Sabtu, 30 April 2016

Ibu Aku Tidak Mau Jadi Pahlawan



Di kelasnya ada 40 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.

Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing. Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orangpun bertepuk tangan.

Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya. Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab:….. “Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main”.

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua. Diapun menjawab: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya menjadi seorang guru TK?

Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak lagi banyak bermain. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23.

Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.

Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama. Semua orang membawa serta keluarga mereka. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya. Anak kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.

Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue. Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil. Terakhir anak kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.

Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing. Mereka terlihat begitu gembira.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu SIAPA TEMAN SEKELAS YANG PALING KAMU KAGUMI & APA ALASANNYA.

Semua teman sekelasnya menuliskan nama : ANAKKU!

Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman, dan banyak lagi.

Si wali kelas memberi pujian: “Anak ibu ini kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.

Saya bercanda pada anakku, “Suatu saat kamu akan jadi pahlawan”. Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba2 menjawab “Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”

“IBU, …..AKU TIDAK MAU JADI PAHLAWAN, …. AKU MAU JADI ORANG YANG BERTEPUK TANGAN DI TEPI JALAN.”

Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku. Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan. Namun Anakku memilih untuk menjadi orang yang tidak terlihat. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi ialah yang mengokohkan.

Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hatinya, MENGAPA ANAK2 KITA TIDAK BOLEH MENJADI SEORANG BIASA YANG BERHATI BAIK & JUJUR…

(Cerita ini didapat dari sebuah post. Kami tulis ulang dengan beberapa penambahan & pengurangan. Mudah2an bisa jadi inspirasi)

 *Sumber cerita : http://www.greenwhite-academy.co.id/bukan-pahlawan/

Mayas dan Diary-nya

MAYAS DAN BUKU DIARY-NYA
23 April 2016

                Mayas adalah anak pindahan dari desa. Dia dikenal sebagai anak yang pintar, rajin dan patuh kepada orang tua. Pada saat Mayas pulang dari sekolah barunya, Mayas melihat anak-anak kecil yang sedang asyik di jalan sedang mengamen di antara celah-celah kendaraan yang berhenti ketika lampu merah. Mayas merasa iba melihat anak-anak yang tidak bersekolah dan pekerjaannya hanya meminta-meminta di jalan raya.

                Sesampai di rumah, ia bercerita kepada Ayah dan Mamanya.

                “Mama, Ayah, kenapa sih kok banyak anak-anak kecil yang mengamen di jalan raya? Lalu dimana Ayah dan Ibunya?” tanya Mayas kepada Mama dan Ayahnya.

                “Memang di kota banyak anak-anak yang seperti itu, mungkin karena orang tuanya tidak mampu membiayainya dan hidup mereka hanya pas-pasan untuk membeli makan sehari-seharinya,” sambung Ayah.

                “Maka bersyukurlah kami, karena kamu bisa bersekolah. Mereka sebenarnya ingin sekolah seperti teman-temannya tetapi karena kondisi keluarganya yang tidak mendukung, maka mereka menerima untuk tidak bersekolah dan mengamen di jalan raya untuk ikut membantu orang tuanya membeli makanan sehari-hari,” ujar Mama.

                Mayas lalu menganggukan kepala sebagai tanda bahwa ia mengerti apa yang diucapkan Papa dan Mamanya. Seusai makan malam Mayas meninggal ruang makan dan beranjak menuju ke kamar tidur.

                Seperti biasanya, Mayas selalu belajar, tak lupa ia menjadwal apa yang akan dipelajari di sekolahnya esok nanti. Lalu sebelum belajar ia menulis curhatan sedikit di buku diary-nya.

                “Andaikan aku sudah besar dan menjadi guru, pasti akan aku ajarkan kepada mereka tentang ilmu yang belum mereka tau dan ilmu yang aku dapatkan dari SD sampai kuliah.” Ujar Mayas dalam buku diary-nya. Lalu Mayas belajar bersungguh-akan bisasungguh agar apa yang telah dicita-citakan bisa tercapai kelak.

*****

23 April 2016
*Penulis : Susi Sabilul Huda, Kelas 3 SMP (dalam Training Semangat Menulis)


Salahkah Aku Bermimpi


23 April 2016

                Di sebuah keluarga  yang kurang mampu, Dila selalu bersabar atas semua mimpi yang ia simpan sejak umur 5 tahun hingga sekarang. Berkali-kali dia mencoba agar Bapak dan Ibunya mau untuk memenuhi semua yang ia inginkan. Ia hanya ingin menempuh jenjang pendidikan. Menangis, ia hanya bisa menangis mendengar nasihat dari bapak-ibunya. Sebenarnya Dila itu pandai hanya saja keadaan yang membuatnya harus berhenti belajar.

                Sore itu Dila berdiri menatap halaman belakang rumah dari jendela. Ia melamun dan membayangkan ika ia bisa bersekolah. Jika aku bisa menjadi menjadi… Sulit rasanya Dila mengarakan apa yang ia cita-citakan. Ingin rasanya ia berlari meninggalkan semua kesulitan dalam kehidupannya.

                “Dila . . . Dila!” Suara ibu memecah lamunan Dila. Segera ia bangkit menuju tempat dimana Ibu berada.

                “Ada apa, Bu?” kata Dila.

                Sekarang kamu bisa sekolah. Tapi . . . kamu harus tinggal di pesantren yang jaraknya jauh dari sini.” kata Bapak.

                Brukk!! Dila jatuh di kursi kayu yang sudah reot.

                “Kenapa saat impianku akan tercapai aku harus berpisah dengan keluarga? Apa yang harus kulakukan? Bagaimana pula nasibku di sana?” tentunya Dila menyembunyikan semua pertanyaan itu.

                “Bapak dan Ibu sudah setuju kalau Dila sekolah di sana dalam waktu yang lama. Dila harus terus belajar, makanya Dila harus bisa membanggakan kedua orang tuamu. Dila jangan menyerah ya… Ibu sudah sangat kasihan kepadamu, tiap pagi hanya bisa menatap temanmu memakai seragam dan membawa tas. Nah, saat inilah waktu yang bisa kamu manfaatkan untuk mencari ilmu walaupun sulit.” Nasihat ibu kepada Dila. Dila pun meneteskan air matanya. Ia tak tahan melihat ibu dan bapaknya menangis hanya demi rasa kasih sayang seorang Bapak dan Ibu untuk dirinya.

                “Semua transportasi, buku, tas dan yang lainnya sudah dipersiapkan. Sana sekarang kamu mandi setelah itu bersiap-siaplah. Jangan nangis terus.” Ibu pun bangkit menuju dapur.

                Setelah mandi Dila pun menyiapkan perlengkapannya. Setelah pukul delapan ia sudah selesai menyiapkan semuanya. Ia pun segera pergi tidur.

                Pagi pun sudah tiba. Saatnya ia harus pergi menempuh kehidupan baru.

                “Nak, kalau di sana angan nakal. Kalau Ustadz menyuruh kamu jangan mengelak ya.” Kata Bapak.

                Dalam hati ia berjanji akan selalu mematuhi semua nasihat-nasihat Bapak-Ibu. Aku pasti bisa menjadi apa yang aku impikan.


23  April 2016
*Penulis : Rahma Sabilul Huda, Kelas 2 SMP (dalam Training Semangat Menulis)




Selasa, 26 April 2016

Jujur Saja Aku Kecewa


26 April 2016

                Jujur saja aku sering kali merasa kecewa. Satu hal karena kadang berekspektasi terlalu tinggi, satu hal lain karena orang-orang tidak menyampaikan apa yang saya harapkan. Dan satu hal lain lagi karena suaraku tidak pernah keluar sampai ke telinga orang. Atau bahasa gamblangnya aku tidak didengar.

                Malam itu penyampaian suatu ide tentang sebuah pementasan. Ya, pementasan yang akan disajikan untuk banyak orang. Minimal 250 yang akan menonton pertunjukan atas nama asrama Jogja.

                Sebenarnya ini berawal dari ketidakmampuanku untuk menyampaikan sesuatu yang ada di otak melalui suara. Seolah menjadi buntu saja ketika ditanyakan apa idemu dalam waktu sekejap.

                Seusai rapat tadi aku terus memikirkannya, naskah seperti apa yang bisa menjadi penyambung scene-scene yang telah dibuat. Kata mereka di rapat tadi, belum ada benang merah atau alur dari drama yang hendak dipentaskan. Jadilah aku memikirkannya berulang kali dan rasa-rasanya ketika ada celah untuk membuat cerita, aku jadi bersemangat meskipun tanpa diminta.

                Tapi itu masalahnya, bersemangat atas sesuatu hal yang bahkan dilirik orang saja tidak itu rasanya menyakitkan. Aku sudah menuliskannya, merasa berkorban untuk menghabiskan beberapa jam untuk mewujudkannya dalam sebuah tulisan di atas kertas putih. (Aku tahu rasa merasa berkorban itu salah – tapi aku tetap saja merasa. Dan memang untuk nulis cerita bahkan terkadang tak kurang dari 5jam hanya untuk menyelesaikannya. Aku bersemangat, tapi tidak memperhitungkan sesudahnya bahwa akan ada rasa kecewa di dada.

                Ya aku sering kecewa, bahkan jika aku menuliskan cerita untuk seseorang dan dia membacanya saja tidak barang cuma 5menit saja (bandingkan dengan waktu yang dihabiskan untuk menulisnya).

                Aku pernah bilang kebahagiaan seorang penulis adalah ketika tulisannya dibaca orang, namun itu justru menjadi senjata makan tuannya. Kebahagiaan penulis adalah ketika tulisannya dibaca, dan kekecewaan penulis adalah ketika ia sudah menuliskan untuk seseorang dan tidak dibaca sama sekali.

                Ini hanyalah masalahku, maka tak mungkin juga aku menceritakan seperti ini di grup, bercerita kepada seseorang, makanya aku memilih menuliskannya di sini, di rumah tulisanku.

            
                Aku tak ingin menulis untuk seseorang lagi.

                Kau tak akan bertemu dengan irkham maulana yang baik hati, karena entah sejak kapan dia sudah mati. Mungkin sejak malam ini.

                

Jumat, 22 April 2016

Menyampaikan pesan

23 April 2016

                Mereka tengah duduk melingkar, saling mengutarakan ide tentang apa yang hendak ditampilkan. Beberapa bahkan tampak nyala api berkobar di matanya. Saking semangatnya. Hanya satu orang it yang daritadi sibuk menghabiskan camilan.

                Lelaki itu sejenak berhenti, dan akhirnya dia mengeluarkan suara. Lebih tepatnya ia bertanya.

                “Jadi apa keputusannya?”
               
“Cerita nakula dan srikandi yang bisa diambil hikmahnya dan relevan dengan kehidupan kita.”

                “Hmmm…” orang yang bertanya kini hanya berekspresi datar.

                “Kira-kira hikmah yang kita ingin tampilkan apa ya?”
                Di kening lelaki itu kini mengalir bulir-bulir keringat.

                “Yang hikmahnya ngena banget. Biar penonton dapat manfaat yang waah.”
                Lelaki itu tiba-tiba jatuh pingsan. 

Malam itu - Haflah


22 April 2016

                Malam itu, aku tetap datang terlambat meskipun sudah kupacu santai kuda hitam yang kukendarai. Di jalanan aku memang tidak mau terburu-buru dalam hal apapun, kecuali untuk satu hal dan kurasa kau tidak perlu tahu satu hal itu.

                Beberapa baris anak laki-laki sudah duduk berantakan di aula, beberapa perempuan pun tampak bersender di seberang aula yang lain. Mereka tengah duduk menyimak barang satu dua patah kata yang berkepentingan di depan. Senangnya berkumpul seperti ini itu juga karena tampak serius namun diiringi dengan tawa-tawa lepas yang nadanya seperti tak tertahankan. Ya begitulah, andai sebuah kata dari tulisan ini bernada, kau pasti akan ikut tertawa juga. Tapi sayangnya tidak bernada, jadi cukup kusimpan tawa itu untuk diriku sendiri saja.

                Tawa yang membuat badan lemas, dan tentu juga lapar.

                “Kamu PJ naskah ya…”
                “Eh???” aku sempat hendak menolak. Tapi entah kenapa tidak punya ‘alasan’. Mereka berpikir orang yang bisa menulis cerpen, pasti bisa menulis naskah pentas. Nyatanya aku tidak, aku merasa kesulitan.

                “Kok jadi aku si? Duhhh. Kamu si tadi ngompor-ngomporin di awal-awal. Mulai nyebut-nyebut nama.”
                “Hehe,” yang ditanya kini justru menyungging senyum dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

                “Coba kalau nulis cerpen, aku bisa. Lah ini buat naskah pentas, jujur aku tidak bisa. Kenapa nggak cerpen aja si?”

“Jika Kau hanya melakukan apa yang kau bisa, kau takkan menjadi lebih dari kau yang sekarang.”





Kamis, 21 April 2016

Rugi Menemukan Permata



Di suatu suatu sore yang cerah, ditemani siluet mentari dengan warna kemerah-merahan. Ihrom memutuskan untuk berjalan-jalan menusuri pantai impian yang berjarak kurang lebih 20km dari tempat tinggalnya.

Sebenarnya kedatangan Ihrom hari itu bukanlah suatu perkara yang begitu penting memang. Ia berusaha ‘menghabisi’ waktu untuk menunggu berbuka dengan sedikit menikmati indahnya pantai yang telah lama terlupa akibat jeratan pekerjaan yang tidak kunjung memiliki waktu jeda. Yap, sebuah perjalanan dimana orang-orang sekarang lebih enak menyebutnya dengan sebutan ‘ngabuburit’. Tak tahu dari bibir siapa kata itu pertama kali terucap. Yang jelas kata itu akan selalu menjadi trend di kala bulan puasa penuh suka cinta mampir dalam hari-hari dunia.

Kicauan burung camar yang saling bersaut-sautan dan juga deburan ombak yang gulungannya saling susul menyusul bak seorang anak kecil yang mengejar kawan ‘jahat’ yang tega menjahilinya. Membuat Ihrom terbenam dalam perasaan takjub hingga ia melupakan apa yang dari tadi mengganggu dan berdendang merdu dalam perutnya. Rasa Lapar

Langkah demi langkah ia gerakan di tepian pantai. Sebuah kilatan cahaya sedikit menusuk pandangannya. Semakin ia dekati, maka semain tajam tikuman dari kilau itu. Dibuka dan disingkirkan batu batu kerikil yang menghalanginya. Sebuah Permata. Permata seukuran kelereng tergeletak persis di hadapannya.

Spontan saja si Ihrom kegirangan bukan main. Mana ada orang yang tidak ada angin tidak ada hujan tiba tiba menemukan permata? Bagaikan jalan-jalan menemukan durian runtuh secara tiba tiba. Dan yang ditemukan jauh lebih berharga dari pada satu keranjang penuh durian.

Pemuda tanggung ini memiliki kenalan yang senang mengoleksi permata. Mavia namanya. Nama yang aneh memang, seaneh hobinya pula. Tanpa pikir panjang si Ihrom membawanya ke rumah Mavia yang kebetulan lokasi nya tidak jauh dari tempat kejadian perkara.

Tawar menawar antara Ihrom dan Mavia berjalan alot. Bagaimana tidak, barang yang mereka perjual belikan seharga miliaran rupiah. Kedua pihak tentu tidak ingin merasa dirugikan. Hingga akhirnya penawaran terhenti pada angka 9 milyar. Ihrom menyetujuinya.

Uang sudah di tangan, Ihrom pulang dengan perasaan girang bukan kepalang. Tak pernah menyangka bahwa ia akan mendapat rejeki nomplok sebanyak 9 milyar. Bahkan memimpikannya pun Ihrom mungkin tidak pernah.

Dalam perjalanan pulang, dalam hati yang berbunga-bunga, melewati jalanan kota yang bising akan suara kendaraan. Tiba-tiba secarik koran terbang dan menempel di mukanya. Persis seperti di film-film drama.

Ada gambar permata  sama persis yang ia temukan tadi. Baik ukurannya, maupun kilaunya. Atau bahkan mungkin memang permata tadi yang dimaksud dalam isi koran.

DICARI, PERMATA SEPERTI GAMBAR. BARANG SIAPA YANG MENEMUKAN, MAKA KAMI AKAN MEMBELINYA SEHARGA 10 MILYAR.

“Sial, aku rugi satu milyar.” desah Ihrom dalam hati yang kesal. Kesenangan tadi sempurna sudah tergantikan perasaan kesal karena ‘kerugian’ yang ia  terima.

*Yogyakarta, 2013. Cerita pertama kali banget yang pernah ditulis.

*Buku Hijau

Rabu, 20 April 2016

Selasa, 12 April 2016

Aku Pikir Kau Menghilang


12 April 2016

                “Semula aku pikir kau menghilang.”
                “Eh?”
                “Iya, aku pikir kau menghilang. Pergi entah kemana.”
                “Terus?”
                “Ternyata aku salah. Aku hanya tidak bisa menemukanmu. Tidak tahu dimana dirimu berada.”

                

Senin, 11 April 2016

Mengisi Lubang di Hati


12 April 2016

                Ada sebagian orang yang hadir di dalam hidup, jika bertemu saja dengan dia seakan-akan mampu mengisi lubang di hati.

                Kalau ibu, ayah, kakak-adik, keluarga itu bukan mengisi lubang, tapi merekalah yang justru menghadirkan hati itu ke dalam diri. Bisa saja, kalau tak pernah bertemu mereka, jangankan lubang, bahkan mungkin hati saja tidak punya.

                Entah apa ini hanya perasaanku saja, atau pernah juga dialami oleh semua orang. Bahwa hidup juga adalah tentang mengisi lubang-lubang itu. Seolah-olah jika melakukan sesuatu yang kita sukai, hati-hati itu semakin terpenuhi. Ada orang yang mengisinya dengan berbagi, entah itu berwujud materi ataupun hanya sekedar lewat tulisan seperti yang kulakukan sekarang. Ada pula yang lubangnya terisi dengan memacu kendaraan di aspal sirkuit macam pembalap-pembalap itu.

                Yang tidak kusangka adalah lubang itu juga bisa terisi oleh kehadiran seseorang. Pertemuan dengan sesosok manusia. Hanya lewat sebuah perjumpaan.

                Pada mulanya aku bersikap biasa saja (tapi gatau biasaku itu terlihat biasa nggak ya di mata orang lain), tak banyak bicara. Tapi ketika perubahan mimik muka orang yang didepanku dari biasa saja ke sebuah senyum,  Itu menjadi tidak biasa. Yang tiba-tiba membuatku ingin kabur saja. Berlari sejauh-jauhnya.

                Aku selalu bingung bertemu dengan orang-orang yang seperti ini. Ingin bertemu tapi juga tidak ingin bertemu. Hendak menyapa tapi takut menyapa. Ingin mengobrol, tapi selalu bingung apa yang akan diobrolkan. Merasa senang, tapi juga ingin segera minggat.


                Gatau ah, aku jadi bingung. Bahkan untuk sekedar menyudahi menulis ini.

Minggu, 10 April 2016

3 Kata Hadiah dari Rehan


9 April 2016

                Malam itu, selepas sholat maghrib, kami melanjutkan agenda kepenulisan seribu mimpi kami. Semua peserta dikelompokkan ke dalam masing-masing peminatan. Dan seperti biasanya, aku memilih cerpen dari empat pilihan.

                Bingung mau menyampaikan apa sebagai materi (dadakan), aku meminta kawan-kawan cerpen kami untuk mengambil selembar kertas dan sebuah pulpen. Kuminta mereka menuliskan 3 kata bebas yang mereka pikirkan.

                Seperti biasa, sebagai jurus andalan aku ingin kami sama-sama menulis dengan menggunakan 3 kata yang tertera. Eits, tapi tiga kata itu bukan dari diri kita masing-masing, tapi apa yang dituliskan oleh kawan kita dan dibagi secara acak.

                Pelangi, Langit dan Matahari. Tiga kata itu yang kuterima dari seorang anak spesial bernama Rehan. Dan ini kembalianku kepadanya meski ia agak kesulitan membaca.
                ***

                Kau tahu matahari? Dari sekian banyak benda di langit, dia adalah makhluk Allah yang selalu ceria. Dan aku punya sebuah cerita tentangnya. Hari dimana matahari meneteskan air mata.

                Pagi itu, matahari berangkat ke sekolah seperti biasa. Ia selalu memaki baju kuning dan tas kuning, warna favoritnya. Tubuhnya besar dan bersinar. Tapi di perjalanan pulang, ia bertemu dengan langit. Kawan kelasnya yang begitu nakal di mata matahari.


                Langit melempari matahari dengan sesuatu yang tidak keras, berwarna gelap, pekat dan hitam. Menimpuk matahari dengan gumpalan awan-awan hitam.

                Matahari menjadi bersedih, karena gumpalan-gumpalan awan itu kini melekat di tubuhnya dan sulit untuk dibuang. Awan gelap yang kini membuat cahaya matahari terhalang. Matahari kini menangis.

                Itulah mengapa tak bisa kau temukan matahari di langit ketika hujan. Karena matahari sedang menangis tertutup oleh awan mendung hitam.
                ***

                “Ibu, Langit telah jahat kepadaku. Ia melempariku dengan gumpalan hitam jelek ini.”
                “Jangan kau bilang begitu. Barangkali Langit tidak bermaksud jahat padamu. Segeralah kau mandi, Nak.”

                Gumpalan hitam itu ikut rontok bersamaan dengan guyuran dari gayung. Matahari yang semula menangis, kemudian tersenyum.

                Ia tak menyangka, di sekitar tubuhnya sekarang muncul sesuatu yang indah dan penuh warna bernama pelangi.



               

                

Jumat, 01 April 2016

Cabut dari Ubun-Ubun


1 April 2016

                Kalau saja aku bisa,
Aku ingin mencabut rasa tidak enakan dari ubun-ubun semua manusia.

Kadang sebel saja, ada orang yang tidak jadi mengikuti suatu kegiatan yang ingin dia ikuti, hanya karena rasa tidak enak ‘tidak pernah muncul’, atau ‘aku belum ngapa-ngapain’ atau segudang alasan lain yang berujung pada “aku nggak enak sama….”

Aku kadang sebel, tidak hanya sama kau, tapi pada diriku sendiri juga yang masih sering merasa nggak enakan. Padahal jelas-jelas ingin, waktu luang, kesempatan ada, tapi jadi diurungkan hanya karena perasaan nggak enakan.

Kalau perasaan nggak enak ini mencegah bertemu orang, berkumpul dengan kawan, memperoleh ilmu manfaat, atau sekedar untuk mengisi waktu luang yang pasti lebih bermanfaat dari tidur di ranjang, aku jadi ingin memohon pada Tuhan.

Kalau saja aku bisa,
Aku ingin mencabut rasa tidak enakan dari ubun-ubun semua orang.



Dua Puluh Dua Kali Bumi Mengitari Matahari


1 April 2016

                Sudah dua puluh dua kali bumi yang ada akunya memutari matahari di tempat sama. Aneh ya, rasa-rasanya baru kemarin aku masuk TK. Berbangga dengan nilai nol yang didapat. Baru kemarin pula memakai seragam putih merah. Sempat menjadi ketua kelas dan memimpin barusan sebelum masuk ruangan. Tapi ‘dicopot’ gegara sering terlambat dan tidak merasa bersalah. Menangis karena seragam salah ke sekolah. Pulang, dan ngambek tidak mau berangkat lagi.

                Rasa-rasanya baru kemarin aku mendapatkan rangking satu dengan hadiah main PS1 di rental ditraktir ibuku (bagiku waktu itu, 1500/jam dibayarin itu suatu hal yang wah). Langsung ngacir entah kemana sehabis sepulang sekolah. Bermain apa saja sampai belepotan lumpur kebun dan sawah.

                Rasanya juga baru kemarin, ikut ujian snmptn tulis dan nginep di masjid ikip semarang. Apa boleh buat, undanganku ditolak dan dilarang lamaran sama univ yang kupilih waktu itu ( :3 ), registrasi, dan pertama kali hidup di kosan ‘mafia’ a.k.a dunia hitam.

                Rasanya tidak begitu lama tanggal 4 Agustus 2014, berdiri dengan seragam putih hitam sepatu pantofel dan la-la-la-li-li-li. Bertemu dengan seseorang, dua orang, banyak orang. Dan mulai dua bulan depan (dibandingkan 22 tahun, pasti akan terasa singkat) masih bingung bagaimana bisa skenario ketemunya ya. Kalau kangen (sejak kapan aku punya kosaktata gini) gimana :3.

                Dan lagi, gimana ya kalau ketemu kawan-kawan asrama (yang perempuan juga), secara aku bukan orang yang bisa bertemu dadakan dengan orang (entar malah bingung mau ngomong apa, salting dan segala macam), tapi ya mosok mau direncanakan semisal bertemu dengan seseorang. (emang gua berani?”).

                Rasanya juga baru kemarin wawancara FLP, dan tiba-tiba saja sudah dua tahun pula hampir terlewati.

                Rasanya baru kemarin. Iya kemarin.

                Meski secara hitung-hitungan dua puluh dua revolusi matahari itu lama, tapi kok terasa begitu cepat ya. Ah jangan-jangan karena aku terlelap, tertidur pulas mungkin. Bahkan bisa saja sampai saat ini, meskipun mataku terbuka. Tapi mataku yang lain nampaknya masih tertutup rapat.

                Jangan-jangan memang itu sebabnya.  Aku masih tertidur sekarang.

                Sudah dua puluh dua kulihat kalender diganti, masih mau tidur lagi? :3
               
Kalau lihat aku ‘tertidur’. Jangan sungkan untuk dibangunkan ya. Tapi pelan-pelan aja, soalnya kalau keras-keras malah jadi bikin pusing.”