Pertama kali mendengar istilah anonim, maka yang
terpikirkan di kepalaku adalah tentang seorang penulis yang menyembunyikan
tulisannya. Anonim juga sering disematkan bersamaan dengan tulisan, kata
mutiara ataupun cuitan yang tidak diketahui siapa penulis pertamanya. (Dih kok
tumben nulisnya serius macam artikel gini ya).
Dunia yang sekarang itu, riuh, penuh gegap gempita.
Dunia yang sekarang itu seolah panggung telah berdiri di tiap genggaman. Like,
komentar, subscribe dan view menjadi sebuah patokan tentang perhatian.
Dunia yang sekarang seolah bisa mengukur perhatian
dengan angka. Digit-digit tentang suka, ramainya jumlah akun yang memberikan
pujian dan lain sebagainya. Aku juga sama. Sering mengukur bagus tidaknya
tulisan dari berapa tombol berbentuk jantung manusia dipencet dan dihadiahkan
untukku. Sampai-sampai aku ingin tahu siapa yang menyukai tulisanku, untuk
kemudian kutawarkan tulisan lain secara privat.
Dulu sejauh yang kuingat, pas masa kuliah, aku sudah
mulai tertarik menuliskan cerita-cerita yang kutaruh di sebuah chat whatsapp,
kukirimkan ke sebuah grup yang berjumlah lebih dari 60 orang. Ketika tidak ada
respon atau malah ketimbun dengan topik lain. Aku merasa sedih. Kucoba ulang
untuk mengirim cerita lagi ke sana, hingga akhirnya aku memutuskan tidak akan
mengirimkan cerita berupa chat ke grup itu lagi.
Aku juga pernah menuliskan tulisan panjang maupun
cerita ke dalam instagram, biasanya kulayout dan kususun menggunakan power
point, sehingga menjadi slide cerita. Itu terus kulakukan sampai kini karena
mempelajari canva dan menuliskan sepenggal kata-kata pendek dengan tempel
tulisan sana sini.
Dan kini entah apa yang terbesit di pikiran, mencoba
kembali pulang menulis melalui blog. Ngeblog yang sudah kujadikan tempat menulis
jauh sebelum aku memposting di grup whatsapp itu. Blog menjadi terasa seperti
rumah untuk tulisanku pulang.
Kini aku menemukan alasannya. Anonim. Di platform
blog, bukan penulis yang anonim, tapi justru pembacanya. Tidak ada tombol like,
juga sangat jarang orang meninggalkan komentar karena sulitnya meninggalkan
komentar tidak seperti medsos pada umumnya. Melalui status whatsapp, kita bisa
mengecek siapa saja yang sudah membaca unggahan kita (bisa baca beneran maupun
langsung diskip sih). Tapi yang melihat, memiliki nama. Yang membaca, kita
mengenal orangnya. Bahkan mereka bisa langsung memberikan respon dan masuk
sebagai chat.
Blog begitu berbeda. Karena memang sepertinya dianggap
sudah ketinggalan jaman sehingga tidak banyak lagi yang memainkannya. Di blog,
pada dashboard hanya ditampilkan statistik jumlah view. Penulisnya saya,
pembacanya anonim. Hebat kan?
Seolah dari media sosial yang menawarkan keriuhan dan
panggung untuk tampil mempesona dan sempurna, blog malah berada di kutub
sebaliknya. Dia menawarkan ketenangan. Di blog, aku sangat paham bahwa aku
menulis sendirian, dan kadang aku jadi paham tentang tujuanku menulis yaitu
menata pikiran dan utamanya untukku sendiri.
Secara personal, menulis blog itu terasa unik. Kita
bisa berpura-pura menasehati seseorang, padahal seseorang yang kita maksudkan
dan tujukan adalah diri kita sendiri.
Kalau mengutip tagline dari blog temanku. Write like
no one’s watching (aku bahkan nggak paham yang punya tagline ini membaca ini
atau tidak -,-a )
Sependapat, Mas Irkham.. Back to nature dan agak rumit utk berkomentar.. Hehe
BalasHapus