26 Februari 2016
*aku akan sangat senang jika ada yang mau berbagi ceritanya juga di sini
*aku akan sangat senang jika ada yang mau berbagi ceritanya juga di sini
Aku
masuk ke dalam ruangan, dengan kipas kecil yang berputar berderit di meja
evaluasi. Sudah ada Bang Ichsan di sana, menyilakan duduk dan memintaku
menunggu barang sejenak. Ia sedang terlihat memperbaiki banyak hal. Mengetikkan
sesuatu ke dalam laptop di depannya.
Dan
seperti biasa, aku tidak bisa menunggu dengan diam. Berasa jantung
berdebar-debar.
“Dari
kemarin evaluasi sama mas Adi, apa yang dibilang harus diperbaiki?”
“Network
bang,”
“Kenapa?”
“Aku
kesulitan menjaga seseorang, mengobrol dengan banyak orang, menyapa “hai”
dengan orang-orang baru. Aku masih menyebutnya semacam phobia bertemu orang.”
“Kira-kira
kenapa kau bisa begitu? Tahu nggak penyebabnya?”
Aku
terdiam, melepaskan pandangan ke langit-langit. Mencoba mencari jawaban atas
pertanyaannya. Aku sebenarnya kenapa?
“Belum
nemu jawabannya, Bang”
“Hmm….”
“Kalau
tak ingat-ingat, selama kecil aku orang yang bahkan tidak pernah berada di
rumah, sepulang sekolah SD langsung melemparkan tas, seragam, makan siang dan
kemudian lari entah kemana. Bermain sampai jam TPA atau maghrib menjelang.
Ngaji habis maghrib dan kemudian main lagi. Seingatku aku tidak memiliki
masalah itu di masa kecil.”
“Lantas?”
“Beranjak
ke SMP, aku termasuk orang yang beruntung bisa masuk ke sekolah favorit di
kecamatanku, masuk peringkat 5 besar dalam pendaftaran. Nah, tidak banyak dari
sekolah SD ku yang bisa masuk ke sana, dan mulai dari itu, aku merasa aku
menjadi lebih pendiam. Masuk SMA, aku justru semakin jauh dalam hal jarak,
masuk ke SMA kartini di seberang kota,
jarak 20km dari rumah dan menjadi satu-satunya siswa smpku yang diterima di
sana. Aku measa menjadi lebih pendiam lagi. Mungkin aku merasa khawatir
kehilangan teman lagi lah jawabannya.”
Itulah
jawaban yang terpikirkan dengan sekilas, aku bahkan tidak tahu apakah jawaban
itu “nyambung” dengan apa yang ditanyakan.
Tapi
ketika aku menuliskan ini sekarang, aku terpikirkan jawaban lain.
“Nampaknya aku tidak begitu bisa menangani
perkubuan-persekutuan. Ketika di SD tidak ada murid yang menggerombol sejumlah
tertentu yang mainnya dengan itu-itu saja. Semua anak adalah kawan pada masa
itu. Ketika SMP, aku merasa mereka
bergerombol dengan dari satu sekolah yang sama pada awalnya, dan aku mulai
kesulitan. Di SMA, I’m the only wan person from my shool, jadi lebih kesulitan
lagi. Dan kalau di runut lagi, aku merasakan kesulitan yang sama bahkan ketika
forte latihan, ketika mereka-mereka mulai ‘bergerombol’ karena sibuk latihan,
tertawa akan hal yang aku tidak tahu, saling cia cie yang aku tidak paham. Mungkin
seperti itu. Aku jadi merasa sendirian.
“Kamu di aspek spiritual Cuma ngasih nilai
segini, bisa dijelaskan?”
“Aku
kesulitan bang, perihal amalan yaumi.”
“Bagaimana
itu?”
“Zzzzzzzzzz”
“Tadi
pagi shubuhan dimana?”
“Di
asrama,”
“Kemarin?”
“Di
Masjid depan pom bensin”
“Banyakan
mana di asrama sama di masjid?”
“50:50”
“Menurutmu
karena apa?”
“Zzzzzzzzz”
“Bukan,
menurutku itu karena kau tidak menganggapnya sesuatu yang penting, bukan suatu
masalah, makanya kau tidak tahu penyelesaiannya. Ini juga berlaku untuk banyak
hal, jika ada masalah yang serasa menggelayut dirimu di waktu yang sangat lama.
Kau harus diam, bertanya pada diri sendiri dan menganalisa. Jangan-jangan
karena kita tidak menganggapnya sebagai masalah. Nah gimana mau menemukan
solusi kalau kita tidak menganggap masalahnya adalah masalah.”
Aku
hanya manggut-manggut.
“Kham,
kau harus tahu apa masalahmu sendiri, merunutnya ke belakang, kira-kira
penyebabnya apa aja, karena kalau tidak, kau hanya akan berkutat dengan
masalah-masalah itu saja. Ia akan menggelayut di dirimu seumur hidupmu. Kau tidak
akan belajar dari masalah-masalah baru.”
Kalimat itu harusnya aku sudah mengerti,
tapi nampaknya saking bengalnya itu juga kudapat pas evaluasi. Terima kasih
bang.
“Leadership kau juga cuma ngisi begini,
kenapa?”
“Kalau
memanage orang-orang yang berada di’bawah’ aku masih bisa, tapi ketika memanage
dewa aku kesulitan. Mereka yang sudah bilang aku sibuk sebelum aku bilang
apa-apa.”
Lelaki
di depanku terdiam, ia kali ini tidak ada tanda-tanda akan mengutarakan
sesuatu. Manggut-manggut dengan takjim.
“Kalau
masalah knowledge?”
“Bacaan sudah merambah ke segala buku, tapi ada satu genre
yang belum ku sentuh sama sekali. Anti kalau kata orang. Politik.”
“Kenapa
kau tidak suka politik?”
“Banyak
omong.”
“Maksudnya?”
“Orang
yang paling pandai ngomong, dia yang paling diuntungkan, entah itu padahal yang
diperjuangkan tidak sepenuhnya benar, tapi karena lihati berargumentasi, ia
yang menang.”
“Dan
kau hidup di antara orang politik, pemimpinmu juga berpolitik, bagaimana kau
mengatasi mereka? Memutuskan lingkaran setan yang kau tidak suka itu?”
Aku
terdiam saja, terhenyak. Jujur aku tidak tahu jawabannya, tidak pernah
memikirkannya sejauh itu. Aku pikir yang penting bisa berbuat terbaik di
bidangku tanpa memperhatikan politik. Tapi bukankah nanti atasan-atasan bakalan
berpolitik juga? Dan aku tidak punya cara untuk mengatasinya.
Aku
menggelengkan kepala.
“Kham,
aku sendiri jujur tidak menyukai politik, hukum juga. Enggan sekali aku kesana,
tapi ya begitulah, jika kita tidak tahu apa-apa dan mereka tahu banyak, maka
bisa dengan mudah kita dimainkan oleh mereka, dikibuli. Pajak adalah hukum, dan
banyak adalah tentang hukum, nah maka dari itu aku belajar agar mengerti. Agar bisa
mengoreksi kalau-kalau yang mereka ambil dan jalankan tidak seperti yang
semestinya. Ibarat kalau kau ditilang, kau bisa mengelak jika kau berada di
pihak benar, bisa berargumen dan tidak hanya “manut” disuruh bayar uang denda.”
“Kham,
aku pernah baca buku dan kau juga mustinya baca, judulnya Indonesia di mata
orang jepang. Suatu hari ada orang jepang yang kehilangan dompetnya di bus kota Indonesia. Nah dia punya tekad harus
mendapatkan jam juga dari bus kota.”
“Apa
dia berakhir dengan ingin mencuri juga?”
“Aku
juga pas pertama kali baca mikirnya gitu. Tapi kemudian dia mengamen, sampai
uang yang terkumpul bisa dibelikan lagi untuk jam tangannya.”
“Semacam
balas dendam gitu ya?”
“Balas
dendam yang positif, dan saya suka sekali tekad macam itu.”
“Kalau
komunikasi?”
“Kan
itu ada dua ya bang, verbal sama tulisan. Kalau verbal jujur aku kesulitan,
merasa gagap jika mengobrol dengan orang. Kalau tulisan sudah ada beberapa buku
yang ada.”
“Buku?”
“Iya,
boleh kutunjukan?”
Aku
mengambil beberapa eksemplar buku di dalam tas hijau.
“Yang
biru dengan kucing buku kumpulan cerpen, yang hijau dengan pohon kumpulan
tulisan, yang gunung dengan matahari kumpulan cerpen grup makrab forum lingkar
pena, dan yang anak dengan bola dunia, kumpulan tulisan perjalanan nakula di Malaysia.”
“Kau
anak teknik tapi suka sastra gitu ya?”
“Aku
sendiri juga heran,” sambil menggaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal.
“Menurutmu,
yang masalah ngomongmu kenapa?”
“Hmmm….
Bang nggak ngerasa dari tadi aku nggak bisa diam?”
“Iya
si, tak perhatikan tanganmu kemana-mana, kayak macam mengatasi sesuatu. Kali
ini, kau harus analisa sendiri ya jawabannya, Kham.”
“Fitness?”
“Ya
biasalah ya main basket di lantai dua, rutin pula. Pokoknya kalau njenengan
semalam dengar ada orang yang loncat-loncat itu saya lagi dunk.”
“Oh
I see I see.”
“Monggo
ceritakan tentang life-goal.”
“Pingin
meraih dua, professional engineer yang bisa diriin sekolah sama bapak buku. Nah
bapak buku itu ya penulis, LSM berbagi buku, perpustakaan dll gitu. Kalau
sekolah pinginnya yang dia bisa mandiri dengan memanfaatkan energy dunia,”
“Hmmm..
Oke,, kalau yang masalah buku bisa kita kesampingkan dulu, itu hobi. Nah kita
fokus pada yang engineer dulu, “Backbone” mu.
Tanganku serasa seperti berada di adegan
buku yang semakin menjauh dari gapaian. So dramatic lah pas itu.
“Masuk ke RnD perusahaan, intinya
yang riset gitu, nah kalau tidak di LIPI sebagai peneliti, terus lanjut ke
General Electric.”
“GE ada di Indonesia,?”
“Ada, di bagian pemasarannya,
kalau yang produksinya mereka di luar negeri sana.”
“And then, itu terakhir kau di sana?”
“Sepertinya iya,”
“Kham, kau tahu apa statusnya
pekerja LIPI? PNS. Dan GE itu perusahaan. Kau bahkan tidak akan digubris dengan
cepat bila mengajukan resign dari PNS. Itu kedua-duanya merupakan karir dan kau
harus fokus di salah satunya.”
Aku
terhadap masa depan masih bimbang, what I wanna be? What I want to do? And What
I want be with? Aku belum bisa memikirkan jauh tentang masa depan, itu
kesulitan yang benar-benar sulit.
“Kau juga harus memikirkan
bagaimana menghidupi life goalmu, menyuplai finansial, ada keluarga, ada istri
dan anak-anakmu. Ada yang banyak musti dipertimbangkan. Bullshit kalau itu
mudah, memang sulit, dan nanti ke depannya kau bisa mengevaluasinya seiring
berjalannya waktu.”
“Bang, mau nanya boleh?”
Ia mengangguk.
“Kapan kau menemukan lifegoal?”
“Akhir-akhir ini,”
“Maksudnya?”
“Pas jaman kuliah.”
“Apa sekarang sampai umur yang
segini merasa sejalan dengan life-goal dulu?”
“Sejalan, aku punya lifegoal
untuk berkecimpung di institusi yang pembinaan seperti ini, aku cerita ke
banyak orang pas masa kuliah, kemudian bertemu dengan pak musholli dan yang
lain. Istilahnya gayung bersambut.”
“Nah, di jeda antara lulus dan
PPSDMS, apa yang dilakukan?”
“Aku tidak punya jeda, langsung
masuk sana.”
“Semuanya berjalan lancar? Apa tidak
ada side sampingan dari lifegoal tadi?”
“Nah pas kuliah aku menuliskan
kalau di umur 40 tahun harus sudah bisa bebas finansial, sekarang sudah tinggal
1 semester lagi ya sebelum umur 40 tahun itu, dan kurasa memang semakin
mendekati. Dulu aku menulis di umur sekian punya bisnis properti, tapi belum
tahu properti macam apa yang kuingin jalani, Cuma gambaran besar saja pokoknya. Nah kemudian,
seperti yang kubilang tadi. Semacam gayung bersambut.”
Ini
siapa yang wawancara siapa? Ini siapa yang mengevaluasi siapa si?
“Kham, perbaiki lifeplanmu ya, aku
masih melihat kau belum bertanggung jawab atas apa yang kau buat di form ini.”
“Kham…”
“Kham…”
“Jadi apa yang kita dapat tadi?”
“Zzzzzz”
“Harusnya tadi kau menuliskan apa
yang kita obrolkan tadi,”
“Maaf pak, ngrekam tanpa izin,”
aku menunjukan handphone yang sejak awal telah kusembunyikan di balik laptopnya.
Dia hanya tertawa.
*****
Ternyata
lupa pencet tombal start pas merekam, jadilah aku menuliskannya di sini.
Bagi
kau yang membaca tulisan ini, minta tolong ingatkan aku ya?
Bila
perlu tabok aja gpapa :3
*durasi evalnya hampir mendekati satu jam
*durasi evalnya hampir mendekati satu jam
0 komentar:
Posting Komentar