Senin, 27 Juni 2016

Takjil yang Bukan Paling Favorit



                Aku ingin bercerita kepadamu tentang takjil yang bukan paling favorit. Karena jika kau tanyakan padaku takjil apa yang paling kusuka, aku akan sigap dan lancar menjawab takjil yang dibuat ibuku dan dimakan bersama keluargaku. Aku yakin diriku bukanlah satu-satunya orang yang akan memberikan jawaban seperti ini. Mungkin kau juga. Karena entah kenapa kalau soal keluarganya segalanya lebih berasa meskipun dengan menu takjil paling sederhana.

            Aku tak akan bercerita takjil apa yang sering ibuku buat, sungguh aku takut nanti air liurmu keluar atau kau buru-buru hendak mampir ke rumahku di waktu berbuka. Bukannya kau tidak boleh mampir, hanya saja jarak jogja ke comal kotaku sangatlah jauh. Jadi kali ini aku hanya ingin bercerita tentang takjil yang bukan paling favorit di Jogja. Tempat biasaku bertemu denganmu.

            Kau pasti sudah hafal betul bahwa menjadi anak kos-kosan di kampus sekitaran Jogja mempunyai berkah tersendiri di bulan puasa ini. Masjid-masjid di sekitar tempatku menuntut ilmu ini banyak yang memberikan takjil untuk berbuka puasa secara cuma-cuma, dan kadang tidak tanggung-tanggung langsung beratus bungkus menu berbuka sudah dipersiapkan. Nah ya aku dan temanku sebagai mahasiswa tidak menolak dengan kedermawaan orang-orang sini. Dan karena itu kudoakan kebaikan kepada mereka. Semoga kebaikan yang mereka berikan akan kembali dalam keberkahan yang berlipat-lipat.

            Pernah di suatu sore aku diajak oleh salah satu kawanku. Menjadi obrolan wajib sebelum memilih masjid mana yang hendak kita sambangi sore itu.

            “Eh buka dimana, Bro?”
            “Di masjid yang di sana aja yuk, biar deket kontrakanku yang baru?”
            “Enggak di tempat biasa aja?”
            “Sekali-kali  lah”

            Mendengar kalimat sekali-kalilah membuat hatiku condong mengikutinya. Ya hitung-hitung safari masjid kalau kata temenku yang satu itu.

            “Menu apa ya yang kita dapat hari ini?”

            Agak kaget ketika kaki melangkah masuk ke dalam masjid. Di masjid yang biasa kami  datangi, kotak-kotak menu takjil sudah terbariskan rapi dan kita hanya perlu duduk sembari mendengarkan kajian sore sebelum buka. Sedangkan masjid yang kudatangi sore itu lain, tak ada kardus makanan.

            “Ah mungkin kalau sudah adzan nanti dibagikan atau ada tempat khusus,” batinku.

            Adzan telah berkumandang dan ada mas-mas yang mempersilakan kita untuk beranjak ke sebelah masjid. Sudah ada teh dan kardus kecil yang sama dengan dibawa oleh anak-anak TPA selesai mengaji.

            “Lho, kok kecil?” kalimat itu tak pernah terucap karena ia hanya bersemayam di hatiku yang heran.

            “Tahu gitu aku ke masjid biasa.” Lagi-lagi kalimat ini hanya ada di pikiranku.
            Semua orang yang berada di masjid kemudian sholat maghrib berjamaah.

            ***

            Beberapa orang menyodorkan nasi kepada jamaah yang keluar dari masjid seusai sholat. Aku menerimanya, kotak nasi yang kupikir tidak akan kudapatkan. Kami berdua beranjak pulang. Diperjalanan kami berbincang banyak hal, termasuk hal yang mengganjal di pikiranku.

            “Aku kira nggak bakalan dapat makan tadi, Bro?”
            “Kenapa emang?”
            “Ya tahu gitu kan mending ke masjid yang biasa aja.”
            “Lho emang ada kewajiban mereka po memberi kita nasi?”
            “Tidak,” dan lidahku tiba-tiba tergigit dengan pertanyaan yang dilontarkan kawan sebelahku.
            ***

            Sore itu, dari sekotak takjil yang bukan paling favorit aku mengerti satu hal. Rasa yang mengganggu di pikiranku itu ada karena sebelum berangkat aku sudah berpikir akan mendapat sesuatu. Sekotak nasi. Sore itu aku mulai berekspektasi. Dan layaknya semua ekspektasi, jika tidak memenuhi, maka hanya akan ada rasa kecewa hati. Toh memang tak ada kewajiban mereka untuk memberikan sesuatu kepadaku.

            Hari itu, kalau saja aku tidak berharap apa-apa, aku pasti akan lebih bersyukur menerima apapun yang diberikan. Secara, harusnya malah aku nggak dapat apa-apa.

            Ah iya, sore itu rasa takjil yang bukan paling favorit itu jadi terasa berbeda.

            Terima kasih kepada beliau-beliau yang telah berbaik hati berbagi di tiap waktu berbuka kami.


Sabtu, 25 Juni 2016

Berarti

Ajari aku cara menjadi berarti bagi orang lain, karena sampai sekarang aku belum tahu bagaimana caranya.
            Ajari aku cara menjadi berarti bagi orang lain, sebagaimana kalian telah memberikan arti dalam kehidupanku.
            Dan ajari aku cara menjadi berarti bagi orang.
            Tolong ajari aku.

            Karena aku tidak mau menjadi tua seorang diri.

Kamis, 16 Juni 2016

Sabtu, 11 Juni 2016

#3 – Amalan yang Bisa Kau Banggakan - 9 Juni 2016



            Frasa ini baru pertama kali ku dengar di malam tarawih kemarin. Ketika memutuskan untuk berbuka di kosan baru (ceileh kos baru). Daripada bolak-balik asrama, mending isya dan tarawih di masjid pogung dalangan yang tinggal jalan kaki.

            “Ketika kau bertemu di akhirat kelak nanti, ketika lembaran-lembaran (shuhuf)mu diberikan ke tanganmu, apakah kau bisa menyebutkan amalan apa yang bisa kau banggakan?”

            Sejenak aku terhenyak, amalan apa yang bisa kubanggakan kelak?
            Aku berpikir keras.
            Semakin kupikirkan semakin aku tidak menemukan jawabannya.

            Semakin kucari dan kuingat semakin aku khawatir. Tidak ada satupun yang bisa kubanggakan dari amalan-amalanku.

            Semakin resah, pusing dan akhirnya hanya bisa tertunduk lemas.
            Amalan apa yang bisa kubanggakan di hadapannya kelak?


#2 – Kukira Sahur itu Berpengaruh Banyak - 8 Juni 2016

#2 – Kukira Sahur itu Berpengaruh Banyak
8 Juni 2016
            Kukira sahur itu berpengaruh banyak untuk ‘ketahanan’ puasa di siang harinya. Secara logika memang begitu bukan? Karena ketika pagi hari sebelum shubuh perut sudah terisi dengan makanan dan minuman terlebih dahulu. Makanya aku merasa agak menyesal ketika di malam hari sudah membeli nasi orak-arik dan paginya bangun di kala shubuh berkumandang.

            Satu, menyesal karena aku tidak sahur dan mengira siangnya pasti lemes. Dua, karena sudah pasti nasi orak-arik yang telah kupersiapkan tidak termakan. Entah olehku maupun teman asramaku. Terbuang begitu saja.

            Dan ternyata benar, siangku badanku lemas. Bahkan hanya bisa terbaring saja di kasur kamar. Bangun nggak enak, pundak terasa berat. Sekali duduk, badan serasa ada yang nekan dari atas. Makanya aku berbaring lagi, tertidur lagi (duh alasan).

           Tapi setelah dipikir-pikir kembali, semua itu karena flu dan bersin (di tempatku nyebutnya wahin) berulang kali yang membuatku seperti itu. Bukan gegara tidak sahur.

            Toh kalau aku masih bersikeras itu karena nggak sahur, pas malam pertama aku seger-seger aja. Dan pas semalem yang sahur sesuai keinginan dan harapan, malah tidak jadi lebih seger seperti hari pertama.

            Lalu karena apa dong?
            Niatnya kali ya….

            Duh.

Selasa, 07 Juni 2016

Menu Sahur Pertama

“Bangun, Bangun, mau sahur nggak?” ada penduduk asrama yang selalu rajin membangunkan orang. Namanya rahasia.
           
Meskipun mata belum sempurna terbuka, aku beranjak ke dapur. Tak ada apa-apa di sana, karena memang aku kelupaan menyiapkan apa-apa di atas meja semalam. Aku langsung tertidur ketika selesai mengantarkan pak Rofik dan Rusydan.

            Apa menu sahur pertama ramadhan kali ini?

            Beberapa butir selai olay (sisa perjalanan pulkam motoran) dan dua gelas air putih.


Lebih Rindu Malam Ramadhan

Beneran nggak mau berlama lagi di Jogja?”
            “Besok puasa si, Kham. Lain waktu aja ya, nanti temenin lagi, hehe.”
            “Siap, Jenderal.”
            “Kham, Kita sudah pesan travel tadi. Yang jam lima sore sudah penuh semua, ini ada jam 7an malam, pun travel limpahan.”

            “Ambil aja, Pak. Kayaknya karena memang hari minggu juga si ya, jadi banyak yang pulang naik travel ke pekalongan.”
            “Bisa jadi si,”
            “Eh, Pak. Kalau besok jadi hari pertama puasa, berarti malam ini traweh kan?”

            Adegan ditutup dengan kita sama-sama menunggu travel yang tak kunjung datang. Baik Pak Rofik, Rusydan dan diriku (ya kali aku tinggal mereka traweh di masjid sedangkan mereka sendirian di asrama) memutuskan untuk traweh selepas pulang.

            “Pak, aku tak ke traweh di kamar sebelah ya. Nanti kabarin saja.”
            “Oke, Kham.”

            Traweh dua puluh tiga rokaat pun berjalan

            “Sopirnya sudah datang, kami pamit ya.”
            ***

            Entah kali ini aku hendak menyampaikan apa. Yang jelas, jujur saja aku lebih rindu malam ramadhan di kampungku daripada di sini. Ada alasannya dan mungkin akan kuceritakan lain waktu bila sempat.


Ada yang Greget Bernama Skripsi

            Biasanya, di awal-awal bulan puasa kegiatan perkuliahan diliburkan barang satu atau dua hari. Tapi tahun ini berbeda, awal mula puasa juga sekaligus menjadi awal masa UAS semester ini. Hingga muncul pUASa (UAS di tengah-tengah puasa).

            Puasa tahun ini seakan memang identik dengan ujian-ujian akademik. Selain bertepatan dengan uas seperti yang kubilang tadi, tepat di hari sebelumnya, diselenggarakan pula ujian masuk tulis UGM untuk mereka-mereka yang berharap bisa nangkring di universitas yang katanya top di Indonesia ini

            Maka di hari itu pula, kamarku kedatangan dua orang tamu dari Pekalongan. Pak Rofik dan Rusydan yang hendak mengadu nasib memakai alma warna karung goni ini. Well dan saya dengan senang hati menjadi juru antar mereka.

            Selagi si Rusydan masuk ke dalam kelas Teknik Fisika untuk mengerjakan soal-soal ujiannya, saya dan Pak Rofik memutuskan untuk hunting buku-buku referensi. Menurut kalian mengapa pak Rofik datang jauh-jauh ke Jogja dari Pekalongan? Iya benar, ‘hanya’ untuk mencari bahan referensi skripsi pendidikan matematika beliau.

            “Apa iya segitunya banget po?” kalimat tersebut tak pernah benar-benar lepas dari tenggorokanku. Takut kalau-kalau pertanyaanku malah membuat beliau merasa lebih berat. Njuk habis itu nantinya beliau jadi membandingkan-bandingkan. Njuk baper. (edisi drama) Jelas aku tidak mau seperti itu. Rasanya membandingkan diri dengan orang lain itu sama sekali tidak enak. Apalagi ini soal skripsi.

            “Ini, mumpung belum puasa. Puas-puasin minum es-nya,” beliau menyodorkan dua gelas es cendol sambil duduk di deretan bangku shopping (deket taman pintar). Kami berdua tertawa-tawa.

            “Masih mau lanjut nyari lagi, Pak?”

            “Iya kok sulit sekali ya, Kham.” Aku akui, ternyata yang namanya mencari buku referensi untuk skripsi itu sulitnya minta ampun. Sudah kami tanyain satu-satu tiap ruko di deretan toko buku itu. Menanyakan judul ini itu yang mungkin berhubungan dengan skripsi yang digarap. Tapi hasilnya selalu mendapat jawaban sama dari banyak penjaga toko.

            “Wah nggak ada e mas,” atau mereka tak menjawabnya. Hanya menggeleng-gelengkan kepala.

            Kami pikir di sini bisa mendapatkan paling sedikit lima buku. Tapi hanya satu judul yang bisa kami bawa pulang.

            Kami pulang sembari mampir ke warung es buah dekat pom bensin monjali (puasin minum es, hehe).

            ***

            Well, selalu ada kegregetan sendiri perihal skripsi untuk masing-masing orang. Penyandang pejuang skripsi selalu memiliki ‘jalan hidup’ yang unik.


Sabtu, 04 Juni 2016

Kamis, 02 Juni 2016

Perpisahan Timsat - 2 Juni



            Tak kusangka juga ternyata ada yang namanya penutupan timsat (semacam tim yang isinya 3 nakula dan 3 srikandi). Padahal biasa-biasanya Cuma menggabut saja. Baru ramai ketika ada job kajian, training, ataupun basic skill. Atau ya rame lagi pas haflah timsat, dimana ramainya saling tunjuk satu sama lain siapa yang bakal maju pentas.

            Tapi iya juga ya apa kata orang, ternyata sesuatu tampak berharga ketika dia sudah tidak di tangan. Atau ketika waktunya sudah hampir habis atau saat kita tahu bahwa akan ada yang hendak berpisah meninggalkan kita.

            Meskipun pas duduk di meja makan, malah bahasannya ukhti, amah, ikhwanul muslimin, plan ke depan, sampai undangannya tetap lima ya, jangan sampai empat. (yang ini ada yang nggak paham). Entahlah, semuanya bercampur baur dalam gelak tawa.

            Ternyata ada cara lain untuk berbagi, kami tidak berbagi makanan (bayar sendiri-sendiri), tapi di penghujung ini (yang diharapkan tidak berujung dan tak ada yang left grup) kami hanya tahu cara berbagi dengan saling bercerita sama lain. Saling menertawakan banyak hal (kadang aku yo roaming, makanya milih ngunyah makanan), dan berbagi gantungan kunci yang lebih mirip lonceng sapi ketika di goyang-goyang.

            Ada banyak momen dalam hidup, terima kasih sudah membuat momen yang berkesan di malam ini.

            See you….

*Dari seekor kupu-kupu yang sedang belajar mengepakkan sayap.