Kamis, 28 Oktober 2021

Anonim

 


Pertama kali mendengar istilah anonim, maka yang terpikirkan di kepalaku adalah tentang seorang penulis yang menyembunyikan tulisannya. Anonim juga sering disematkan bersamaan dengan tulisan, kata mutiara ataupun cuitan yang tidak diketahui siapa penulis pertamanya. (Dih kok tumben nulisnya serius macam artikel gini ya).

Dunia yang sekarang itu, riuh, penuh gegap gempita. Dunia yang sekarang itu seolah panggung telah berdiri di tiap genggaman. Like, komentar, subscribe dan view menjadi sebuah patokan tentang perhatian.

Dunia yang sekarang seolah bisa mengukur perhatian dengan angka. Digit-digit tentang suka, ramainya jumlah akun yang memberikan pujian dan lain sebagainya. Aku juga sama. Sering mengukur bagus tidaknya tulisan dari berapa tombol berbentuk jantung manusia dipencet dan dihadiahkan untukku. Sampai-sampai aku ingin tahu siapa yang menyukai tulisanku, untuk kemudian kutawarkan tulisan lain secara privat.

Dulu sejauh yang kuingat, pas masa kuliah, aku sudah mulai tertarik menuliskan cerita-cerita yang kutaruh di sebuah chat whatsapp, kukirimkan ke sebuah grup yang berjumlah lebih dari 60 orang. Ketika tidak ada respon atau malah ketimbun dengan topik lain. Aku merasa sedih. Kucoba ulang untuk mengirim cerita lagi ke sana, hingga akhirnya aku memutuskan tidak akan mengirimkan cerita berupa chat ke grup itu lagi.

Aku juga pernah menuliskan tulisan panjang maupun cerita ke dalam instagram, biasanya kulayout dan kususun menggunakan power point, sehingga menjadi slide cerita. Itu terus kulakukan sampai kini karena mempelajari canva dan menuliskan sepenggal kata-kata pendek dengan tempel tulisan sana sini.

Dan kini entah apa yang terbesit di pikiran, mencoba kembali pulang menulis melalui blog. Ngeblog yang sudah kujadikan tempat menulis jauh sebelum aku memposting di grup whatsapp itu. Blog menjadi terasa seperti rumah untuk tulisanku pulang.

Kini aku menemukan alasannya. Anonim. Di platform blog, bukan penulis yang anonim, tapi justru pembacanya. Tidak ada tombol like, juga sangat jarang orang meninggalkan komentar karena sulitnya meninggalkan komentar tidak seperti medsos pada umumnya. Melalui status whatsapp, kita bisa mengecek siapa saja yang sudah membaca unggahan kita (bisa baca beneran maupun langsung diskip sih). Tapi yang melihat, memiliki nama. Yang membaca, kita mengenal orangnya. Bahkan mereka bisa langsung memberikan respon dan masuk sebagai chat.

Blog begitu berbeda. Karena memang sepertinya dianggap sudah ketinggalan jaman sehingga tidak banyak lagi yang memainkannya. Di blog, pada dashboard hanya ditampilkan statistik jumlah view. Penulisnya saya, pembacanya anonim. Hebat kan?

Seolah dari media sosial yang menawarkan keriuhan dan panggung untuk tampil mempesona dan sempurna, blog malah berada di kutub sebaliknya. Dia menawarkan ketenangan. Di blog, aku sangat paham bahwa aku menulis sendirian, dan kadang aku jadi paham tentang tujuanku menulis yaitu menata pikiran dan utamanya untukku sendiri.

Secara personal, menulis blog itu terasa unik. Kita bisa berpura-pura menasehati seseorang, padahal seseorang yang kita maksudkan dan tujukan adalah diri kita sendiri.

Kalau mengutip tagline dari blog temanku. Write like no one’s watching (aku bahkan nggak paham yang punya tagline ini membaca ini atau tidak -,-a )


1 komentar:

  1. Sependapat, Mas Irkham.. Back to nature dan agak rumit utk berkomentar.. Hehe

    BalasHapus