Sabtu, 29 Oktober 2016

Aturan 10.000 Jam



                Dalam buku yang berjudul outlier karangan Malcom Gladwell, disebutkan bahwa jika kita sudah menggeluti suatu bidang dengan jam terbang sepuluh ribu jam, maka bisa dipastikan akan ahli di bidang  tersebut.

                Malcom memberikan contoh The Beatles, Bill gates dan Bill Joy.

                Nah jika kita menginginkan untuk ahli dalam bidang tertentu. Tanyakan pada diri, sudah berapa jam kah yang dihabiskan?

                Semisal seorang Irkham Maulana ingin bisa ahli dalam bidang menulis. Jika dia konsisten menulis 3 jam sehari (jarang sekali sebanyak ini), tujuh hari dalam seminggu, maka untuk mencapai angka sepuluh ribu dibutuhkan waktu 10 tahun. Jika menulisnya hanya 1 jam sehari maka bisa kita hitung sendiri, butuh waktu 30 tahun lamanya. Apalagi jika setengah jam sehari? Sepuluh menit sehari? Atau justru tidak rutin setiap hari?

                Tak heran jika mereka yang kita kenal sebagai seorang jawara di bidangnya, adalah mereka yang sangat menyukai apa yang sedang digeluti saat ini. Mereka yang begitu menikmati sehingga bisa menghabiskan dengan ringan enam jam delapan jam tiap harinya tanpa pernah merasa terbebani. Mereka senang saja melakukannya karena merasa sedang ‘bermain’.

                “Kerja lah untuk hal-hal yang kau senangi melakukannnya, maka kau tidak akan menemukan dirimu sedang bekerja, yang ada kau merasa bermain sepanjang waktu dan dibayar untuk itu.”

                Lalu? Semisal apa karena waktu yang dibutuhkan begitu panjang maka seseorang merasa pantas untuk menyerah dalam hal yang mereka sukai?

                “Ahh lama juga ya supaya bisa jadi ahli dalam menulis. Apa aku menyerah saja ah. Kelamaan” begitu?

                Tidak, tidak seperti itu.

                Kita akan menulis, berusaha menulis sebanyak mungkin. Sesering mungkin. Tidak peduli hanya sepuluh lima belas menit atau kurang dari itu.

                Meskipun semisal tidak mencapai angka 10.000, tapi paling tidak kita tahu sedang mendekati ke sana.

                *Btw, aku khawatir jangan-jangan saya sudah begitu ahli dalam hal tidur. Coba hitung sendiri berapa angkanya




Kamis, 27 Oktober 2016

Itu yang Terbaik

Aku ingin menuturkan kepadamu suatu cerita yang kudengar ketika aku duduk bangku SMA dulu. Cerita yang dituturkan oleh seorang kawan sebagai suatu pembuka tentang acara keagamaan tahun itu. Maukah kau duduk sebentar untuk membaca cerita ini?

                Jadi begini ceritanya.

                ***
                Dulu, di masa lampau tanah-tanah bumi tidak seperti sekarang. Kalau kita bisa menjelajahi waktu kembali ke masa lalu, masih banyak tanah-tanah yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun membentuk hutan. Maka dari itu, masih banyak hewan-hewan yang hidup dan berkeliaran di sana-sini. Rusa dan Kijang di antaranya. Rusa suka pohon dan itulah mengapa dia hidup di hutan. Kau tidak akan menemukan rusa di pekaranganmu sekarang karena yang ada di sekelilingmu saat ini hanyalah tembok-tembok tinggi menjulang dan mobil-mobil berlalu lalang.

Rusa tentu tidak suka tembok dan mobil.

                Saking banyaknya rusa yang berkeliaran, hewan ini sering dijadikan sasaran bagi mereka yang hobi berburu di hutan. Biasanya seperti yang sering kita dengar-dengar dari kisah-kisah jaman dulu, para keluarga raja-lah yang sering diceritakan gemar berburu Rusa. Tak terkecuali seorang Raja bernama Raja ini. Ingat nama Raja ini adalah Raja.

                Raja merasa tertantang ketika mendengar sebuah rumor bahwa di dalam hutan pedalaman yang belum pernah ia singgahi, terdapat seekor rusa yang memiliki tanduk begitu indah. Bercabang-cabang dan bersih berkilau bagaikan terbuat dari emas. Raja begitu tertarik. Maka Raja mulai menyusun segala persiapan untuk berangkat berburu lusa. (cerita tentang rusa bisa dilihat di sini)

                Kuda-kuda telah berjejer rapi, dan busur-busur telah ditenggerkan ke pundak Raja dan masing-masing prajuritnya. Pada keberangkatan kali ini, Raja mengajak serta penasehat kerajaan bernama Hakim. Ada yang begitu istimewa (untuk tidak dibilang aneh) dari pribadi Hakim ini, ketika dimintai nasehat dia akan selalu mengatakan itulah yang terbaik. Sejauh ini kalimat itu yang selalu keluar dari mulutnya.

                Raja dan rombongan telah tiba di hutan tujuan. Mereka memutuskan untuk menginap di sebuah gubuk kosong tak berpenghuni di tengah hutan. Meskipun tak semegah istananya, tapi Raja merasa beruntung bisa menemukan gubuk di tengah hutan seperti ini. Bahkan entah difungsikan sebagai apa, di dalam gubuk tersebut terdapat kotak bawah tanah yang dibatasi dengan jeruji besi. Persis seperti sebuah penjara.

                Malam itu, Yang Mulia Raja memutuskan untuk membantu mengupas buah apel di dapur. Para prajurit sempat menolak, namun sang Raja justru memaksa. Ia terus mengupas dan memotong-motong buah apel sambil bersenandung riang. Membayangkan bilamana Rusa bertanduk indah itu berhasil ditangkap.

                “Arghhhhhh!”

                Seisi gubuk menjadi panik mendengar sebuah teriakan keras. Para prajurit bergegas menuju sumber suara yang berasal dari dapur. Darah terlihat menetes dari sebuah jari kelingking milik seorang yang berteriak keras tadi, yang tak lain adalah Sang Raja. Jari kelingkingnya tangan kirinya telah putus terkena sebilah pisau.

                ***

                Keadaan mulai mereda, Raja tidak lagi menjerit kesakitan setelah ditangani oleh para prajuritnya. Namun, meskipun rasa sakitnya mulai berkurang, tetap saja kelingking yang telah terpotong tidak bisa disambung dan dikembalikan seperti sedia kala.

                “Hakim, sebagai penasehat kerajaan. Bagaimana pendapatmu tentang kelingkingku yang hilang ini?”
                “Saya turut bersedih, Paduka. Tapi itulah yang terbaik.”

                Wajah Raja seketika menjadi merah padam. Ia menggebrakkan meja dengan tangan kanannya (jari-jari tangan kanan masih lengkap. Ingat yang jari yang putus adalah tangan kiri). Memerintahkan para prajurit untuk menjebloskan Hakim ke dalam penjara bawah tanah atas jawabannya barusan.

                “Sialan, penasehat macam apa kau ini. Berani-berani bilang bahwa kelingkingku yang putus adalah yang terbaik?”

                Hakim diseret dan dilemparkan ke ruang bawah tanah. Penjara tersebut tidak akan terlihat jika tidak benar-benar menundukan kepala ke arah lantai. Hanya ada sedikit lubang seukuran lubang tikus untuk bernafas.

                “Itu yang terbaik!” ujar Hakim pelan di balik jeruji besi.

                ***

                Raja berangkat berburu paginya seperti yang sudah direncanakan. Di waktu berburu itu ia berharap agar bisa menjadi penghibur hati atas hilangnya kelingkingnya sekarang. Lebih-lebih atas jawaban kurang ajar Hakim kepada dirinya.

                Hutan pedalaman ini memang unik. Pepohonannya begitu rimbun sehingga terlihat garis-garis lurus cahaya yang menembus payung dedaunan. Rusa yang hidup di sini juga berjumlah lebih banyak dari hutan lain. Namun, hati Raja belum puas karena hingga sore menjelang, ia masih belum melihat sosok rusa bertanduk indah yang dirumorkan.

                Semua wajah tertunduk lesu ketika berjalan pulang ke gubuk singgah. Namun kemudian, mata Raja serasa tertusuk oleh sebuah kilatan sinar di tengah hutan. Ia beranjak selangkah demi selangkah dan yang ia temukan membuatnya tercengang. Rusa yang dari tadi dia incar tengah berdiri santai dengan rusa betina yang lain di pinggiran danau. Tanduknya memang begitu indah, lekak-lekuk dan percabangan tanduk rusa yang dilihat ini begitu berbeda dari rusa biasanya. Indah menawan. Selain itu, kakinya juga gemuk berisi, tidak seperti rusa lain yang kurus kering sehingga membuat lari mereka begitu lincah.

                Segera Raja dan rombongan berlari mengejar dan memburu Rusa bertanduk indah tersebut.

                Namun, derap kaki yang terdengar lebih banyak dari langkah kaki-kaki mereka. Raja mengejar si rusa, namun dirinya juga serasa ada sesuatu yang mengejarnya, langkah yang seakan sedang memburu Raja dan prajurit juga.

                Langkah mereka terhenti, dari arah kiri dan kanan mereka sekarang justru diserbu oleh sekelompok manusia. Pakaian mereka awut-awutan dan teriakan mereka begitu buas seakan kelaparan. Mereka hanya saling berteriak untuk berkomunikasi satu sama lainnya. Mereka adalah suku bar-bar yang tinggal di dalam hutan.

                ***

                Api unggun telah dinyalakan. Kuali besar pun telah diposisikan di atas api yang membara. Beberapa orang terlihat menceburkan lobak, dan sayuran ke dalam kuali tersebut. Tak lupa dengan rusa yang telah dikuliti ikut dilempar di kuali.

                Suku bar-bar yang tadi menyerang Raja dan prajurit sekarang duduk melingkar sambil meneriakkan suara-suara teriakan saling bersahut-sahutan. Sedang Raja dan prajurit terikat kuat sehingga tidak bisa bergerak.

                “Arghhhh…” teriak salah seorang prajurit.

                Dua orang suku bar-bar langsung menyeretnya tak kala ketua suku menyuruh mereka untuk memasukkan prajurit tersebut ke dalam kuali besar. Dan begitu seterusnya sampai ketua suku berdiri tepat di hadapan Raja.

                “Hei, aku Raja mu. Penguasa seluruh dataran negeri ini. Termasuk hutan ini!”

                Ketua suku hanya terus menatap dari kepala sampai ke ujung kaki Raja. Mereka jelas tidak tahu apa yang dikatakan Raja. Dan tentu saja mereka tidak tahu pula siapakah Raja itu. Malam ini, yang mereka tahu, mereka akan berpesta besar dan makan-makan sampai malam.

                Raja sudah begitu pasrah, ia hanya diam saja dan tertunduk lemas. Pikirnya pasti dirinya juga akan dilemparkan pula ke dalam kuali besar.

                “Huhuhu, Hahaha!” sekarang justru Tetua suka berteriak-teriak. Diikuti dengan teriakan dari suku bar-bar lainnya. Ia berteriak ketika matanya terhenti pada jari kelingking tangan kiri Raja.

                Mereka semua sekarang justru tampak begitu ketakutan.
                Sang Raja disuruh pergi dari hadapan para suku bar-bar.
                ***

                “Bagi suku bar-bar, ketika memakan yang tidak sempurna tubuhnya. Maka barang siapa yang memakannya ataupun yang mendekatinya, mereka percaya bahwa keturunan mereka akan terlahir cacat lebih parah. Dan jari kelingking Raja yang telah terputus akibat memotong buah apel membuat mereka mengusir Raja. Mereka suku bar-bar begitu takut kalau keturunan cacat.”

                Raja melangkah kembali dalam gubuk dengan perasaan sedih dan takut tak terkira. Di dalam gubuk pun, tubuh-tubuh para prajurit sudah tidak bernyawa. Dan ia mendengar suara seseorang dari balik jeruji bawah tanah.

                “Kaukah itu, Hakim?”
                “Iya, Paduka.”
                “Bagaimana kau bisa selamat?”

                “Untunglah Raja memenjarakanku di sini, ketika sekelompok suku bar-bar datang ke gubuk ini, mereka tidak tahu bahwa ada sebuah ruangan bawah tanah yang hanya ada lubang sebesar tikus ini. Aku melihat mereka dari bawah berteriak-teriak dan seakan bersorak sorai. Dan mereka tidak melihatku karena aku berada di ruangan sempit nan gelap ini, Paduka.”

                “Untunglah Paduka memenjarakanku. Terima kasih banyak.”
                Raja pun menangis. Ia membuka kembali gembok penjara bawah tanah tersebut.

                “Itu yang terbaik, Paduka.”
*****


Selasa, 18 Oktober 2016

Apa Manusia Bisa Terbang?



            Hei shiro, apakah manusia bisa berubah itu benar?
            Jika manusia ingin terbang, apa mereka bisa menumbuhkan sayap?
            Kurasa tidak.
            Kau tidak bisa mengubah dirimu, tapi kau bisa mengubah caramu melakukannya.
            Kau harus membuat jalanmu sendiri. Kau harus menemukan cara untuk terbang, meskipun kau tetap sama.
            Ayo kita pikirkan cara untuk menumbuhkan sayap agar kau bisa terbang.
            Kita masih punya banyak waktu.



Senin, 17 Oktober 2016

Kuliah Umum Kosong



                “Bom, kau besok datang ke kuliah umum dosen piter tidak?”
                “Hmmm… kayake tidak deh.”

                “Kenapa emang? Sibuk? Kuliah umum bersifat wajib lho ya. Kau tahu kan dosen Piter agak killer kalau tahu mahasiswanya ada yang bolos kuliah umum ini? Bisa-bisa dapat nilai E lho kamu ntar.”

                “Hmm… iya juga si. Tapi coba pikir deh, kelas kita jumlah mahasiswanya aja ada seratus orang, hilang satu dua kepala seperti punya kita ini juga nggak bakalan keliatan kok. Ya kan?”

                “Hmm… benar juga apa katamu, kalau Cuma kita saja yang nggak datang, nggak bakal keliatan dan ketahuan.”

                Bom dan Jon melanjutkan kembali santap lahap mereka di warung dekat kosan.
***

                Dosen Piter telah mempersiapkan file presentasi untuk kuliah pagi ini semalaman. Ia telah membuat materi sebaik mungkin sampai hanya tidur dua jam. Baginya, materi tentang etika, nilai dan kejujuran begitu penting untuk disampaikan kepada mahasiswanya agar kelak hal tersebut membekas di hati mereka. Mengetahui dunia paska perkuliahan bisa menjadi hal tak ternilai yang bisa disampaikan.

                “Ahh, pasti ramai kelasku ini karena aku sudah memberikan undangan dan pengumuman satu-satu kepada para mahasiswaku. Di bagian bawah pengumuman juga sudah kutuliskan bahwa kuliah umum kali ini begitu penting.”

                Dosen Piter telah masuk ke lobbi jurusan, bergegas menuju ruang kelas karena merasa tidak mau terlambat. Ia tidak ingin para mahasiswanya harus menunggu dirinya terlalu lama.

                “Krek!” bunyi gagang pintu yang diputar Dosen Piter.

                “Selamat pagi se…” kalimat tersebut tertahan karena ruangan kelas tak berisi satupun manusia di dalamnya kecuali dirinya. Bangku-bangku tak bertuan. Tidak ada satupun mahasiswa yang datang ke kelas.

                Semua mahasiwa berpikiran sama dengan apa yang Bom dan Jon pikirkan.
                “Pasti tidak akan ketahuan kalau cuman saya yang tidak datang.”
***
                               

               



Sabtu, 15 Oktober 2016

Ciko yang Menyukai Hujan


Oktober 2016

                Ciko menyukai es krim. Apalagi kalau dimakan ketika cuaca panas dan udara begitu gerah. “Ah enak sekali” ucap Ciko sambil memejamkan mata. Tapi Ciko tidak suka es krim ketika badannya demam, bahkan sampai menggigil. Es krim akan membuat demamnya menjadi semakin naik, dan oleh karena itu Ciko dilarang makan es krim.

                Ciko menyukai hujan, karena ia bisa bersenang-senang bersama rintik-rintik air yang turun dari langit itu. Bisa lompat sana sini, melangkah dari satu kubangan ke kubangan lain. Bahkan kadang ketika hujan mengguyur saat ia bermain sepakbola di lapangan, ia akan meluncur dengan menggunakan tackle untuk merebut bola dari lawan. Tapi ketika waktunya tidak pas, Ciko juga tidak menyukai hujan. Misalnya saat ia ingin berangkat sekolah dan hujan turun dengan lebatnya. Atau misal ketika rumah Ciko dulu terendam air banjir, Ciko justru berharap untuk waktu itu hujan jangan turun dulu dari langit.

                Ciko senang ketika ciko menyukai sekarang, tapi Ciko merasa belum waktunya untuk Ciko menyukai sekarang. Ciko jadi tidak menyukai apa yang Ciko sukai karena waktunya yang tidak pas. Seperti ia tidak suka es krim padahal ia suka es krim ketika ia demam.

                Ciko yang suka sekaligus tidak suka pada hal yang sama.
Ciko jadi bingung dibuatnya.


Jumat, 14 Oktober 2016

Kamis, 13 Oktober 2016

Rabu, 12 Oktober 2016

Kita Saling Kenal, Kan?



                Pernahkah kau bertanya pada seseorang yang kau kenal namun kau tidak memperoleh jawaban? Bukan tentang jawaban benar atau salah, tapi kosong saja, tak ada yang mau berbicara. Kau bertanya pada banyak orang tapi yang ada hanya udara senyap, hening yang kau rasa? Atau pernahkah kau melihat kawanmu sedang bertanya kepada kawanmu yang lain namun yang ditanya justru tidak berkata apa-apa. Ia mendengar tapi ia tidak berbicara. Ia bisa berbicara tapi lebih memilih untuk mengatupkan kedua belah bibirnya.

                Baik kau yang bertanya ataupun kau yang melihat seseorang bertanya, apa yang akan kau rasakan?

                Aku punya sebuah kelompok, namanya forum lingkar pena. Beberapa orang berinisiatif untuk membuat sebuah grup media sosial beranggotakan seluruh pengurus forum tersebut. Sebuah alternatif untuk bisa berkomunikasi meskipun tidak tatap muka. Namun aku mempunyai masalah dengan grup ini. Bukan masalah serius, hanya masalah pribadi yang mungkin saja menurut anggota grup lain adalah hal yang remeh temeh.

                Masalahku adalah ketika sebuah tanya menggantung saja di langit-langit layar, ia tidak mendapat jawaban tidak pula tanggapan. Entah siapapun yang bertanya. Penghuninya belajar untuk enggan sedikit menggerakan jemarinya menekan huruf-huruf di layar.  Penghuni lain hanya diam  saja. Membisu.

                Aku ingin bertanya padamu? Kita saling mengenal kan? Kita saling tahu nama, saling tahu rupa, pernah berjumpa, pernah pula duduk bersama membahas suatu cerita.  Kita benar-benar saling kenal kan?

                Aku akan sangat memaklumi jika sebuah grup begitu hening dan orang yang muncul itu-itu saja jika jumlah anggotanya mencapai angka ratusan, jika kita tidak tahu siapa yang berbicara, tidak kenal satu sama lain kecuali hanya beberapa orang lain, aku akan sangat memaklumi sekali karena kita tidak saling kenal, atau setidaknya lebih banyak yang tidak kita kenal.

                Tapi forum lingkar pena ini bukankah kita saling menenal satu sama lain? Semuanya kita kenal? Maka jujur saja jadi merasa sedih ketika kita benar-benar telah mengabaikan orang-orang yang kita kenal. Ketika kita memilih membisu saja akan sebuah pertanyaan. Ketika kita tidak lagi peduli barangkali pertanyaan tersebut begitu berarti bagi si penanya untuk mendapatkan jawabannya segera, atau untuk sekadar mendapat masukan.

                Atau ketika seseorang menyampaikan tentang tarian tuts, atau info lain, respon grup begitu hening. Seolah-olah orang yang menginfokan tersebut sedang berbicara dengan sarang laba-laba. Tapi apa memang hanya perasaanku saja, grup ini banyak orang tapi dipenuhi dengan banyak sarang laba-laba?

                Sungguh, kita saling kenal kan?
                Atau jangan-jangan hanya perasaanku saja kalau kita saling kenal, padahal sejatinya tidak.
                Kita tidak saling kenal makanya kita saling mendiamkan.
               
               




Sabtu, 08 Oktober 2016

Tulisan Radin


8 Oktober 2016

            “Eh kau sudah baca tulisan Radin?”
            “Yang buang cintamu dan raih citamu itu?”
            “Iya bagus ya..”
            “Bagus memang. Aku salut. tapi…”
            “Kok tapi?”

            “Seperti yang Radin tuliskan, itu mudah kalau memang tidak harus komunikasi atau bertemu. Tapi lain cerita kalau misalnya masih ada kemungkinan ketemu. Apalagi kalau ketemunya nggak menyangka kalau bakal ketemu.”

            “Heeeee?”

            “Rasa-rasanya kalau pas ketemu, ingin nutup wajah serapat-rapatnya, atau kalau ada jubah yang bisa bikin nggak keliatan ingin pakai dengan segera. Atau kalau bola pokemon itu ada, rasanya ingin dilempari saja biar aku bisa masuk di dalamnya.”
***