Kamis, 31 Maret 2016

Keberanian dan Satu Langkah Maju - BDGIM

Keberanian dan Satu Langkah Maju
31 Maret 2016

                Aku tak punya keberanian untuk mengambil satu langkah maju. Karena itulah aku tak memiliki teman baik.

                Bermain dengan teman-teman sebaya memang menyenangkan, tapi “teman baik” dan “teman sebaya” itu berbeda.

             Kemarin, aku melihat episode terakhir dari anime kesukaanku, “Bertarunglah, Wonderful Guy!”. Pada awalnya, Wonderful Guy bertarung sendiri. Meski dia dikalahkan berulang kali, tapi karena dia memiliki keberanian dan tak pernah menyerah, dia terus bertarung.

                “Jika kau tak mengambil satu langkah maju, jalan takkan terbuka untukmu.”

                Itulah yang dia katakan dan terus bertarung. Lalu orang-orang lain mulai merasakan keberaniannya dan perlahan-lahan, mereka menjadi temannya. Karena itulah di saat akhir, di saat dia terlihat akan kalah dari orang jahat, dia tak pernah berhenti percaya kalau temannya akan datang untuk menyelamatkannya.

                Tapi, aku tak memiliki keberanian seperti wonderful guy dan teman baik sepertinya. Jadi aku sangat merasa iri.


                Aku jadi berharap saat besar nanti, memiliki teman-teman sesungguhnya dan dapat dipercaya.

Percaya Pada Seseorang


31 Maret 2016

                “Percaya pada seseorang” itu kalimat yang sangat aneh bukan?
                Soalnya, jika kau benar-benar percaya pada seseorang, kau tak perlu mengatakan “Aku percaya padamu”, kan?
                Seperti kita percaya pada udara.

                Jadi maksudmu karena ada keraguan makanya kau mengatakan percaya?
                Tapi bukan berarti “percaya pada sesuatu” itu seperti berbohong.


                “Percaya” itu seperti kata kunci utama untuk ingin percaya pada sesuatu.

Curahan Hati Mahasiswa KKN




               Balada mahasiswa akhir adalah adanya suatu momen bernama KKN, dua bulan di tanah orang yang belum kita tahu itu rasanya…..?

                Pas pertama kali nerima buku ini dari seorang kawan, kupikir isinya bakalan kumpulan tulisan banyak orang yang dibukukan. Dan ternyata tidak sob, itu tulisan satu orang tentang pengalaman doi ketika kkn dulu.

                Dikemas dengan bahasa renyah dan desain-desain yang well, aku ngerasa ikut membayangkan bagaimana “adegan” anak kkn di tanah orang. Ya begitulah, sempat mesam mesem sendiri ketika kubaca ceritanya.

                For me, sangat menyarankan banget bagi yang sudah kkn ataupun mau kkn untuk punya dan baca ini buku, soalnya bisa jadi hiburan sekaligus pelajaran (beberapa untuk bernostalgia)
               
                Do you wanna have one?


Yang mau punya, bisa bilang ke irkham ya, nanti tak bilangin ke penulisnya.

Senin, 28 Maret 2016

Jumat, 25 Maret 2016

Kota Tanpa Diriku

25 Maret 2016

Saat aku sudah dewasa dan bisa pergi kemana saja sendirian, aku ingin pergi ke tempat yang sangat jauh.

Aku ingin pergi ke pulau yang sangat jauh.
Aku ingin pergi ke pulau dimana tak ada seorang pun.
Aku ingi pergi ke pulau yang tak ada hal yang menyakitkan dan menyedihkan.

 Di pulau itu tak ada orang dewasa, anakkecil, teman kelas, guru ataupun ibuku.
Di pulau itu, saat aku ingin memanjat pohon, aku akan memanjatnya.
Saat aku ingin berenang, aku akan berenang di laut
Saat aku ingin tidur, aku akan tidur.

Di pulau itu, aku memikirkan kota dimana hanya aku yang tak ada.
Anak anak pergi ke sekolah seperti biasanya.
Orang dewasa pergi bekerja seperti biasanya.
Ibu makan seperti biasanya.

Saat aku memikirkan tentang kota yang tanpa diriku, hatku merasa lega.
Aku ingin pergi jauh, sejauh mungkin.


Boku dake ga inai machi

Karena Kita Manusia


24 Maret 2016

                Apa yang sedang coba saya  sampaikan kepadamu adalah bahwa kita manusia. Dan manusia terbatas dalam melakukan apa yang kita bisa. Aku pikir arogan jika kamu menganggap bahwa semua yang terjadi adalah semuanya salahmu.


                Jika kau tetap berpikir buruk, dia akan memakanmu hidup-hidup.

Kau Pernah Berhubungan dengan Dewa?


24 Maret 2016
Perpusat UGM – Klub Kamis

                Dewa itu sibuk, ada banyak urusan yang harus dia kerjakan.  Dia menjadi tempat bergantung banyak orang. Mengetuai kegiatan ini itu, mengkoordinir ini macam, memobilisasi ribuan manusia, mengarahkan mereka menuju tujuan mulia.

                Dewa itu tak punya waktu. Ia telah melakukan segalanya untuk hal-hal di bawahnya, jangan berpikir ada dewa yang menyuci piring, membereskan kamar, mau menanggapi di grup, menjawab pertanyaanmu. Bahkan mungkin dibaca saja tidak. Bukan levelnya dewa untuk melakukan hal remeh temeh seperti itu.

                Dewa itu sibuk.


Dan kabar buruknya karena diriku sering kecewa dengan mereka, aku jadi mulai bertingkah seperti dewa meskipun aku manusia.

Rabu, 23 Maret 2016

Dunia yang Melupakanmu


23 Maret 2016

                “Kau siapa?” tanya seseorang kepada lelaki yang ada di hadapannya.
                ***

                Bagaimana jika kau telah merasa memberikan segalanya, menghabiskan waktu untuk memikirkannya, berjuang keras untuk meraihnya, hingga berdarah-darah untuk menggapainya namun akhirnya hanya ditutup dengan satu pertanyaan. Kau siapa?

                 Plis, kalau kau mengira aku sedang berbicara tentang lelaki dan perempuan, aku bilang tebakanmu tidak tepat. Kali ini hanya ingin merenung sejenak.

                Tentang Kita dan Dunia.

                Selepas apel pagi senin kemarin, seorang kawan yang kebetulan menjadi pembina apel mengutarakan tentang banyak hal. Sampai detik tulisan ini selesai kutulis, aku bahkan lupa dengan apa saja yang disampaikannya. Penampilannya begitu sederhana, gesture bicaranya juga begitu santai, kedua tanganya ia saling ia masukkan di sela-sela lubang lengan jaketnya. Dan yang kuingat tentang ucapannya adalah tentang dunia.

                Aku menyebutnya, Dunia yang melupakanmu.

                Pertanyaan yang muncul sama seperti bagian awal tulisan ini. Bagaimana jika ternyata kita telah memberikan segalanya untuk mengejar dunia, menggapainya dan hampir menghabiskan seluruh waktu kita untuk meraih dunia. Namun pada akhirnya, dunia tidak mengingat kita sama sekali.

                Aku membayangkan ketika kelak diriku menjadi tua, dengan segala yang kupunyai tengah terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Apa yang terakhir akan kupikirkan kala itu?

                Dan ketika nafas terakhir telah lepas dari raga, apakah ternyata dunia yang selama ini mungkin kukejar akan memberikan manfaat? Atau setidaknya akan mengingatku? Bahwa aku pernah terlahir di dunia dan mengejar dunia.

                Berapa si paling lama kita diingat oleh dunia? Paling banter kita akan diingat oleh anak cucu kita. Ya, mungkin setelah anak dari cicitku, ketika ditanya siapa irkham maulana? Apakah mereka akan tahu bahwa orang itu adalah ayah dari kakek mereka? Paling banter lagi mereka hanya akan ingat namamu. Hanya itu.

                Dunia memang pada akhirnya akan melupakanku, jadi bukankah seharusnya aku tidak terlalu memikirkan dengan berat dunia pula?

Tulisan random yang ditulis karena takut terlupa, barangkali strukturnya berantakan tapi yasudahlah :3

                 

Selasa, 22 Maret 2016

Daripada


22 Maret 2016

                Angin dari sawah melintas melalui balkon rumah. Sejak sepulang sekolah tadi, Lana telah duduk santai menatap buku dengan sebungkus cemilan. Sesekali pandangannya terhenti dari buku, mengubah arahnya ke sawah di depan rumah. Bagi Lana, mengamati padi yang masih hijau bagai menonton tarian liuk-liuk persembahan dari alam.

                “Lana, dari tadi kakak lihat kau fokus banget dan tampak begitu nikmati baca bukunya.” Kak Rehan yang sejak daritadi bermain basket di halaman rumah sekarang mendekat. Ia pelan-pelan mengusap rambut hitam Lana.

                “Iya bagus, Kak. Lana pingin bisa menulis seperti penulis buku ini.”
                ***

                Gadis kecil berambut pony tail tampak serius menggerakkan jemari di atas kertas. Beberapa kali ia melemparkan kertas berisi tulisan yang telah diremas ke dalam tong sampah. Bahkan hampir separuh tempat sampah terisi bulatan-bulatan kertas.

                “Kamu kenapa e?”
                “Kak, coba baca ini. Bu guru mengasih tugas buat karangan. Dan ini karangan Lana.”

                Rehan menggeser kursi kemudian duduk di samping Lana. Ia mulai membaca coretan di atas kertas milik Lana.

                “Lana, tulisanmu bagus.”
                “Hmmm…”
                “Lho kok gitu?”
                “Masih jauh dan tidak mirip dengan penulis buku kemarin yang Lana baca, Kak.”

                Rehan yang daritadi menghadap meja belajar, sekarang menggeser  arah duduknya. Kakak-adik itu sekarang berhadap-hadapan. Saling memandang mata satu sama lain.

                “Daripada menulis indah seperti orang lain. Aku lebih suka kau menulis untuk dirimu sendiri. Tulisan yang sangat mewakili dirimu.” ujar Rehan sambil mengusap rambut Lana dan menepuk pundak adiknya itu.



Minggu, 20 Maret 2016

Yuk Nulis Skripsi


21 Maret 2016
Grahatama Pustaka

                Pernah nggak berpikir, kenapa tidak sedikit orang yang merasa kesulitan dengan tugas akhir masa perkuliahan ini. Aku sendiri juga agak terheran-heran waktu itu, lha wong Cuma semacam nulis penelitian kan ya, dari mana susahnya?

                “Padaha Cuma….”

                Kalimat itu terhenti ketika aku mencob mengingat apa yang kupikirkan dulu di masa kuliah-kuliah awal. Ya terhenti karena sekarang akulah yang berada di masa pengerjaan skripsi dan kuakui terdapat beberapa kesulitan.

                Aku juga pernah bertanya kepada seseorang, kenapa si sebuah skripsi bisa dikerjakan begitu cepat di tangan orang lain, tapi di waktu yang sama bisa begitu lama di tangan yang berbeda. Jawaban beliau sederhana saja.

                “Bagi mereka yang cepat, itu karena mereka segera mengerjakannya, dan bagi mereka yang lambat itu karena mereka tidak pernah memulai mengerjakannya.”

                Klasik sekali kan? Mana bisa seorang irkham maulana menerima penjelasan seperti itu? Karena tidak puas, aku bertanya memburu, berharap mendapat jawaban lebih.

                “Mungkin jawaban yang paling masuk akal bagimu adalah karena mereka merasa masih ada hari esok. Merasa bahwa mereka memiliki waktu untuk mengerjakannya kemudian hari. Menunda untuk memulai, hingga tanpa terasa satu semester sudah berlalu begitu saja tanpa ada bab yang berhasil ditulis. Penundaan kelulusan berawal dari penundaan kita dalam memulai sesuatu.”

                Aku cuma manggut-manggut.

                “Ketika kau berbicara akan mengerjakannya besok. Di besoknya pun kau akan mengatakan hal yang sama. Ini serius bukan mengada-ngada, sebuah penundaan akan beranak pinak, menggerogoti hal-hal terpenting dalam hidup kita.”

                “Iya si, dengan menunda kita berasa berkuasa, seolah menjadi raja karena bisa melakukan sesuai kehendak, tapi ya itu, raja hanya dipikiran kata, nyatanya kita menjadi budak tak berdaya tanpa kita sadari.


                “Hari ini cukup itu dulu ya, nanti kalau aku mengajarkan kau banyak malah nggak masuk satu pun. Daripada dengerin ngomong gini, mending langsung gih kham kau buka jurnal, buka laptop, dan langsung mulai tulis bab satu dulu. Pendahuluan.”

Sabtu, 19 Maret 2016

Suatu Hari Bernama Kamis


19 Maret 2016

                Dia bernama kamis, satu dari tujuh hari dalam seminggu. Kamis merasa begitu spesial karena dirinya dinantikan oleh seseorang, setidaknya untuk beberapa bulan ini. Tiap kamis akan ada beberapa anak dalam satu geng yang duduk melingkar, membicarakan banyak hal terutama tulisan-tulisan masing-masing dari geng tersebut. Beberapa pertemuan di kami situ memang masih membahas tentang karya masing-masing dan saling mengoreksi satu sama lain.  Satu orang bercerita tentang bagaimana pintu yang tertutup, satu lagi telah wisuda bulan kemarin, dan salah satu yang lain ia tengah melalangbuana di negeri tetangga, Singapura.

                Beberapa yang lain, hadir untuk menemui kamis dengan keunikan masing-masing. Entah kenapa dari tujuh hari yang tersedia, orang-orang ini memilih kamis untuk jadi waktu bersua. Tempatnya bisa di mana saja, UNY, Perikanan, KPFT tapi tetap saja kamis di balairung menjadi spot paling default dari perkumpulan anak-anak geng ini. Namun, kamis mendengar percakapan dari mereka-mereka bahwa akan ada agenda nobar untuk pertemuan minggu depan.

                Perkumpulan yang menyenangkan.

Begitu bersyukur bisa berada di kamis :)
                ***

                Hari itu bernama kamis. Ia kadang bingung melihat salah satu anak geng yang mengecek rutin kotak sejuta mimpi milik mereka bersama. Menanti kelahiran bayi-bayi mungil huruf bersusun yang dipenuhi mutiara dan impian-impian mereka. Kadang rutin kelahirannya, kadang juga musti ditunggu dengan sabar keluar bayi dari sarangnya.
                ***

                Sejatinya begitu menyenangkan ketika kita bisa mengenal satu sama lain dalam klub ini. Saling “membantai” buah-buah dari pohon pikiran kita. Begitu pasrah ketika ini dibilang tulisan apa, atau justru melakukan pembelaan terhadap semua serangan yang bertubi-tubi. #agak alay.

                Tapi kadang juga merasa sedih, bukan karena hari yang bernama kamis, tapi karena aku jadi tak bisa bertemu dengan senin maupun jumat. Tak tahu kabar dua hari itu, tak pernah bertemu mereka lagi.

Apakah ketika ada yang mendekat, harus selalu ada yang menjauh?

                   



Kamis, 17 Maret 2016

Jangan Pernah Menanyakan


17 Maret 2016

                Masing-masing dari kami telah berbenah-benah untuk pulang. Klub sore ini akan diakhiri setelah puas membahas tiga judul sekaligus. Bahasa Cinta, Doppelganger dan yang terakhir manusia berkepala naga.

                Next week akan dilanjutkan dengan menonton film bersama. Semoga.
                Geng kamis beranjak pulang.

                ***
                “Zah, apa peppi itu emang orangnya always stay calm gtu ya?” sebuah pesan terlayang.
                “Maksudnya gmna?”
                “Tenang, gak gampang panik. Santai.”

                Tak lama barang dua menit kemudian, sebuah pesan masuk dari peppi.

                “Eh… kamu ngapain nanya-nanya Azizah? :D “

                Mendadak suasana di dalam kamar menjadi hening meskipun di dalamnya hanya ada satu manusia.
                ***

                Cerita kali ini ingin kututup sebuah nasehat. Tidak biasanya aku ngasih nasehat tho?

                “Jangan pernah nanya tentang sifat seseorang kepada teman dekatnya. Karena ddia akan memberitahu kepada orang yang dimaksud bahwa kau menanyakan sesuatu tentangnya.


Kamis, 10 Maret 2016

Minggu, 06 Maret 2016

Mendefinisikan


6 Maret 2016


                Tanpa sadar, hidup jadi terbiasa mendefinisikan. Berkata itu baik, sedang yang lain tidak. Yang baik itu harusnya yang seperti ini dan itu, lainnya yang bukan masuk ini itu berarti buruk.

                Kita terbiasa berjalan menengok kiri dan kanan, atas dan bawah. Kalau untuk bersimpati, peduli dan mengambil pelajaran si oke oke aja, bagus malahan. Tapi kan seringnya kita tidak begitu, terutama diriku. Menengok kiri kanan untuk membandingkan siapa yang terbaik, berseru iri, menghadap ke atas hanya untuk mengharapkan apa-apa yang tidak ada dalam diri. Menunduk ke bawah untuk kemudian langsung berseru dalam hati, “aku lebih baik.”

                Sampai-sampai lupa bahwa perjalanan panjang masih membentang di depan. Ya, depan. Bukan kiri kanan atas bawah, ia ada di depanmu.

                Kham.
                Bukankah kau merindukan hari dimana ketika kau menoleh, ada tangan yang kau gandeng, tidak hanya satu, banyak orang untuk berjalan bersama-sama? Kalau kau masih saja sibuk mendefinisikan apa arti terbaik, siapa yang lebih baik, atau seperti apa si terbaik itu, maka mungkin tak ada yang akan menyambut uluran tanganmu. Atau bahkan lebih buruknya lagi, jangan jangan engkau justru yang enggan mengulurkan tangan.

                Kham.
                Berhentilah mendefinisikan siapa orang lain yang kau temui sekarang. Membandingkan dirimu dengan dirinya. Kehidupanmu dengan kehidupannya, temanmu dan temannya. Berhentilah. Karena kalau kau melakukannya, bukankah kau menjadi orang yang paling tidak adil terhadap dirimu sendiri. Bagaimana tidak? Kau membandingkan apa  yang kau tidak punya dengan apa yang orang lain punya. Minus kau bandingkan dengan plus, bagaimana bisa-bisanya?

                Akan jauh lebih baik, sekali lagi untuk kau mengulurkan tangan?

                Temanku pernah berkata, bahwa tak ada keuntungan sedikitpun dari yang namanya membandingkan orang lain. Jika dia di atasmu, kau akan merasa rendah diri, dan jika dia di bawahmu, maka kau akan diliputi kesombongan.

                Kham.
                Aku ingin berpesan satu lagi padamu, urusan kau menerimanya atau tidak, itu jelas bukan urusanku.

                Berhentilah mendefinisikan siapa dirimu. Hapus semua ingatan tentang siapa Irkham dalam dirimu. Irkham itu orangnya gini lah, gitulah, pendiamlah, tak pandai ketemu oranglah, introvertlah. Dan –lah –lah yang lain.

                Apa kau sendiri yakin itu dirimu? Atau jangan-jangan hanya yang kau yakini sebagai dirimu? Aku takutnya itu justru membatasi dirimu.

                Lakukan saja, dan jangan khawatirkan nantinya. Entah itu sesuai dengan dirimu atau tidak.
                Lakukan saja.
                Lakukan saja.
               


Jumat, 04 Maret 2016

Hadiah Setelah Hujan


3 Maret 2016

                Hujan lebat pagi itu, dan kami pun tidak bisa keluar seperti biasa. Aku hanya duduk bersila, menikmati rintik hujan dari pintu belakang. Menyandarkan punggung sembari memegang buku Eka Kurniawan. “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi”.

                Apa buku itu aku baca? Tidak. Aku menutupnya bersamaan dengan menutup mataku, menikmati aliran semilir bercampur tetes hujan. Aku menikmatinya, padahal pagi itu masih dalam agenda tahsin.

                “Ada pelangi di sebelah barat”. Pesan itu ada di WA sebuah grup.

                Keluar, duduk di dinding pagar.

Menatap barat.

Rabu, 02 Maret 2016

Hadiah Ulang Tahun


3 Maret 2016

                Lana memandang kalender di meja kamar, mengamati barangkali ada tanggal-tanggal khusus yang ia tandai, barangkali ada hari hari yang begitu spesial di antara tiap harinya spesialnya. Hari ini, di tanggal ini, angka yang tertera dikelilingi lingkaran merah.  
                ***

                “Kakak lihat pas siang tadi kau begitu riang, kok tiba-tiba malam-malam gini kau murung Na? Duduk sendirian di teras rumah, mirip orang kesambet aja.”

                Gadis kecil itu hanya menoleh, dari sudut matanya bulir-bulir air mulai menetes.

                “Lho kok malah nangis?”
                “Kak…”
                ***

                Hari ini ulang tahun Rehan. Lana telah berkeliling pasar untuk mencari hadiah terbaik ulang tahun kakaknya. Begitu lama dan semangat gadis itu mencari. Dari satu toko, ia hinggap ke toko lain. Pilah ini-pilah yang lain. Sampai tak terasa hari telah menjelang sore.

                “Ini aja bagus. Bu, ini berapa harganya ya?”
                Penjual itu menyebutkan harga.

                Gadis kecil itu justru sibuk merogoh ransel kecil miliknya. Mencari ke semua sudut tas. Berpindah dari resleting satu, ke resleting yang lain. Ia bahkan menumpahkan seluruh isi tas untuk memastikan keberadaan barang yang ia cari. Dompet kesayangannya.

                Wajahnya sudah terlihat gusar, ia panik dan meminta maaf kepada penjaga toko. Lana lupa membawa dompet ketika berangkat tadi.
                ***

                “Maafkan Lana, Kak. Lana tidak bisa memberi sesuatu yang spesial di ulang tahun kakak.”
                “Heh? Hari ini hari ulang tahunku po?” Rehan justru menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Ia tertawa karena dirinya sendiri bahkan lupa tanggal berapa ia lahir ke dunia.

                “Sudah-sudah, Lana berhenti nangisnya ya.”
                “Tapi kan…”
                “Kau tahu, Lana sudah memberikan hadiah spesial, tidak hanya ketika hari ulang tahun kakak saja malahan, tapi tiap hari.”

                Sekarang, justru raut wajah Lana yang tampak bingung menanggapi omongan Rehan barusan.

                “Lana jadi anak yang baik, rajin mengaji, dan selalu menemani Kak Rehan pun jadi kado yang jauh lebih spesial daripada barang-barang mahal. Hayok kak Rehan gendong.”

                “Mau kemana?”
                “Kita beli es dundung, mau?”

                Tangan yang Rehan sodorkan, mendapatkan sambutan cepat dari Lana.
                

Selasa, 01 Maret 2016

Ujian Terberat

UJIAN TERBERAT
1 Maret 2016


                Ujian terberat seorang deadliner adalah ketiadaan deadline.

                Jika dalam suatu kelas, dia terbiasa mengerjakan tugas di h-1 atau bahkan di h minus beberapa jam. Tapi begitulah dia, mengerahkan segenap kemampuan ‘terbaik’nya di detik-detik akhir. Sometimes terkejar, tapi tak jarang juga berakhir dengan kata terlambat. Ada kata terlambat karena ia didahului dengan yang namanya batas waktu.

                Di dalam suatu kepanitiaan, jelas ada suatu job yang kita terima. Ada waktu-waktu yang sudah ditentukan kapan harusnya semua pekerjaan itu kelar. Atau setidaknya deadlinenya jelas ketika hari-H pelaksanaan. Tapi sekali lagi, jelas itu deadlinenya.

                Esok ketika deadline itu tiba, kita akan berseru “kenapa kita tidak mengerjakannya dari dulu”?

                Menyesal, namun kemudian terjadi pengulangan kesalahan yang sama. Bagai sebuah lingkaran setan, terus menerus mengerjakan dekat dengan batas waktu yang diberikan.

                Nah. Sekarang itu ujian terberatnya.

                Di tahun terakhir ini (aamiin ya Allah), benar-benar apa yang disebut dengan fase semua ada di dalam kendala kita. Bebas memilih apakah bersegera mengerjakan skripsi atau menonton anime dulu, menemui dosen pembimbing ataukah bersalaman dengan penjaga bioskop yang menayangkan film-film baru. Mendownload dan membaca jurnal ataukah asik menyelami dunia fiksi dan fantasi yang begitu menarik.

                Benar-benar kebebeasan.

                Dan itu bagian tersulitnya, ketika seorang deadliner sepertiku tidak ada yang mendeadlinenya. :3

                Ingatkan aku ya tentang buku baru yang harus lahir di tahun ini.
                Buku itu berjudul SKRIPSI.