Minggu, 30 April 2017

God Makes Dishes



God makes dishes,
and the devil add seasoning on it.”

                Mulanya kau tidak begitu paham ketika pertama kali mendengar kalimat yang disampaikan oleh Tutormu di Pare. Beliau menyampaikannya kepada kami semua ketika sedang membicarakan betapa pentingnya menetapkan tujuan, “Untuk apa kau di pare?”

                Apa hubungannya dengan tujuan, Tuhan, makanan dan bumbu? Semakin kau pikirkan, semakin kau merasa tidak paham.
               
                 “I’m sorry, what the quote mean?”
               
                Tutormu di sana bilang bahwa kalimat tersebut disampaikan oleh Sanji (seorang koki) dalam serial animasi one piece. Awalnya juga beliau tidak paham, sampai ada teman satu kampung-nya dulu yang menjelaskan kepadanya.
***

God makes dishes,
and the devil add seasoning on it.”

                Tutormu bertanya kepadamu, “Apa sih sebenarnya hakikat dari makan itu?”

                Beberapa orang menjawab makan itu untuk kebutuhan, sebagian lagi bergurau untuk kenyang. Tutormu hanya tertawa mendengarnya.

                “Hakikat makan itu adalah mengisi tenaga untuk melanjutkan aktivitas selanjutnya. Kau makan, aku makan, pada akhirnya untuk bisa melanjutkan bekerja, melanjutkan kembali aktivitas belajar. Makan itu semacam mengumpulkan bekal kepada otot-otot kita.

                Kau dan teman-temanmu menganggukkan kepala. Penjelasan dari tutormu masuk akal. Kau mencatatnya di buku putih yang ada di pangkuanmu.

                Makan untuk melanjutkan.

                “Lalu, orang-orang mulai lupa akan hakikat dari makan, kita mulai sibuk berpikir pilih mana antara nasi pecel dan sate kambing, ribut pilih nasi kuning atau potongan rendang, pisang atau pizza, enakan mana antara rambutan dengan durian. Kita mulai sibuk sama ‘bumbu’nya. Tahu-tahu aja kita kena stroke, kolesterol dan lainnya. The Devil add seasoning on it.”

                Kau sendiri tidak menyangka penjelasan tutormu akan seperti itu. Bukankah kau juga sering pilah-pilih tentang makanan? Bukan mana yang sehat atau tidak, melainkan mana yang lebih lezat dan enak, terkadang bahkan kau memikirkan mana yang lebih ‘prestise’. Sehabis makan kau malah bersantai dan tidur-tiduran (kadang tidur beneran), seolah kau benar-benar lupa bahwa setelah makan kau harus melanjutkan pekerjaanmu.

                “Apa penjelasan dari teman saya cuman itu? Nyatanya tidak!” tutormu kembali melanjutkan ucapannya di depan kelas.

                “Tuhan menciptakan dunia, sama seperti menciptakan makanan. Untuk apa? Untuk melanjutkan perjalanan. Tapi iblis menambahkan bumbu dan gemerlap-gemerlap kesenangan di dunia hingga manusia terlalu sibuk untuk di dunia, lupa bahwa itu hanya sementara dan sarana menyiapkan bekal.”

                “Jadi, saya minta tolong diingat-ingat kembali, apa tujuan kalian semua ke Pare sini? Kalian tentu sudah menghabiskan biaya dan waktu untuk bisa kesini, dan saya tidak ingin kalian tidak mendapatkan apa-apa di sini. Ada banyak bumbu di Pare, banyak sekali. Jadi, coba targetkan secara spesifik.”

Malam itu, bukan tanpa alasan tutormu menyampaikan hal tersebut. Beliau mengutarakannya ketika jam program telah dimulai namun dirinya tidak menemukan kami tengah bersiap untuk menerima ilmunya. Kami diuji, dan tak banyak kemajuan yang beliau rasakan.

                Malam itu, sebuah tamparan keras untukmu, dan memang sesekali kau merasa butuh juga untuk ditampar. God makes dishes, and the devil add seasoning on it.

Tulungrejo – Pare, Maret 2017

Tak Apa Kalau Dirimu Melakukan Kesalahan



                Tak apa kalau dirimu melakukan kesalahan, toh kau tidak harus selalu benar sejak dari awal.

                Misalnya saja kau hendak pergi ke suatu kota, kemudian kau memesan sebuah tiket kereta jauh-jauh hari, takut kehabisan. Kau sudah mengecek rutenya dan kereta apa yang akan kau tumpangi untuk sampai ke kota tujuan. Ketemulah kereta api yang sesuai jadwal bernama Logawa.

                Untuk jaga-jaga, kau mengecek pula jadwal kepulanganmu dan kau menemukan tidak ada masalah baik untuk berangkat maupun pulang. Kau klik tombol pesan, mengingatkan diri untuk memilih kursi tengan 13E (sampai kau tanyakan di grup yang duduk cuma dua kolom itu AB atau DE), booking, kemudian pergi ke atm untuk melakukan pembayaran.

                Sepulang dari itu, kau mendapatkan sebuah sms bahwa tiket telah terpesan. Ketika kau membacanya kau mulai menyadari satu hal, jam keberangkatannya berbeda, harusnya 08.55 namun di  sms tertera 12.00. Siapa yang salah?
               
                Kau baca kembali pesan sms itu dengan pelan dengan seksama. Dan ternyata tiket yang kau pesan terbalik jalurnya. Harusnya kau pesan A ke B, namun kau memesan dengan rute B ke A di hari keberangkatanmu.

                Kereta yang sama, kursi yang sama, tapi jalurnya terbalik.

                Tak apa kalau dirimu melakukan kesalahan, toh kau tidak harus selalu benar sejak dari awal.

                Meskipun akhirnya kau harus berangkat sendiri ke stasiun untuk melakukan perubahan jadwal. Menunda waktu sarapan, menghubungi customer service dan kau sendiri melihat sendiri penjaganya menahan tawa kala tahu jalurmu terbalik.

                “Oke mas, kami potong 25% ya sebagai biaya administrasi. Dan silahkan ambil tiket antrian.”

                Kau pencet tombol biru itu. keluarlah angka 85. Padahal kau tahu, antrian sekarang baru sampai angka 47. Butuh waktu 1 jam penantian untuk melakukan konfirmasi ulang.

                “Mau dirubah ke jadwal yang mana, Mas?”
                “Itu mba, tanggal sekian tujuan kesana dan kereta ini.”
                “Lho ini sudah cocok, Mas.”
                “Tidak Mba, itu tujuannya terbalik.”

                Akhirnya kau menambahkan beberapa rupiah dari kantung sakumu yang sudah kumal.

                Tak apa kalau dirimu melakukan kesalahan, toh kau tidak harus selalu benar sejak dari awal.

                Meskipun kau harus membayar lebih beberapa rupiah dan menunggu sekian waktu, sungguh Tak apa kalau dirimu melakukan salah.
                Toh dalam waktu menunggumu itu kau bisa berbincang dengan seseorang bernama Firman yang baru kau kenal. Teman menunggu antrianmu juga.
                Toh dalam waktu menunggumu kau bisa mengobrol tentang warung makan yang Firman jalankan di dekat kampus kesenian.
                Toh dengan sebuah kesalahan, akhirnya kau mendapatkan pengalaman. Bahkan paling tidak kau sudah bisa menjadikan kesalahanmu itu sebagai bahan sebuah tulisanmu sekarang.

                Sungguh, Tak apa kalau dirimu melakukan kesalahan, toh kau tidak harus selalu benar sejak dari awal.

Sebuah Stasiun, 23 Februari 2017