Senin, 22 Februari 2016

Lelaki yang Memandang dari Jendela Lantai Tiga




            Persendian-persendianku begitu rapuh ditelan detik-detik yang telah berlalu tak terasa. Badanku juga sudah tidak mampu untuk berdiri tegak, kalau hanya sebentar masih bisa, tapi barang sebentar kemudian pinggang kusangga dengan tangan kanan. Terduduk lagi, dan rasanya begitu lelah.

            Tapi itu sungguh tidak seberapa lelah daripada harus duduk di dekatmu. Lelah berdiriku ini sungguh tidak ada apa-apanya. Maka sekarang aku lebih memilih untuk duduk saja di bangku, memandang dirimu dari jendela lantai tiga.

            ***

            “Anda kenapa?” seorang psikiater bertanya.
"Aku tidak apa-apa, kurasa"
           
            ***
            Dia masih berdiri di sana, memakai kerudung merah dengan baju lengan panjang kotak-kotak. Warna kerudung yang begitu serasi dengan warna roknya. Memegangi gadget hitam mengobrolkan sesuatu kepada seorang laki-laki berjaket hitam.

            Tentu aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Terlalu jauh jarak antara mereka berdiri dengan lantai tiga tempatku duduk sekarang. Apalagi ada pemisah bening yang menghalau gelombang suara. Ditambah pemisah yang tak pernah kulihat, tapi itu benar benar ada.
 ***

“Mu-nya siapa?”


* Dan aku entah sejak kapan kesulitan menulis cerpen lagi, entah sejak kapan. Bahkan aku nggak ngerti calon cerpen di atas akan kuakhiri seperti apa.

3 komentar: