Sabtu, 29 Agustus 2015

Selamat Kembali Pulang

Ternyata benar. Kau pulang lebih duluan daripada diriku. Meski jarak diriku untuk pulang hanya 20Km, sedangkan dirimu harus ditempuh dengan kendaraan yang berbeda.

            Bagaimana kabarmu disana?

            Bagaimana ceritamu selama kurun waktu itu? Durasi yang begitu panjang untuk sama sekali tidak mengetahui kabarmu. Hanya bisa sedikit mengirim pesan untuk kemudian sinyal lenyap lagi dari barang kotak yang kau genggam.

            Di tiga malam terakhir ini, aku selalu melihat dirimu. Di dalam mimpi, kau sudah pulang duluan. Dan ternyata benar, kau memang lebih dulu kembali ke “rumah”. Tanah tempat beribu-ribu mahasiswa menuntut ilmu.

            Selamat kembali pulang
            Sampai berjumpa lagi di lain kesempatan.


Menulis, 30 Agustus 2015

Sabtu, 22 Agustus 2015

Bukan Milik Kita



Bagaimana jika rumah yang kita tempati, bukan milik kita sendiri. Kita hanya menumpang. Meminta izin untuk menetap beberapa waktu di suatu rumah bukan milik kita. Bagaimana jika ternyata kita tidak sanggup berdamai dengan si pemilik rumah. Tidak saling bertegur sapa, menanyakan kabar. Hanya berjumpa dengan senyum seribu bahasa. Senyum yang mungkin terlihat dipaksakan.

Bagaimana jika ternyata si pemilik rumah sudah enggan lagi berbicara kepada kita, enggan menasehati jika kita salah, lantaran kita selalu membantah apa yang mereka katakan. Sehingga si pemilik rumah memutuskan untuk diam saja.

Bukankah kita sebagai seorang yang menumpang akan merasa sedih? Atau karena saking kerasnya hati kita, kita tetap tidak mau untuk sekedar berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu. Menyadari bahwa diri ini juga kadang salah, tak peduli sudah seberapa tinggi pendidikan kita. Sebuah kesalahan akan selalu ada dalam hidup, tidakkah kita menerimanya saja? Menerima bahwa kita yang menumpang juga memiliki keterbatasan? Menerima nasehat dari si pemilik rumah dengan hati senang.

Ini baru perkara rumah.

Tempat kita berpijak sekarang, langit di atas kepala dan matahari yang selalu berjanji untuk muncul tiap pagi pun bukankah itu bukan milik kita? Seluruh isi dunia ini kepunyaan Sang Pencipta. Kita disini hanyalah orang yang menumpang dan seyogyanya sebagai orang yang menumpang, kita harusnya berlaku sopan kepada yang punya bukan?

Duhai, terkadang aku merasa sedih, karena diriku masih mendiamkan yang punya nafas ini. Merindukan perjumpaan dengan-Nya pun hanya kadang. Meski berjumpa lima kali sehari, tapi itu hanya perjumpaan yang begitu singkat karena diriku kalut dan hanyut berbagai urusan “yang ditumpangi”. Terburu-buru menyudahi pertemuan. Seolah dunia sekarang sudah menjadi milikku. Terlupa akan yang punya kehidupan. Yang Maha Kaya.

Jangankan rumah atau dunia.
Bahkan tubuh kita sendiri bukanlah milik kita


Kamis, 20 Agustus 2015

Mengisi Materi di PPSMB Geospace 2015



            “Duh, apa yang harus kusampaikan? Aku belum menyiapkan materi apa-apa terkait urgensi kontribusi pemuda terhadap kemajuan Bangsa. Ada games juga yang harus kusiapkan. Apa aku batalin saja ya?”

            Kira-kira begitulah yang kupikirkan. Aku mengkhawatirkan banyak hal tepat H-2 jam acara FGD PPSMB Geografi dilaksanakan. Risau tentang apa yang harus ku sampaikan, maklum tema yang diberikan masih sangat umum sedangkan ini adalah pengalaman pertama kali menjadi seorang fasilitator. Resah karena aku belum menyediakan games tentang kepemimpinan seperti yang diminta panitia. Sampai sempat berpikir bagaimana kalau nyatanya nanti aku hanya membisu di depan mahasiswa baru. Bagaimana jika ternyata jadi kulit “kacang” karena suara yang keluar tidak terdengar. Tidak melewati kerongkongan. Hanya terhenti seperti orang gagap. Maka jadilah muncul pikiran untuk “kabur” atau membatalkan untuk datang.

            Jam telah menunjukan pukul 13.15 dan tanpa kusadari aku telah datang ke gedung Fakultas Geografi bersama fasilitator lain. Ada cukup banyak yang datang, total 10 orang. Mas Mukharrir, Mas Pebta, Mas Ali, Mas Tyo, Mas Faisal, Mas Arfan, Mas Fahmi, Kiki Mandagi dan Aisyah.

            Kami dipandu untuk menuju ke lokasi kelompok mahasiswa baru berada.

            “Bagaimana jika nanti mereka diam saja?” bisikku dalam hati.
            Singkat kata, materi telah tersampaikan, waktu pun telah berlalu. Sesi FGD telah selesai dilaksanakan dengan penutupan sebuah cerita tentang seorang ratu dan penasehat terbaik.

            Apakah kekhawatiran ku sebelumnya terjadi? Nyatanya tidak. Apakah mereka diam saja? Justru sangat antusias. Dari binar matanya, semangat membara untuk masuk dalam lingkungan Gadjah Mada kentara terlihat. Lalu bagaimana tentang gamesnya? Aku hanya mengeluarkan kartu remi baru untuk menunjukan betapa berharganya ilmu pengetahuan. Lalu apa yang terjadi kenapa sebelumnya khawatir bahkan hampir saja memutuskan untuk tidak datang.

            Mungkin benar orang terdahulu bilang. Sembilan dari sepuluh ketakutan dan kekhawatiran datangnya dari imajinasi kita. Kita buat-buat, dipupuk hingga ia subur dan mengembang. Apa benar-benar terjadi? Nyatanya tidak.

            Ketakutan itu hal wajar. Tapi jangan sampai sebuah ketakutan menghalangimu untuk melakukan sesuatu kebaikan.



Fakultas Geografi ,20 Agustus 2015 - 15.00

Rabu, 19 Agustus 2015

Telur Goreng (Retell)



            Entah kenapa hari ini aku ingin menceritakan sepenggal kisah telur goreng ini lagi. Meskipun sebenarnya sudah pernah kutuliskan sebelumnya disini. Tapi tak apalah, ini adalah rumah ku menaruh segala pikiran, rumah untuk meluapkan kerisauan dan tempat dimana aku bisa menyembuhkan hati meski tanpa harus meminum pil obat yang pahit.

            Lana sekarang berumur kelas 3 SD. Di tiap jam pulang sekolah, ia selalu terburu-buru untuk segera pulang. Berlari dengan menggenggam gantungan tas di kedua tangannya. Tas pink bergambar Barbie. Rambutnya yang dikepang dua turut berguncang ketika ia “melarikan diri” dari sekolah.

            Ada moment tiap siang yang tidak ingin dia lewatkan? Moment memegang gadget? Oh tidak. Memasak bersama Bunda di dapur adalah sesuatu yang patut Lana nantikan. Di samping dirinya ingin belajar memasak (kata temennya kalau perempuan bisa masak itu nambah cantik wajahnya) namun yang paling  utama adalah saat dia bisa menceritakan seluruh kejadian di sekolah dengan bebas ketika bunda memasak. dan yang terpenting, Lana selalu mendapat cicipan pertama dari masakan lezat bunda.


            Telur di tangan sudah ia pecahkan dengan garpu. Dituangkan ke dalam mangkuk cembung untuk kemudian di beri sayuran serta sedikit garam. Lana aduk-aduk “adonan” telur itu hingga tercampur rata. Persis seperti yang Bunda lakukan karena Lana hafal betul cara membuat telur.

            Ia tuangkan adonan ke atas wajan yang berisi minyak goreng panas. Dibarengi dengan adegan Lana di pangku ibunya, maklum Lana masih berusia anak-anak dan tentu tingginya belum sampai untuk bisa masak di dapur dengan mandiri. Bunda yang dari tadi memegangi Lana pun tampak senyam-senyum. Tak berbicara banyak mengntruksikan ini itu, ia benar-benar ingin anak perempuannya belajar dari pengalaman.

            Telur telah disajikan di atas piring. Gigitan pertama langsung dilahap Lana.

            “Bu, bawahnya masih mentah”

            Bunda lagi-lagi tersenyum sembari mengambil potongan kecil telur goreng buatan Lana.

            “Kok bisa mentah ya Bu?”
            “Lana sayang, Lana tadi membalik telurnya atau tidak?”
            “Harus dibalik kah Bu, Lana soalnya tidak pernah melihat ibu membalik telur ketika ibu yang masak.”
            “Iya sayang, itu karena Lana tingginya masih segini” sembari memegang rambut hitam halus milik Lana.
            “Jadi Lana tidak bisa melihat Ibu selalu membalikkan telur, Ayo sayang dimakan, biar cepat tinggi, biar telurnya tidak gosong sebagian dan mentah sebagian lagi”

            Meskipun telur yang disajikan setengan mentah, sungguh tak ada yang tersisa di atas piring. Mereka habiskan sembari gelak tawa mendengar cerita Lana di sekolah pagi itu
            ***

            Itu hanya perihal telur gosong dan setengah mentah karena tidak dibalik. Lalu bagaimana jika menyangkut dengan seseorang. Menjustifikasi segolongan pihak bersalah, sebagian yang lain lebih unggul jika hanya mendapat keterangan dan informasi hanya dari satu sisi.

            Kita tidak bisa menggoreng telur jika hanya mengamati satu sisi dengan tidak memperhatikan sisi yang lain. Kita juga tidak boleh “berprasangka buruk” jika yang kita lihat baru satu sisi. Minimal diperlukan dua.

            Bisa gosong nantinya.


Minggu, 09 Agustus 2015

Lelaki Setetes Madu


                                                                   
              Pada zaman dahulu, di tanah dekat Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada konon berdirilah sebuah kerjaan kecil yang makmur sentosa. Baik dari sisi ekonomi, budaya maupun teknologi. Kerajaan tersebut bersama kerajaan Madu. Pada masa itu Madu merupakan barang yang istimewa, karena selain rasanya manis ia juga bisa dijadikan obat berbagai penyakit. Maka dinamai itupulalah kerajaan ini. Sama-sama berharga dan istimewa.

              Daerah kekuasaan yang tidak begitu luas membuat urusan raja menjadi lebih mudah untuk mengatur dan mengoyami rakyat. Hingga pada suatu haru, kerajaan kerabat bernama Sadawa dilanda wabah penyakit yang hanya mampu disembuhkan dengan air madu.

              Jalinan persaudaraan antara kerajaan Madu dan Sadawa sudah berlangsung lama. Sang Raja berinisiatif untuk membantu kerajaan tetangga. Semua rakyatnya diminta untuk menyumbangkan madu yang mereka punya sebanyak 1 gelas dan dikumpulkan ke dalam sebuah kuali besar tertutup yang mampu menampung seluruh madu tersebut.

              Teknologi yang mereka pakai untuk mengumpulkan madu cukup unik. Setiap rumah telah memiliki sebuah pipa, terhubung antara satu pipa ke pipa yang lain dan bermuara ke kuali pengumpulan. Dengan teknologi ini rakyat tidak perlu bersusah payah menuju tempat kuali utama berada. Cukup tuangkan segelas madu dan dengan sendirinya akan mengalir ke tempat tujuan.

              “Bagaimana kalau aku ganti madu ini dengan air putih saja ya, Toh  tidak ada yang tahu dan tidak apalah kalau aku memberi air di kala yang lain memberi madu. Tida begitu jelas nampak bedanya.” Gumam Ihrom di depan pipa penuangan.

              Hari penyerangan sumbangan pun tiba. Sebelum diserahkan kepada Raja Sadawa, sang Raja naik ke atas kuali menggunakan tangga untuk melihat seberapa banyak madu yang telah dikumpulkan.

              Wajah Sang  Raja tampak merah padam, ia menunduk dan menggeleng-gelengkan kepala ketika ia berjalan turun. Mengambil palu dan kemudian memecahkan kuali tersebut.

              Semua yang keluar dari dalam kuali hanya air putih. Tidak ada setetespun madu yang ada di dalamnya.

              ***

              Ternyata yang berpikiran seperti Ihrom tidak hanya dirinya seorang. Seluruh Rakyat Madu juga berpikiran sama. Sehingga yang terkumpul bukanlah kuali penu dengan madu, melainkan kuali berisi air putih. Karena tiap-tiap rakyat menungkan segelas air putih-bukan segelas madu. Bahkan setetes pun tidak

***

Siapa kah yang disebut sebagai manusia setetes madu?
Mereka yang tetap berbuat baik dan terus berusaha memberi kebaikan tanpa peduli apakah orang lain melakukannya atau tidak. Dia yang menyegerakan untuk membantu sesama.




Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhD-_AQ6nwO5Ww6QoVMvCwMtJVLBstua8hqOANkVoigs__oHirvWkf1XOSGuAofEhzzfqe1kLwi56RrXfU8Z1stk_nFED2AECfx0Jd6Rz2dRaJdMYrnPHfAr8OcvBLA7ckwnegfJrMBMzSo/s320/Madu.jpg


KARTINI CITASARI



Afiq namanya, seorang anak kecil yang kutemui di sebuah bangunan kotak. Sebuah ruangan penuh dengan mainan dan poster-poster penuh gambar. TK Kartini Citasari. Mengapa aku kali ini menceritakan dia? Karena dia anak yang spesial. Semua anak memang spesial. Termasuk anak kecil yang sekarang ku sapa dengan afiq ini.

Secara keseluruhan dia tampak seperti kebanyakan anak normal pada umumnya. Kecuali satu hal, kedua kaki yang ia gunakan untuk berjalan tidak berbentuk normal. Semua badan bergoyang ketika dia berjalan, tidak jarang juga ia terjatuh ketika melangkahkan kedua kakinya. Dalam posisi seperti itu, aku pun berpikir butuh effort yang besar meski hanya untuk menjaga keseimbangan. Kau bisa mengulurkan tangan kepadanya jika ingin menawarkan bantuan. Maksudku benar-benar mengulurkan tangan sebagai pegangan dia berjalan.

Kau tahu meskipun ia beberapa kali terjatuh, aku melihat senyum dan tawa bahagianya. Tadi saja ketika dia terjatuh, aku membopongnya dan barang satu dua detik kemudian dia menawarkan untuk “toss” tangan.

Aku mempersilakan dia duduk agar tidak kecapean. Namun, karena saking aktif dirinya, kursi yang ia duduki bergeser dan dia terjerembab. Apakah sakit? Pasti. Apakah dia menangis? Sama sekali tidak. Ia lagi-lagi mengangkat tangannya, toss dan segera untuk tersenyum bahagia. Duduk tenang menyantap mie goring di depannya.

Ya, Allah. Irkham ini bahkan mungkin tak pernah mensyukuri bisa berjalan normal. Mungkin karena terlalu seringnya Kau menghadiahkan hamba kemudahan untuk bisa melangkahkan kaki dengan mudah, sehingga hamba lupa bahwa kedua kaki ini merupakan anugerah yang sangat berharga yang telah kau hadiahkan kepadaku.
           
Dan tak sadar bahwa ditiap hembus nafas ada karunia dan rasa kasih-Mu, ampunilah diriku.
           
Semoga Engkau selalu menjaga Afiq, semoga anak itu selalu kuat menghadapi kehidupan dan jadikanlah dirinya seorang yang selalu mengingatmu.
           

Afif terjatuh dan dia bangun dengan bahagia, namun apakah kau yang punya fisik lengkap justru jatuh dan terpuruk?

Jumat, 07 Agustus 2015

Buku untuk Anakku



            Membeli buku total 245 ribu dalam sehari apakah itu pemborosan? Aku tidak tahu, namun aku kemarin melakukannya. Berkunjung ke mini pameran buku kantor kecamatan Godean. Melihat-lihat tumpukan buku. Tertulis harga mulai 5000 rupiah. “Mulai” batinku tergelitik. 200.000 juga mulai 5000.

            Mondar mandir dan tengak tengok kesana kemari, penyakit kutu (kalau penyakit naga itu penyakit serakah) mulai menyerang. Sajian kumpulan buku membuat diriku tak sanggup menahan untuk tidak membelinya.

            Harry potter order of the phoenix, half blood prince dan deathly hollow, eclipse, 17 tulisan Ernest Hemingway, Taman Surga (Ernest Hemongway), Petunjuk hidup bahagia dan tenang (Dale Carnegie), 333 dongeng binatang dunia, dan kumpulan cerita pendek dari india.

            Salah seorang temanku bertanya,
            “Emang kau belum pernah menonton filmnya?”
            “Sudah, tapi aku membeli buku-buku ini buat anakku”

Sabtu, 01 Agustus 2015

Kalau Disuruh Milih Lelah


            Kukira lelah itu ketika kita melakukan aktivitas begitu padat, tak adanya waktu istirahat, tidak sempat tidur, dan badan harus terus menerus bergerak. Nyatanya tidak, aku bahkan menjadi lelah jika terlalu banyak tidur. Badan terasa pegal jika hanya duduk terpaku, termenung tanpa memanfaatkan waktu untuk hal yang terasa bermanfaat. Bingung melakukan apa.

            Bahkan hal-hal yang harusnya tidak banyak menggunakan fisik pun ternyata bisa membuat diriku lelah. Lantas sejenak ku berpikir, jika berdiam diri membuatku lelah dan melakukan banyak aktifitas pun membuatku lelah?


            Aku akan memilih lelah yang karena apa?