Kamis, 25 Februari 2016

Evaluasi Hari ini


26 Februari 2016

*aku akan sangat senang jika ada yang mau berbagi ceritanya juga di sini



                Aku masuk ke dalam ruangan, dengan kipas kecil yang berputar berderit di meja evaluasi. Sudah ada Bang Ichsan di sana, menyilakan duduk dan memintaku menunggu barang sejenak. Ia sedang terlihat memperbaiki banyak hal. Mengetikkan sesuatu ke dalam laptop di depannya.

                Dan seperti biasa, aku tidak bisa menunggu dengan diam. Berasa jantung berdebar-debar.

                “Dari kemarin evaluasi sama mas Adi, apa yang dibilang harus diperbaiki?”
                “Network bang,”
                “Kenapa?”
                “Aku kesulitan menjaga seseorang, mengobrol dengan banyak orang, menyapa “hai” dengan orang-orang baru. Aku masih menyebutnya semacam phobia bertemu orang.”
                “Kira-kira kenapa kau bisa begitu? Tahu nggak penyebabnya?”

                Aku terdiam, melepaskan pandangan ke langit-langit. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya. Aku sebenarnya kenapa?

                “Belum nemu jawabannya, Bang”
                “Hmm….”
                “Kalau tak ingat-ingat, selama kecil aku orang yang bahkan tidak pernah berada di rumah, sepulang sekolah SD langsung melemparkan tas, seragam, makan siang dan kemudian lari entah kemana. Bermain sampai jam TPA atau maghrib menjelang. Ngaji habis maghrib dan kemudian main lagi. Seingatku aku tidak memiliki masalah itu di masa kecil.”

                “Lantas?”

                “Beranjak ke SMP, aku termasuk orang yang beruntung bisa masuk ke sekolah favorit di kecamatanku, masuk peringkat 5 besar dalam pendaftaran. Nah, tidak banyak dari sekolah SD ku yang bisa masuk ke sana, dan mulai dari itu, aku merasa aku menjadi lebih pendiam. Masuk SMA, aku justru semakin jauh dalam hal jarak, masuk  ke SMA kartini di seberang kota, jarak 20km dari rumah dan menjadi satu-satunya siswa smpku yang diterima di sana. Aku measa menjadi lebih pendiam lagi. Mungkin aku merasa khawatir kehilangan teman lagi lah jawabannya.”

                Itulah jawaban yang terpikirkan dengan sekilas, aku bahkan tidak tahu apakah jawaban itu “nyambung” dengan apa yang ditanyakan.

                Tapi ketika aku menuliskan ini sekarang, aku terpikirkan jawaban lain.

                “Nampaknya aku tidak begitu bisa menangani perkubuan-persekutuan. Ketika di SD tidak ada murid yang menggerombol sejumlah tertentu yang mainnya dengan itu-itu saja. Semua anak adalah kawan pada masa itu. Ketika  SMP, aku merasa mereka bergerombol dengan dari satu sekolah yang sama pada awalnya, dan aku mulai kesulitan. Di SMA, I’m the only wan person from my shool, jadi lebih kesulitan lagi. Dan kalau di runut lagi, aku merasakan kesulitan yang sama bahkan ketika forte latihan, ketika mereka-mereka mulai ‘bergerombol’ karena sibuk latihan, tertawa akan hal yang aku tidak tahu, saling cia cie yang aku tidak paham. Mungkin seperti itu. Aku jadi merasa sendirian.

                “Kamu di aspek spiritual Cuma ngasih nilai segini, bisa dijelaskan?”

                “Aku kesulitan bang, perihal amalan yaumi.”

                “Bagaimana itu?”
                “Zzzzzzzzzz”
                “Tadi pagi shubuhan dimana?”
                “Di asrama,”
                “Kemarin?”
                “Di Masjid depan pom bensin”
                “Banyakan mana di asrama sama di masjid?”
                “50:50”
                “Menurutmu karena apa?”
                “Zzzzzzzzz”

                “Bukan, menurutku itu karena kau tidak menganggapnya sesuatu yang penting, bukan suatu masalah, makanya kau tidak tahu penyelesaiannya. Ini juga berlaku untuk banyak hal, jika ada masalah yang serasa menggelayut dirimu di waktu yang sangat lama. Kau harus diam, bertanya pada diri sendiri dan menganalisa. Jangan-jangan karena kita tidak menganggapnya sebagai masalah. Nah gimana mau menemukan solusi kalau kita tidak menganggap masalahnya adalah masalah.”

                Aku hanya manggut-manggut.

                “Kham, kau harus tahu apa masalahmu sendiri, merunutnya ke belakang, kira-kira penyebabnya apa aja, karena kalau tidak, kau hanya akan berkutat dengan masalah-masalah itu saja. Ia akan menggelayut di dirimu seumur hidupmu. Kau tidak akan belajar dari masalah-masalah baru.”

                Kalimat itu harusnya aku sudah mengerti, tapi nampaknya saking bengalnya itu juga kudapat pas evaluasi. Terima kasih bang.

                “Leadership kau juga cuma ngisi begini, kenapa?”

                “Kalau memanage orang-orang yang berada di’bawah’ aku masih bisa, tapi ketika memanage dewa aku kesulitan. Mereka yang sudah bilang aku sibuk sebelum aku bilang apa-apa.”

                Lelaki di depanku terdiam, ia kali ini tidak ada tanda-tanda akan mengutarakan sesuatu. Manggut-manggut dengan takjim.

                “Kalau masalah knowledge?”

                “Bacaan sudah merambah ke segala buku, tapi ada satu genre yang belum ku sentuh sama sekali. Anti kalau kata orang. Politik.”
                “Kenapa kau tidak suka politik?”
                “Banyak omong.”
                “Maksudnya?”
                “Orang yang paling pandai ngomong, dia yang paling diuntungkan, entah itu padahal yang diperjuangkan tidak sepenuhnya benar, tapi karena lihati berargumentasi, ia yang menang.”

                “Dan kau hidup di antara orang politik, pemimpinmu juga berpolitik, bagaimana kau mengatasi mereka? Memutuskan lingkaran setan yang kau tidak suka itu?”

                Aku terdiam saja, terhenyak. Jujur aku tidak tahu jawabannya, tidak pernah memikirkannya sejauh itu. Aku pikir yang penting bisa berbuat terbaik di bidangku tanpa memperhatikan politik. Tapi bukankah nanti atasan-atasan bakalan berpolitik juga? Dan aku tidak punya cara untuk mengatasinya.

                Aku menggelengkan kepala.

                “Kham, aku sendiri jujur tidak menyukai politik, hukum juga. Enggan sekali aku kesana, tapi ya begitulah, jika kita tidak tahu apa-apa dan mereka tahu banyak, maka bisa dengan mudah kita dimainkan oleh mereka, dikibuli. Pajak adalah hukum, dan banyak adalah tentang hukum, nah maka dari itu aku belajar agar mengerti. Agar bisa mengoreksi kalau-kalau yang mereka ambil dan jalankan tidak seperti yang semestinya. Ibarat kalau kau ditilang, kau bisa mengelak jika kau berada di pihak benar, bisa berargumen dan tidak hanya “manut” disuruh bayar uang denda.”

                “Kham, aku pernah baca buku dan kau juga mustinya baca, judulnya Indonesia di mata orang jepang. Suatu hari ada orang jepang yang kehilangan dompetnya di  bus kota Indonesia. Nah dia punya tekad harus mendapatkan jam  juga dari bus kota.”

                “Apa dia berakhir dengan ingin mencuri juga?”

                “Aku juga pas pertama kali baca mikirnya gitu. Tapi kemudian dia mengamen, sampai uang yang terkumpul bisa dibelikan lagi untuk jam tangannya.”

                “Semacam balas dendam gitu ya?”
                “Balas dendam yang positif, dan saya suka sekali tekad macam itu.”

                “Kalau komunikasi?”
                “Kan itu ada dua ya bang, verbal sama tulisan. Kalau verbal jujur aku kesulitan, merasa gagap jika mengobrol dengan orang. Kalau tulisan sudah ada beberapa buku yang ada.”

                “Buku?”
                “Iya, boleh kutunjukan?

                Aku mengambil beberapa eksemplar buku di dalam tas hijau.
                “Yang biru dengan kucing buku kumpulan cerpen, yang hijau dengan pohon kumpulan tulisan, yang gunung dengan matahari kumpulan cerpen grup makrab forum lingkar pena, dan yang anak dengan bola dunia, kumpulan tulisan perjalanan nakula di Malaysia.”

                “Kau anak teknik tapi suka sastra gitu ya?”
                “Aku sendiri juga heran,” sambil menggaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal.

                “Menurutmu, yang masalah ngomongmu kenapa?”
                “Hmmm…. Bang nggak ngerasa dari tadi aku nggak bisa diam?”
                “Iya si, tak perhatikan tanganmu kemana-mana, kayak macam mengatasi sesuatu. Kali ini, kau harus analisa sendiri ya jawabannya, Kham.”

                “Fitness?”
                “Ya biasalah ya main basket di lantai dua, rutin pula. Pokoknya kalau njenengan semalam dengar ada orang yang loncat-loncat itu saya lagi dunk.”
                “Oh I see I see.”

                “Monggo ceritakan tentang life-goal.”

                “Pingin meraih dua, professional engineer yang bisa diriin sekolah sama bapak buku. Nah bapak buku itu ya penulis, LSM berbagi buku, perpustakaan dll gitu. Kalau sekolah pinginnya yang dia bisa mandiri dengan memanfaatkan energy dunia,”

                “Hmmm.. Oke,, kalau yang masalah buku bisa kita kesampingkan dulu, itu hobi. Nah kita fokus pada yang engineer dulu, “Backbone” mu.

                Tanganku serasa seperti berada di adegan buku yang semakin menjauh dari gapaian. So dramatic lah pas itu.

“Masuk ke RnD perusahaan, intinya yang riset gitu, nah kalau tidak di LIPI sebagai peneliti, terus lanjut ke General Electric.”

“GE ada di Indonesia,?”
“Ada, di bagian pemasarannya, kalau yang produksinya mereka di luar negeri sana.”
“And then, itu terakhir kau di sana?”
“Sepertinya iya,”

“Kham, kau tahu apa statusnya pekerja LIPI? PNS. Dan GE itu perusahaan. Kau bahkan tidak akan digubris dengan cepat bila mengajukan resign dari PNS. Itu kedua-duanya merupakan karir dan kau harus fokus di salah satunya.”

Aku terhadap masa depan masih bimbang, what I wanna be? What I want to do? And What I want be with? Aku belum bisa memikirkan jauh tentang masa depan, itu kesulitan yang benar-benar sulit.

“Kau juga harus memikirkan bagaimana menghidupi life goalmu, menyuplai finansial, ada keluarga, ada istri dan anak-anakmu. Ada yang banyak musti dipertimbangkan. Bullshit kalau itu mudah, memang sulit, dan nanti ke depannya kau bisa mengevaluasinya seiring berjalannya waktu.”

“Bang, mau nanya boleh?”
Ia mengangguk.

“Kapan kau menemukan lifegoal?”
“Akhir-akhir ini,”
“Maksudnya?”
“Pas jaman kuliah.”
“Apa sekarang sampai umur yang segini merasa sejalan dengan life-goal dulu?”
“Sejalan, aku punya lifegoal untuk berkecimpung di institusi yang pembinaan seperti ini, aku cerita ke banyak orang pas masa kuliah, kemudian bertemu dengan pak musholli dan yang lain. Istilahnya gayung bersambut.”
“Nah, di jeda antara lulus dan PPSDMS, apa yang dilakukan?”
“Aku tidak punya jeda, langsung masuk sana.”
“Semuanya berjalan lancar? Apa tidak ada side sampingan dari lifegoal tadi?”

“Nah pas kuliah aku menuliskan kalau di umur 40 tahun harus sudah bisa bebas finansial, sekarang sudah tinggal 1 semester lagi ya sebelum umur 40 tahun itu, dan kurasa memang semakin mendekati. Dulu aku menulis di umur sekian punya bisnis properti, tapi belum tahu properti macam apa yang kuingin jalani, Cuma  gambaran besar saja pokoknya. Nah kemudian, seperti yang kubilang tadi. Semacam gayung bersambut.”

Ini siapa yang wawancara siapa? Ini siapa yang mengevaluasi siapa si?

“Kham, perbaiki lifeplanmu ya, aku masih melihat kau belum bertanggung jawab atas apa yang kau buat di form ini.”

“Kham…”
“Kham…”
“Jadi apa yang kita dapat tadi?”
“Zzzzzz”
“Harusnya tadi kau menuliskan apa yang kita obrolkan tadi,”

“Maaf pak, ngrekam tanpa izin,” aku menunjukan handphone yang sejak awal telah kusembunyikan di balik laptopnya.
Dia hanya tertawa.
*****
Ternyata lupa pencet tombal start pas merekam, jadilah aku menuliskannya di sini.
Bagi kau yang membaca tulisan ini, minta tolong ingatkan aku ya?

Bila perlu tabok aja gpapa :3

*durasi evalnya hampir mendekati satu jam

THOSE DAY – EVERYDAYS


27 Februari 2016

                Hari ini berakhir dengan tetap bingung bagaimana cara mengobrol, apalagi memulai obrolan. Tapi tak mengapa.

                Masih juga merasa begitu lelah dengan rapat yang tidak seberapa, seolah merasa energy-energi menguap begitu saja, membuat badan begitu lemas hanya bisa memeluk tas. Tapi tak mengapa.

                Setiap hari, di mulai hari itu. Cukup bisikkan “its okey”

                Memang banyak kesalahan yang kubuat untuk hari ini, kuliah yang sempat terlelap, serangan ulat-ulat di perpus pusat, dan beberapa kesalahan lain.

                Tapi entah kenapa hati ini merasa lega. Tahu bahwa kita tidak harus selalu benar sejak awal memang benar-benar serasa beban di pundak dan pikiran serasa di angkat.

                Melakukan kesalahan tidak mengapa, bahkan mulai hari itu (hari forte latihan musikalisasi puisi) aku akan melakukan kesalahan-kesalahan tiap harinya. Tapi harus selalu kesalahan baru, bukan sama seperti yang kemarin.

                Hari ini tidak tahu cara memulai obrolan, besok tak coba lagi.
                Terima kasih buat semua orang yang bersedia memulai obrolan pertama kali.
               
                I won’t give up
                No, I won’t give in
                Till I reach the end
                And then I’ll start again

                No, I won’t leave,
                I wanna try everything
                I wanna try even though I could fail

                I'll keep on making those new mistakes
I'll keep on making them every day
Those new mistakes
               


Rabu, 24 Februari 2016

Tulisan yang Dihapus



                Sometimes, kita menulis ya menulis saja. Menumpahkan kegundahan, rasa gembira dan segala perasaan yang nampaknya tak tertahankan.

                Bercerita kepada kawan?

                Tak semua hal bisa diceritakan, apalagi sama manusia, mereka bisa saja menerka-nerka, menyangka yang tidak-tidak, dan justru menyimpulkan hal nyeleneh lainnya. Padahal ketika membuncah, simple yang dibutuhkan hanya orang yang mau mendengarkan.

                Kadang hanya itu.

                Pun begitulah ketika jemari-jemari meliak-liuk di atas tombol qwerty laptop dell kepunyaanku. Kadang rasanya pingin cerita ke banyak orang, tapi setelah dipikir-pikir kembali, apakah penting juga? Yang pasti penting buat diriku (sebagai obat pelampiasan), tapi bagi orang lain?

                Dan mungkin bagi yang kadang berkunjung ke rumahku dan menemukan terdapat emosi negatif dalam postingan, mohon maaf sebesar-besarnya.

                Aku tidak bermaksud menularkannya.
                Hanya kadang ya begitulah pelampiasannya, kadang hidup itu juga butuh diluapkan lho, dan media sekarang ya dengan bergumal di depan Microsoft word. Besok-besok mungkin kepada orang lain.

                Dan satu alasan lagi,
                Kenapa kadang menuliskan semuanya, itu hanya untuk menasehati diriku sendiri.
               
                Udah ah, malah ngelantur kan -_-
                Oh ya, seringnya tulisan-tulisan yang lahir juga kusimpan sendiri, biar esok lusa dapat kukenang dan mungkin bisa kutertawakan. :3

                Karena masih kesulitan nulis cerpen, tulisanku jadi random gini :3

Try Everything

I messed up tonight
I lost another fight
I still mess up but I'll just start again

I keep falling down
I keep on hitting the ground
I always get up now to see what's next

Birds don't just fly
They fall down and get up
Nobody learns without getting it won

I won’t give up, no I won’t give in
Till I reach the end
And then I’ll start again
Though I’m on the lead
I wanna try everything
I wanna try even though I could fail
I won’t give up, no I won’t give in
Till I reach the end
And then I’ll start again
No I won't leave
I wanna try everything
I wanna try even though I could fail

Oh oh oh oh
Try everything
Oh oh oh oh
Try everything
Oh oh oh oh
Try everything
Oh oh oh oh


Look how far you've come
You filled your heart with love
Baby you've done enough that cut your breath
Don't beat yourself up
Don't need to run so fast
Sometimes we come last but we did our best

I won’t give up, no I won’t give in
Till I reach the end
And then I’ll start again
Though I’m on the lead
I wanna try everything
I wanna try even though I could fail
I won’t give up, no I won’t give in
Till I reach the end
And then I’ll start again
No I won't leave
I wanna try everything
I wanna try even though I could fail

I'll keep on making those new mistakes
I'll keep on making them every day
Those new mistakes

Oh oh oh oh
Try everything
Oh oh oh oh
Try everything
Oh oh oh oh
Try everything
Oh oh oh oh

Try everything...

Selasa, 23 Februari 2016

Make A Better World



                Layar televisi masih menyala di ruang tengah, menampilkan tontonan kartun-kartun jaman dahulu. Cerita yang sama ketika aku masih kanak-kanak, tentang persahabatan, perjuangan berlari dengan mobil-mobilan, dan banyak kartun lain yang kukira jauh lebih layak untuk ditonton keluarga daripada balap-balapan motor di jalan atau cinta-cintaan. Merasa beruntung karena kartun itu masih ditayangkan kembali meskipun di channel televisi tidak terkenal.

                Gadis kecil itu sedang tengkurap menghapap kertas lebar. Ia daritadi hanya menggigit pensil dan menggores-goreskannya dengan menggoyangkan kepala, membuat ponytailnya ikut bergoyang. Ritual itu ia lakukan kala jeda iklan.

                “Kak Rehan…”

                Laptop yang sedari tadi di pangkuan aku tutup rapat, kugeser tempatku duduk di sebelah Lana. Tampak jelas bahwa adikku yang satu ini sedang bingung akan sesuatu. Buktinya goresan di atas kertas putih itu begitu tidak beraturan. Mau dibilang bola, tapi memiliki sudut, rumah? sangat tidak berbentuk rumah.

                “Gimana Lana? kau dari tadi ngapain gigit pensil gitu.”
                Lana juga beranjak dari posisi tengkurap, menyilakan kaki dan menghadap kakaknya dengan tangan tertahan di kedua lututnya. Ia goyangkan ke depan dan ke belakang mirip ayunan.

                “Huh..”
                “Kak, cita-cita itu apa si kak?”
                “Kok tiba-tiba Lana tanya begitu?”
                “Iya, ibu guru di sekolah ngasih tugas buat menggambar cita-cita kak. Cita-cita polisi, pilot, gitu ya kak?”

                “Tidak salah, tapi tidak semua cita-cita itu polisi dan pilot. Pokoknya kayak lana mau menjadi apa, melakukan apa kalau Lana besar nanti.”

                “Hmm….” Lana hanya manggut-manggut, jempol dan telunjuk ia sandarkan ke dagunya. Sedang perut ia lingkarkan dengan tangan kirinya.

                “Jadi apa cita-citamu?”
                Lana hanya diam saja, ia kemudian kembali ke posisi tengkurap. Mengambil pensil dan kuas. Ia sekarang sibuk menggambar.

                “Lana, kakak ke luar dulu sebentar ya.”
                Lana membalas dengan anggukan mantap.

                ***
                Gadis itu telah tertidur pulas di atas kertas ketika ku pulang. Tangannya masih menggengam pensil warna, pipinya bersandar di atas tangan yang disilangkan.

                “Yuk pindah kamar, di sini dingin.” Kuangkat Lana untuk kupindahkan ke kamarnya. Selembar kertas ikut menempel di pipinya. aku mengambilnya. Tertuliskan sesuatu yang adiknya cita-citakan di sana.

                “Aku akan membuat dunia yang lebih baik dengan mengajak kawan-kawan untuk tidak takut melakukan kesalahan baru tiap harinya. Terutama kakak saya.”


               



Senin, 22 Februari 2016

Lelaki yang Memandang dari Jendela Lantai Tiga




            Persendian-persendianku begitu rapuh ditelan detik-detik yang telah berlalu tak terasa. Badanku juga sudah tidak mampu untuk berdiri tegak, kalau hanya sebentar masih bisa, tapi barang sebentar kemudian pinggang kusangga dengan tangan kanan. Terduduk lagi, dan rasanya begitu lelah.

            Tapi itu sungguh tidak seberapa lelah daripada harus duduk di dekatmu. Lelah berdiriku ini sungguh tidak ada apa-apanya. Maka sekarang aku lebih memilih untuk duduk saja di bangku, memandang dirimu dari jendela lantai tiga.

            ***

            “Anda kenapa?” seorang psikiater bertanya.
"Aku tidak apa-apa, kurasa"
           
            ***
            Dia masih berdiri di sana, memakai kerudung merah dengan baju lengan panjang kotak-kotak. Warna kerudung yang begitu serasi dengan warna roknya. Memegangi gadget hitam mengobrolkan sesuatu kepada seorang laki-laki berjaket hitam.

            Tentu aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Terlalu jauh jarak antara mereka berdiri dengan lantai tiga tempatku duduk sekarang. Apalagi ada pemisah bening yang menghalau gelombang suara. Ditambah pemisah yang tak pernah kulihat, tapi itu benar benar ada.
 ***

“Mu-nya siapa?”


* Dan aku entah sejak kapan kesulitan menulis cerpen lagi, entah sejak kapan. Bahkan aku nggak ngerti calon cerpen di atas akan kuakhiri seperti apa.

Selasa, 16 Februari 2016

Jangan Menyalahkan

Jangan menyalahkan apapun dalam hidup ini.
Jika keluarga kita broken home misalnya, orang tua bercerai, maka ketika hidup kita jadi kacau balau, itu tidak bisa membuat kita merasa berhak menyalahkan orang tua. Tidak bisa, Nak. Itu benar, permasalahan orang tua baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi hidup kita, tapi jangan jadikan itu argumen. Sekolah kita berantakan misalnya, itu jelas bukan karena orang tua kita bercerai, tapi karena kita malas belajar. Kita jadi depresi, stres, itu juga bukan karena mereka, melainkan kita sendiri yang membiarkan masalahnya kemana-mana. Hei, kenapa kita tidak memilih sebaliknya? Daripada kita ikut depresi gara2 mereka, kenapa kita tidak fokus sekolah, punya nilai2 terbaik, dapat beasiswa hingga ke luar negeri, maka secepatnya, bye, adios, selamat tinggal orang tua yang bercerai, saya punya hidup baru sekarang.
Jika kita merasa situasi sekarang sangat menyebalkan, benci sekali, maka kenapa kita tidak segera mencari solusi terbaik agar segera bisa meninggalkan situasi tersebut? Jika kita pelajar, maka jelas, belajar dengan tekun, tahan banting, adalah cara paling masuk akal, bukan?
Apa kita melakukan itu? Saat kita berkeluh-kesah, saat kita marah, benci, apakah kita melakukan itu? Apakah kita fokus mulai menunjukkan kita berprestasi? Atau sebaliknya, kita hanya menjadikan semua itu argumen, menyalahkan orang lain, atas kelemahan hidup kita--yang kalaupun keluarga kita pun baik-baik saja, kita tetap malas, menunda-nunda, lebih banyak menghabiskan waktu sia-sia.
Adik-adik sekalian, pahamilah persoalan ini. Karena hidup kita, adalah kita yang menjalaninya. Hidup orang lain, silahkan orang lain menjalaninya. Bapak kita selingkuh, pergi dari rumah, keluarga hancur lebur, maka itu masalah dia. Resiko dia. Atau sebaliknya Ibu kita berkhianat, kecantol cowok lain, meninggalkan keluarganya, lagi-lagi itu masalah dia. Resiko dia sendiri. Kita? Gigit baik-baik, bisikkan berkali-kali: saya punya hidup yang lebih baik. Besok lusa, saya akan lebih dewasa, lebih mandiri, dan jelas, tidak akan membiarkan anak-anak saya jadi korban perceraian. Orang tua kita bajingan, jahat sekali melakukan sesuatu, pembohong, dsbgnya, maka itu masalah mereka. Kita punya kehidupan sendiri. Kita tidak sedang memutus hubungan keluarga, bukan itu poin catatan ini, tapi kita sedang meneguhkan: karena orang lain bisa seenak perutnya melakukan apapun, maka bukan berarti dia juga bisa seenak perut merusak masa depan kita.
Situasi ini tidak hanya berlaku untuk kasus broken home. Tapi juga berlaku untuk masalah-masalah lain. Kejadian-kejadian lain, dan kita merasa, kitalah korban dari peristiwa tersebut. Kita merasa, semua kesusahan hidup kita bersumber dari orang lain. Berhenti menyalahkan orang lain.
Apakah ini mudah dilakukan?
Tidak. Tapi bukan berarti itu impossible. Ada banyak sekali orang2 sukses, orang2 bahagia, yang bangkit dari kesedihan--yang lebih memilukan dibanding kisah hidup kita. Ada banyak sekali orang2 yang bisa melewati masalah hidup yang jauh lebih menyakitkan dibanding milik kita. Maka jika mereka bisa, kenapa kita tidak? Tutuplah bab penuh keluh-kesah, penuh kebencian, mulailah membuka bab baru yang penuh keyakinan. Lakukan sekarang.
*Tere Liye