Kamis, 25 Februari 2016

Evaluasi Hari ini


26 Februari 2016

*aku akan sangat senang jika ada yang mau berbagi ceritanya juga di sini



                Aku masuk ke dalam ruangan, dengan kipas kecil yang berputar berderit di meja evaluasi. Sudah ada Bang Ichsan di sana, menyilakan duduk dan memintaku menunggu barang sejenak. Ia sedang terlihat memperbaiki banyak hal. Mengetikkan sesuatu ke dalam laptop di depannya.

                Dan seperti biasa, aku tidak bisa menunggu dengan diam. Berasa jantung berdebar-debar.

                “Dari kemarin evaluasi sama mas Adi, apa yang dibilang harus diperbaiki?”
                “Network bang,”
                “Kenapa?”
                “Aku kesulitan menjaga seseorang, mengobrol dengan banyak orang, menyapa “hai” dengan orang-orang baru. Aku masih menyebutnya semacam phobia bertemu orang.”
                “Kira-kira kenapa kau bisa begitu? Tahu nggak penyebabnya?”

                Aku terdiam, melepaskan pandangan ke langit-langit. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya. Aku sebenarnya kenapa?

                “Belum nemu jawabannya, Bang”
                “Hmm….”
                “Kalau tak ingat-ingat, selama kecil aku orang yang bahkan tidak pernah berada di rumah, sepulang sekolah SD langsung melemparkan tas, seragam, makan siang dan kemudian lari entah kemana. Bermain sampai jam TPA atau maghrib menjelang. Ngaji habis maghrib dan kemudian main lagi. Seingatku aku tidak memiliki masalah itu di masa kecil.”

                “Lantas?”

                “Beranjak ke SMP, aku termasuk orang yang beruntung bisa masuk ke sekolah favorit di kecamatanku, masuk peringkat 5 besar dalam pendaftaran. Nah, tidak banyak dari sekolah SD ku yang bisa masuk ke sana, dan mulai dari itu, aku merasa aku menjadi lebih pendiam. Masuk SMA, aku justru semakin jauh dalam hal jarak, masuk  ke SMA kartini di seberang kota, jarak 20km dari rumah dan menjadi satu-satunya siswa smpku yang diterima di sana. Aku measa menjadi lebih pendiam lagi. Mungkin aku merasa khawatir kehilangan teman lagi lah jawabannya.”

                Itulah jawaban yang terpikirkan dengan sekilas, aku bahkan tidak tahu apakah jawaban itu “nyambung” dengan apa yang ditanyakan.

                Tapi ketika aku menuliskan ini sekarang, aku terpikirkan jawaban lain.

                “Nampaknya aku tidak begitu bisa menangani perkubuan-persekutuan. Ketika di SD tidak ada murid yang menggerombol sejumlah tertentu yang mainnya dengan itu-itu saja. Semua anak adalah kawan pada masa itu. Ketika  SMP, aku merasa mereka bergerombol dengan dari satu sekolah yang sama pada awalnya, dan aku mulai kesulitan. Di SMA, I’m the only wan person from my shool, jadi lebih kesulitan lagi. Dan kalau di runut lagi, aku merasakan kesulitan yang sama bahkan ketika forte latihan, ketika mereka-mereka mulai ‘bergerombol’ karena sibuk latihan, tertawa akan hal yang aku tidak tahu, saling cia cie yang aku tidak paham. Mungkin seperti itu. Aku jadi merasa sendirian.

                “Kamu di aspek spiritual Cuma ngasih nilai segini, bisa dijelaskan?”

                “Aku kesulitan bang, perihal amalan yaumi.”

                “Bagaimana itu?”
                “Zzzzzzzzzz”
                “Tadi pagi shubuhan dimana?”
                “Di asrama,”
                “Kemarin?”
                “Di Masjid depan pom bensin”
                “Banyakan mana di asrama sama di masjid?”
                “50:50”
                “Menurutmu karena apa?”
                “Zzzzzzzzz”

                “Bukan, menurutku itu karena kau tidak menganggapnya sesuatu yang penting, bukan suatu masalah, makanya kau tidak tahu penyelesaiannya. Ini juga berlaku untuk banyak hal, jika ada masalah yang serasa menggelayut dirimu di waktu yang sangat lama. Kau harus diam, bertanya pada diri sendiri dan menganalisa. Jangan-jangan karena kita tidak menganggapnya sebagai masalah. Nah gimana mau menemukan solusi kalau kita tidak menganggap masalahnya adalah masalah.”

                Aku hanya manggut-manggut.

                “Kham, kau harus tahu apa masalahmu sendiri, merunutnya ke belakang, kira-kira penyebabnya apa aja, karena kalau tidak, kau hanya akan berkutat dengan masalah-masalah itu saja. Ia akan menggelayut di dirimu seumur hidupmu. Kau tidak akan belajar dari masalah-masalah baru.”

                Kalimat itu harusnya aku sudah mengerti, tapi nampaknya saking bengalnya itu juga kudapat pas evaluasi. Terima kasih bang.

                “Leadership kau juga cuma ngisi begini, kenapa?”

                “Kalau memanage orang-orang yang berada di’bawah’ aku masih bisa, tapi ketika memanage dewa aku kesulitan. Mereka yang sudah bilang aku sibuk sebelum aku bilang apa-apa.”

                Lelaki di depanku terdiam, ia kali ini tidak ada tanda-tanda akan mengutarakan sesuatu. Manggut-manggut dengan takjim.

                “Kalau masalah knowledge?”

                “Bacaan sudah merambah ke segala buku, tapi ada satu genre yang belum ku sentuh sama sekali. Anti kalau kata orang. Politik.”
                “Kenapa kau tidak suka politik?”
                “Banyak omong.”
                “Maksudnya?”
                “Orang yang paling pandai ngomong, dia yang paling diuntungkan, entah itu padahal yang diperjuangkan tidak sepenuhnya benar, tapi karena lihati berargumentasi, ia yang menang.”

                “Dan kau hidup di antara orang politik, pemimpinmu juga berpolitik, bagaimana kau mengatasi mereka? Memutuskan lingkaran setan yang kau tidak suka itu?”

                Aku terdiam saja, terhenyak. Jujur aku tidak tahu jawabannya, tidak pernah memikirkannya sejauh itu. Aku pikir yang penting bisa berbuat terbaik di bidangku tanpa memperhatikan politik. Tapi bukankah nanti atasan-atasan bakalan berpolitik juga? Dan aku tidak punya cara untuk mengatasinya.

                Aku menggelengkan kepala.

                “Kham, aku sendiri jujur tidak menyukai politik, hukum juga. Enggan sekali aku kesana, tapi ya begitulah, jika kita tidak tahu apa-apa dan mereka tahu banyak, maka bisa dengan mudah kita dimainkan oleh mereka, dikibuli. Pajak adalah hukum, dan banyak adalah tentang hukum, nah maka dari itu aku belajar agar mengerti. Agar bisa mengoreksi kalau-kalau yang mereka ambil dan jalankan tidak seperti yang semestinya. Ibarat kalau kau ditilang, kau bisa mengelak jika kau berada di pihak benar, bisa berargumen dan tidak hanya “manut” disuruh bayar uang denda.”

                “Kham, aku pernah baca buku dan kau juga mustinya baca, judulnya Indonesia di mata orang jepang. Suatu hari ada orang jepang yang kehilangan dompetnya di  bus kota Indonesia. Nah dia punya tekad harus mendapatkan jam  juga dari bus kota.”

                “Apa dia berakhir dengan ingin mencuri juga?”

                “Aku juga pas pertama kali baca mikirnya gitu. Tapi kemudian dia mengamen, sampai uang yang terkumpul bisa dibelikan lagi untuk jam tangannya.”

                “Semacam balas dendam gitu ya?”
                “Balas dendam yang positif, dan saya suka sekali tekad macam itu.”

                “Kalau komunikasi?”
                “Kan itu ada dua ya bang, verbal sama tulisan. Kalau verbal jujur aku kesulitan, merasa gagap jika mengobrol dengan orang. Kalau tulisan sudah ada beberapa buku yang ada.”

                “Buku?”
                “Iya, boleh kutunjukan?

                Aku mengambil beberapa eksemplar buku di dalam tas hijau.
                “Yang biru dengan kucing buku kumpulan cerpen, yang hijau dengan pohon kumpulan tulisan, yang gunung dengan matahari kumpulan cerpen grup makrab forum lingkar pena, dan yang anak dengan bola dunia, kumpulan tulisan perjalanan nakula di Malaysia.”

                “Kau anak teknik tapi suka sastra gitu ya?”
                “Aku sendiri juga heran,” sambil menggaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal.

                “Menurutmu, yang masalah ngomongmu kenapa?”
                “Hmmm…. Bang nggak ngerasa dari tadi aku nggak bisa diam?”
                “Iya si, tak perhatikan tanganmu kemana-mana, kayak macam mengatasi sesuatu. Kali ini, kau harus analisa sendiri ya jawabannya, Kham.”

                “Fitness?”
                “Ya biasalah ya main basket di lantai dua, rutin pula. Pokoknya kalau njenengan semalam dengar ada orang yang loncat-loncat itu saya lagi dunk.”
                “Oh I see I see.”

                “Monggo ceritakan tentang life-goal.”

                “Pingin meraih dua, professional engineer yang bisa diriin sekolah sama bapak buku. Nah bapak buku itu ya penulis, LSM berbagi buku, perpustakaan dll gitu. Kalau sekolah pinginnya yang dia bisa mandiri dengan memanfaatkan energy dunia,”

                “Hmmm.. Oke,, kalau yang masalah buku bisa kita kesampingkan dulu, itu hobi. Nah kita fokus pada yang engineer dulu, “Backbone” mu.

                Tanganku serasa seperti berada di adegan buku yang semakin menjauh dari gapaian. So dramatic lah pas itu.

“Masuk ke RnD perusahaan, intinya yang riset gitu, nah kalau tidak di LIPI sebagai peneliti, terus lanjut ke General Electric.”

“GE ada di Indonesia,?”
“Ada, di bagian pemasarannya, kalau yang produksinya mereka di luar negeri sana.”
“And then, itu terakhir kau di sana?”
“Sepertinya iya,”

“Kham, kau tahu apa statusnya pekerja LIPI? PNS. Dan GE itu perusahaan. Kau bahkan tidak akan digubris dengan cepat bila mengajukan resign dari PNS. Itu kedua-duanya merupakan karir dan kau harus fokus di salah satunya.”

Aku terhadap masa depan masih bimbang, what I wanna be? What I want to do? And What I want be with? Aku belum bisa memikirkan jauh tentang masa depan, itu kesulitan yang benar-benar sulit.

“Kau juga harus memikirkan bagaimana menghidupi life goalmu, menyuplai finansial, ada keluarga, ada istri dan anak-anakmu. Ada yang banyak musti dipertimbangkan. Bullshit kalau itu mudah, memang sulit, dan nanti ke depannya kau bisa mengevaluasinya seiring berjalannya waktu.”

“Bang, mau nanya boleh?”
Ia mengangguk.

“Kapan kau menemukan lifegoal?”
“Akhir-akhir ini,”
“Maksudnya?”
“Pas jaman kuliah.”
“Apa sekarang sampai umur yang segini merasa sejalan dengan life-goal dulu?”
“Sejalan, aku punya lifegoal untuk berkecimpung di institusi yang pembinaan seperti ini, aku cerita ke banyak orang pas masa kuliah, kemudian bertemu dengan pak musholli dan yang lain. Istilahnya gayung bersambut.”
“Nah, di jeda antara lulus dan PPSDMS, apa yang dilakukan?”
“Aku tidak punya jeda, langsung masuk sana.”
“Semuanya berjalan lancar? Apa tidak ada side sampingan dari lifegoal tadi?”

“Nah pas kuliah aku menuliskan kalau di umur 40 tahun harus sudah bisa bebas finansial, sekarang sudah tinggal 1 semester lagi ya sebelum umur 40 tahun itu, dan kurasa memang semakin mendekati. Dulu aku menulis di umur sekian punya bisnis properti, tapi belum tahu properti macam apa yang kuingin jalani, Cuma  gambaran besar saja pokoknya. Nah kemudian, seperti yang kubilang tadi. Semacam gayung bersambut.”

Ini siapa yang wawancara siapa? Ini siapa yang mengevaluasi siapa si?

“Kham, perbaiki lifeplanmu ya, aku masih melihat kau belum bertanggung jawab atas apa yang kau buat di form ini.”

“Kham…”
“Kham…”
“Jadi apa yang kita dapat tadi?”
“Zzzzzz”
“Harusnya tadi kau menuliskan apa yang kita obrolkan tadi,”

“Maaf pak, ngrekam tanpa izin,” aku menunjukan handphone yang sejak awal telah kusembunyikan di balik laptopnya.
Dia hanya tertawa.
*****
Ternyata lupa pencet tombal start pas merekam, jadilah aku menuliskannya di sini.
Bagi kau yang membaca tulisan ini, minta tolong ingatkan aku ya?

Bila perlu tabok aja gpapa :3

*durasi evalnya hampir mendekati satu jam

0 komentar:

Posting Komentar