cuman perihal bebek sih, pokoknya pas di rumah, aku dadi tukang resik resik. Resik-resik maeman maksude. Pulkam kemarin juga pas balik jakarta jadi umbelen. Hidung meler. Kayake karena anak kos kalau lihat kulkas jadi kegirangan gitu ya, jadi hawanya pingin bikin es terooooos.

Terus ternyata aku merasa amazing denger pembicaraan antar orang tua tentang pilihan pendidikan anaknya. Pilih pondok pesantren mana, cari opsi-opsi yang tersedia, survei sana-sini. Pemandangan yang sesuatu banget. Soale mungkin dulu aku nggak ngalamin hal yang kayak gitu. SD sampai kuliah, milih sendiri. Sekarang sempet kepikiran sih, kayake pingin gitu masuk ke sekolah pondok pesantren. Sepertinya hidupku akan lebih baik. Tapi hush hush, nggak boleh gitu kham, kau yang hari ini adalah kumpulan dari dirimu yang masa lalu, dan pastilah jalur hingga sampai ke keadaan seperti ini adalah pilihan terbaik dari Allah.

Akhirnya ke kosan temen, tujuh kilo perjalanan tapi kerasa dekat sih.

Di kos temen, tadinya mau langsung ke karawang, eh tapi ternyata temenku lagi pilek dan temen yang hendak kita kunjungi masih ada bayi di dalam keluarganya. Akhirnya ya kita urungkan. Rebahan, nungguin temen potong rambut sambil menggigit ayam di pinggir jalan (dekat tempat cukur, ada penjual gerobak ayam tepung, daripada nganggur bengong nungguin orang potong rambut, ya belilah dan langsung disantap tanpa pakai piring. Sedih ya, pengisi waktu luangku adalah makan. Hiks hiks. Beli pecel madiun, mendoan dan sekoteng (dimana mana kalau ditawari pecel yang sebenar-benarnya pecel, pasti nggak bisa nolak). Terus pura-puranya pinjam laptop, eh ternyata tetap mampet pikiran nggak ada ide buat ngerjain kerjaan.

Besoknya sarapan jam 6, di warteg prasmanan di jalan Kasuari 9 dan langsung buru-buru pulang. Hiks hiks.

Pas sampainya di kamar kos, padahal pingin tidur, tapi kalau bos nelpon itu, kayak neror, makanya sering nggak kuangkat (plis jangan ditiru ini). Daripada diteror kan ya, jadi pilih langsung ngerjain. Lancar sih ngerjainnya ternyata kalau pakai laptop sendiri. Tapi ya tetap memakan waktu juga.

Selesai tuh, kukira bisa langsung tidur. Tapi ternyata kalau tidur direncanakan, jadi nggak bisa tidur lagi. Hadeh

Dan sampai paragraf ini, ternyata tulisannya sudah 1276 kata. Sudah lebih panjang dari cerpen yang selama ini kubuat -,-

Closingnya? Aku masih bingung, kayake setiap tulisanku biar yang baca metik suatu hikmah, atau minimal kata mutiara, atau sesuatu penutup yang worth lah kan lumayan juga kalau dibaca sampai habis tulisan ini bisa 10 menitan.

Denger cerita orang tua yang memikirkan pendidikan anaknya itu amazing banget sih. Melihat mereka pusing, aku nggak bisa nahan senyum (ini amazing apa julid sih). Tapi kata orang lain itu adalah hal biasa. So kata mutiara sebagai penutup tulisan ini adalah.

“Tunjukanlah hal biasamu padaku sebanyak-banyaknya, bisa jadi hal biasa itu malah hal yang luar biasa yang aku terkagum karenanya”

 

 

 

Selasa, 21 September 2021

Pilihan


Judulnya memang pilihan. Seakan topik berat, atau mungkin sudah kau kaitkan dengan topik jodoh, karir dan segala macamnya. Halah. Tulisan ini ditulis jam 3 pagi, dan di jam-jam ini, topik berat macam jodoh tentu bukan pilihan untuk dipikirkan.

Ceritanya malam ini tidur seperti biasa, tapi berulang kali terbangun, gelisah, ke toilet dan ketika buka jam di xiaomi (seolah penting banget nyebut merk, ketimbang dari dulu hp hp mulu kan bilangnya), masih jam 2 pagi. Ingin rasanya tidur lagi, tapi kayaknya bakal kebangun lagi dan lagi. Jadinya ya coba melek saja. Nyari aktivitas di dalam kamar.

Terus baru ingat, ada paket yang datang tadi pagi, sebuah meja portable yang kubeli beberapa hari lalu. Jadi sendirian di dalam kamar jam 2 pagi, ada gitu ya orang kepikiran unboxing saat suasananya sesepi ini.

Kalau kuingat-ingat, belinya juga karena hal yang sepele sih. Jadi senior kantor kukirimi sebuah gambar jepretan layar biar bukti sedang meeting dari kos (hehehe, mungkin butuh perkenalan lagi, aku orangnya suka jepret sesuatu yang ada di depan mata terus kukirimkan ke orang yang ngechat. Contohnya ketika ditanya sedang apa dan ingin kujawab sedang makan, kujepret gerobang tukang nasi gorengnya, atau kujepret tembok warungnya, atau mangkuk baksonya, iki opo tanda kurung e kok dowo ngene). Nah foto ini lah yang kukirimkan.

Senior balas owalah dan disusul dengan chat link buat beli meja laptop portable tanpa aku minta.

“Beli ini kah satu mas” (aku nangkapnya mbok beli meja yang proper to, kok kardus kertas gitu, wkwkwkw)

   Dalam hatiku, sepertinya saran yang bagus. Akhir kata, check out, paket datang, dan baru kubuka di pagi ini. Nah ketika sedang membentuk formasi struktur (halah), kardus kertas yang biasa kupakai buat dudukan laptop langsung kusingkirkan dan niat kupensiunkan. Diotak atiklah engsel dari meja laptop yang dibeli. Laptop juga kutaruh di atas papan alumuniumnya. Tapi pas niatnya mau nulis sesuatu yang masih belum tahu topiknya mau tentang apa, kayak ada kerasa yang kurang. Nggak kerasa mantep pokoknya. Kalau kusenggol dan sedikit kudorong-dorong menyamping, dudukannya terasa gleyot gleyot (bahasa opo iki gleyot gleyot). Njuk kulipat lagilah meja hitam itu, dan kuambil lagi kardus kertas yang tadi niatnya gantung sepatu (kalau pemain bola, kalau kardus apa ya? Gantung karton?).

Itu saja ceritanya. Mana pilihannya?

Ya pilihannya ada pada aku memilih membeli karena berpikir yang akan kubeli akan lebih baik dari yang kugunakan sekarang. Ya secara 135 ribu dibandingkan dengan kardus yang kubeli di tempat fotokopian (tapi seringnya dikasih gratis, ehe). Kupikir kardus akan kupensiunkan, eh ternyata justru barang yang baru dibeli malah pensiun duluan.

Nyesel belinya? Enggak. Karena kalau tidak beli meja itu, nggak bakal nyadar kalau yang sudah kita punya, ternyata sudah cocok dan terbaik menurut kita (tidak harus terbaik juga untuk orang lain) meskipun barang tersebut tampak akward or ugly to someone eyes. Pilihan paling baik ternyata bukan tentang harga, tentang material, atau tentang apapun. Tapi sederhana hanya tentang kenyamanan.

Box kardus kertas A4 atau F4 selama ini membuatku nyaman. Tingginya pas, kokoh nggak goyah. Buka tutup box nya, dan bisa menyimpan banyak barang di dalamnya (mostly kuisi dengan buku sih).

Ini tulisan kayak gini aja kok dibahas sih? Nggak tahu, pokoknya bingung mau nulis apa di jam segini dan yang sedang kepikiran hanya tentang ini. Udah gitu, jujur saja, nulis ini terasa terbata-bata dan tidak selancar saat nulis tulisan-tulisan sebelumnya.

Intinya sih ya, kalau mau ditarik inti dan diakhiri semacam quote atau kata mutiara, atau apapunlah biar tulisan ini terkesan ada faedahnya.

Bisa jadi yang menjadi pilihan terbaik, adalah sesuatu yang sudah kita punya sekarang.

Bentar lagi subuh, aku pamit ya. Salam.

 

 

 

 

  

Senin, 20 September 2021

Terlalu Sedih untuk Bercerita


Kunyalakan lagi lampu kamar, kubuka lagi laptop yang sempat kututup lipatannya di jam sebelas malam tadi. Pagi ini jam setengah satu, jam ketika aku harusnya sudah terlelap, atau ketika setengah sadar menggoyangkan raket ke udara ngasal tapi ada bunyi cetar-cetar. Pagi ini jam setengah satu, menulis sekarang ini, cuma salah satu cara yang kupikirkan agar kantuk segera hadir kembali.

Daripada bengong doang di gelapnya kamar kan?

Seorang teman membuat status di whatsapp nya, hobinya dia memang sepertinya begadang. Ada kalimat dari statusnya yang membuatku mereply nya padahal sudah tengah malam.

“Tapi ternyata ada doa yang sempat terlupakan, dan mungkin akan dikabulkan.. Yuk bisaa yuk :)”

Pas kubaca kalimat statusnya, aku mengiranya ia sedang berbahagia.

“Apa itu doa yang terlupakan?” ternyata aku sekepo itu. Ingin tahu apa yang membuat temanku (kayak e ini bisa jadi klaim sepihakku doang) bahagia.

“Aku terlalu sedih untuk bercerita.” 

Jawabannya sungguh berkebalikan. Ternyata dia sedang sedih? Dan aku justru mengira dia sedang bahagia dari baca tulisannya? Dan entah pikiranku yang sepertinya sedang tidak nyambung atau gimana. Aku cuma bisa reply, its okay, semoga aku bisa paham (lagi-lagi reply ku justru tentang diriku, egois sekali ya).

“Aku terlalu sedih untuk bercerita.”

Dalam hatiku aku cuma bisa berdoa, semoga lekas diangkat kesedihannya.

Tapi dia benar, bercerita itu membutuhkan keceriaan. Menceritakan apa yang kita rasakan itu juga butuh tenaga. Sayangnya ketika kita sedih, tenaga dan keceritaan kita hilang. Lantas kenapa kita harus bercerita? Padahal untuk tertawa saja yang cuma ha ha ha, kita sedang tidak bisa? Apalagi hanya untuk mengetik layar di lampu kamar yang sudah padam, memikirkan susunan kalimat agar dipahami dan tidak salah paham.

Aku sendiri masih percaya dengan kalimatku sendiri. Tidak begitu ingat dapat inspirasinya darimana, atau jangan jangan aku mencomotnya dari ingatan orang.

Meskipun kita tahu ceritanya, tidak lantas kita bisa tahu rasanya

Toh beberapa hari kemarin, gloomy day benar-benar ada. Sampai ia sirna ketika seseorang mengatakan bahwa diriku seperti keluar dari kebiasaan.

Suara-suara malam telah hilang, kini hanya tinggal keheningan. Jam digital di layar bilang sekarang 12.55 AM.

Aku juga belum mengantuk, tapi tak tahu apa lagi yang ingin diceritakan.

Untuk temanku yang sedih sampai tidak bisa bercerita, semoga terbukanya matamu besok pagi, maka sudah cerah juga hatimu dari kesedihanmu.

Tapi tak ada yang salah dari kesedihan, itu bagian dari kehidupan.

Dan tolong maafkan, aku yang mengaku teman, tapi tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Hiks hiks.

 

 

 

              

 

 

 

 

 

              

Rabu, 15 September 2021

Bukankah Aku Telah Berjasa

 


Sesekali bercerita tentang tontonan kartun lah ya. Tapi kayaknya aku bohong kalau bilang hanya akan cuma sekali. Mungkin karena meskipun yang ditonton adalah produk dari gambar, cerita fiksi dan yah kesannya kartun adalah tontonan anak-anak, sebenarnya banyak pula adegan atau cerita yang menyentuh sampai membekas di pikiran.

Tokoh tersebut bernama Zerofuku. Dia adalah salah satu sosok petarung dalam cerita record of ragnarok. Sosok yang mewakili pihak dewa dalam pertempuran antara dewa dan manusia di dalam arena. Tapi wujud dari Zerofuku yang merupakan gabungan dari 7 dewa keberuntungan ini sungguh begitu kontras karena ia tampak begitu menyeramkan dan dipenuhi dengan aura kebencian

“Dia lebih cocok disebut iblis ketimbang dewa”

“Dulunya, Zerofuku adalah sosok dewa yang paling baik hatinya”

Sang tokoh narator dalam cerita pun mengungkapkan masa lalu Zerofuku.

Dahulu kala, Zerofuku itu lebih baik hati dari dewa manapun. Namun pemandangan yang menyambutnya saat turun ke dunia adalah kesedihan dan kesedihan. Kematian, lanjut usia, penyakit, berpisah dengan orang yang disayang, bertemu dengan orang yang dibenci, gagal mencapai tujuan, depresi dan segala jenis kesedihan terpampang di depan mata saat mengunjungi sebuah desa.

“Apa yang bisa kulakukan sebagai dewa untuk bisa membuat orang-orang ini bahagia? Jika manusia menjalani kehidupan yang sedih maka mereka pasti akan senang jikalau aku menghapus sumber kesedihan mereka dari asalnya.”

Zerofuku akhirnya bisa menyembuhkan seorang anak kecil yang sakit-sakitan hingga seperti tak pernah sakit sebelumnya. Yang Zerofuku lakukan sebenarnya bukan penyembuhan, melainkan ia pindahkan sakit si anak ke dalam dirinya. Ia menyerap sumber kesedihan si anak.

“Kuharap kau senang.” ucapnya dengan senyuman.

Zerofuku menemukan bahwa dirinya bisa membantu manusia dengan menyerap kemalangan mereka agar hidup mereka bahagia. Jadi setelah menemukan arti dari dirinya, dia mengembara jauh dan mengambil seluruh kemalangan manusia di sepanjang perjalanan. Tubuhnya menjadi buruk rupa, dan tak ada keceriaan lagi dirinya karena terlalu banyak kemalangan yang ia serap.

“Kuharap kalian semua senang. Kuharap semua orang senang”

Walaupun dia harus menyerap banyak sekali kesedihan dan kemalangan. Walaupun itu membuatnya merasakan sakit dan menderita. Zerofuku menemukan kebahagiaan dari memberikan kebahagiaan itu sendiri kepada manusia.

Ia kemudian berpikir untuk menengok desa dimana ia menyembuhkan seorang anak kecil yang sakit dan yang penduduknya ia ambil seluruh kemalangannya dulu.

Pemandangan yang ia lihat, sangat jauh berbeda dari yang dia bayangkan. Semakin banyak kemalangan yang dia ambil, para penduduk justru semakin tersesat dalam kesenangan dan jatuh dalam kebejatan. Hingga ia menyenggol seorang pemuda, dan pemuda itu justru menghinanya dengan pandangan jijik dan umpatan dasar bocah kotor. Ia bahkan meludahinya. Zerofuku ingat, sosok pemuda itu adalah anak kecil yang ia sembuhkan dulu dari sakitnya.

Sembari tersungkur ke tanah, ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Huh? Ini semua pasti salah. Ini tidak mungkin nyata kan? Padahal aku sudah melalui begitu banyak demi mengambil kemalangan mereka. Tapi kenapa aku tidak bisa membuat mereka bahagia? Tapi kenapa malah seperti ini yang terjadi?”

Kemudian ia melihat sesosok manusia yang diikuti oleh rombongan manusia lain. Mereka-mereka yang mengikutinya terlihat kurus kering. Tapi Zerofuku melihat kebahagiaan di wajah mereka. Kenapa?

“Kenapa para manusia yang mengikutimu terlihat sangat senang. Kenapa kenapa? Padahal aku sudah berusaha mati-matian menyerap kemalangan mereka! Kenapa mereka tak tampak bahagia sedikitpun? Kenapa kenapa kenapa?”

“Menyerap kemalangan mereka? Itu salah. Mereka jadi semakin tidak bahagia. Kebahagiaan itu bukanlah hal yang bisa diberikan pada orang lain. Itu adalah hal yang harus kau dapatkan sendiri.”

Zerofuku berlari, menangis dan tidak terima.

“Apa-apaan yang manusia tadi ucapkan? Aku sudah berusaha mati-matian!”

Zerofuku terus mengumpat. Cinta suci dengan cepat menjadi kebencian. Ia justru ingin menghancurkan umat manusia.

Ini kenapa aku malah jadi menceritakan panjang apa yang ada di komik ya? Adegan-adegan selanjutnya adalah pertarungan dan pertarungan. Namun pada akhirnya, yang membuat ini menarik adalah apa yang disampaikan Zerofuku saat di arena.

Aku menyelamatkan mereka, tapi tak ada yang berterima kasih padaku.

Wait-wait, aku mau disclaimer dulu. Mungkin saja kau berpikir, halah begitu doang. Apa menariknya sampai kutuliskan sepanjang ini? Iya kau benar, bisa saja sesuatu yang menarik buatku, tidak menarik buatmu. Dan bisa saja sesuatu yang menarik buatmu, tidak menarik buatku. Aku sedang belajar satu hal itu sih. Bantu aku latihan ya. Kalau aku dan kamu itu berbeda, tapi tidak untuk dibeda-bedakan.

Cerita sederhana tentang Zerofuku itu terasa something to me. Kenapa?

“Aku sudah senyum dan bersikap ramah di depannya, tapi kenapa dia secuek itu?”

“Aku sudah menyapanya, tapi kenapa dia diam saja?”

“Aku telah membantumu, kenapa sikapmu seperti itu?”

“Aku telah memberimu segelas susu, kenapa kau tidak tampak senang?”

“Aku sudah berbuat baik padamu, kenapa kau tidak melakukan hal yang sama untukku?

 “Aku telah memprioritaskanmu, tapi kenapa aku bukan prioritasmu?”

“Aku merawatmu, tapi kenapa kau tidak menghormati dan menyayangiku?”

“Padahal aku berjuang mati-matian untuk mereka, tapi tak ada yang berterima kasih padaku.”

“Aku memberimu segelas susu, tapi kau guyurkan seember air comberan ke mukaku?”

Jikalau bisa ditarik ke dalam sebuah rumus. Maka akan menjadi seperti ini.

Aku telah . . . . . . . . untukmu, tapi kenapa kamu. . . . .

Saat itu terjadi, makanan yang kita kunyah, tak lagi selezat itu. Minuman manis, bisa jadi hambar, atau bahkan pahit. Usaha yang kita lakukan, terasa melelahkan dan berubah menjadi beban. Keringat yang berkucur menjadi menyebalkan.

“Kenapa aku tetap harus begini, padahal dia begitu”

Cinta suci dengan cepat berubah menjadi kebencian. Kebaikan tidak lagi terlihat. Semuanya hanya gelap. Gelap ketika kita mengharapkan satu hal dari manusia.

Gelap ketika kita berharap manusia menunjukan Rasa Terima Kasih (yang seringnya mereka tidak memberikannya) dan akhirnya berubah menjadi kekecewaan.