Rabu, 30 September 2015

Kata Orang Cinta



Orang-orang yang pernah melancong ke luar negeri sering bilang bahwa kita akan mencintai Indonesia setibanya di negeri orang. Aku percaya begitu saja? Tentu tidak. Lagian dulu serasa tidak masuk akal. Bukankah negeri orang terlihat lebih maju daripada negeri kita sendiri? Mana bisa lebih mencintai meninggalkan sosok yang dicintai dan beranjak menemui sosok lain? Meski secara logika tidak begitu terasa benar, namun pikiran ini tidak sepenuhnya menolak statement kita akan mencintai Indonesia setibanya di negeri orang.

Hari itu, ketika gema takbir berkumandang, kami Nakula lepas landas dari Bandara Adi Chip, meninggalkan kampung halaman di kala Idul Adha menjelang. Menjadikan tahun ini satu-satunya idul Adha tanpa makan sate dan daging kurban (#ah sedih). Tapi tak apalah, demi sebuah pembuktian kecintaan akan negeri yang sering orang bilang.

Kami terbang, Nakula mengangkasa kemudian turun lagi ke tanah Malaya.

Selasa, 29 September 2015

Deklarasi Kuala Lumpur

Dengan menyebut nama Allah, semoga Gusti Allah meridhoi dan merahmati next step ini :


1.   Menghargai sholat. Karena begitu terasa disini bahwa sholat adalah suatu hal yang begitu berharga. Mungkin karena di Indonesia sholat mudah dilakukan dimana saja, jadi terlupa betapa pentingnya ibadah tersebut untuk dijalankan. Bukan karena “HARUS” tapi karena “MAU”
2.      Menghargai bahwa hidup hari ini itu indah – sumprit yang ini sulit beud
3.      Tak membenci,  benci itu kejahatan yang tidak memberikan manfaat sama sekali
4.      Menggenapi buku “Aku Sebuah Cerita”
5.      Berkunjung ke lebih banyak tempat di kawasan dengan perbedaan waktu yang lebih panjang)
6.      Punya anak asuh
7.      Dedikasi untuk Allah

Masjid Negara – Kuala Lumpur, September 2015

Dia yang ingin berubah
Irkham Maulana

Nur Khasanah - Hilal

Berapa halaman yang  sudah terpakai untuk mengutarakan perasaan kita
Entah kenapa satu baris masih kosong
Menandai buku harian
Bersama dengan kamu mengendarai sepeda kuno
Ke tempat dimana kita membangun kenangan bersama-sama

Mendaki bukit  yang dapat terlihat lautnya
Menakutkan, langit biru yang itu
Tangan kiriku di atas tangan kananmu. Selalu mencari kamu

Untuk sekarang, kau tidak perlu menatapku dengan sungguh-sungguh
Kita berdua masih dekat, ada disini
Kenapa, masih merasa rindu ingin bertemu?
Ada apa sebenarnya?


Hanya dirimu sendiri yang tahu, bahwa telah melakukan semampunya
Jadi jangan berbohong maupun menipu diri sendiri
Daripada membandingkan diri dengan orang lain
Jadilah seseorang yang bisa dibanggakan
Aku bertekad ‘tuk hidup pantang menyerah hari ini
Akan kuhabiskan sisa hidupku ‘tuk cerahkan hari ini
Walau kau tahu kepergian itu akan sulit, jangan ambil jalan pintas
Yang terbaik adalah kau harus hidup pantang menyerah
Pada akhirnya dirimulah yang merasakan hasilnya karena tidak menyerah

Believe in yourself

[w]:arisan

-  

                5 orang mahasiswa itu tampak bingung. Bimbang mengenai apakah yang akan mereka tampilkan dalam malam pentas seni minggu  depan.

Alfinaa mengusulkan untuk  dance korea, Maulana usul tentang india dan yang lain mengusulkan drama turkey. Raka tampak terdiam, berpikir  keras setelah mendengar usulan dari teman-temannya tersebut.

“Tak adakah yang lain?” batinnya.

Ia kemudian mengajak untuk berjalan-jalan bersama-sama. Ketika ditanya untuk apa? Ia hanya menjawab refreshing saja.

Dan kemudian perjalanan mereka  pun dimulai, Raka mengarahkan mereka untuk menonton sebuah pertunjukan di tanah Jogja.

Mereka kembali diskusi, duduk-duduk santai di pelataran jalan tugu jogja. Akhirnya diputuskan untuk menampilkan apa yang mereka  lihat malam itu. Sebuah penampilan yang sebelumnya mereka tak sadari bahwa warisan tersebut sungguh berharga.
****

Panitia malam pentas masuk ke ruang ganti. Memperingatkan untuk segera mempersiapkan diri menuju panggung.
****


“MALAM ITU, KAMI TIDAK TAHU BAGUS ATAU TIDAKKAH PENAMPILAN KAMI, YANG TERPENTING KAMI BAHAGIA DAN BANGGA MENAMPILKANNYA”


September 2015
Senang bersama kalian

Senin, 21 September 2015

Jumat, 18 September 2015

Hanya Memandang Langit


            Malam ini, aku hanya duduk di atap balkon. Menggoyang-goyangkan kaki. Menatap langit malam dari tempatku duduk.

            Gelap penuh dengan kelap-kelip bintang.

            “Rasa ingin tahuku mungkin terlalu berlebihan”



September 18 – 23.07

Balkon Asrama

Kamis, 17 September 2015

Rumput Manis



            Sebagai anak kampung, rumput manis ini begitu familiar di masa kanak-kanakku dulu. Berhektar-hektar batang setinggi 2 meter lebih yang bisa makan ini tumbuh di desaku.

            Dan sepulang dari kampus tadi, tak sengaja ku melihat penjual es tebu (bukan tak sengaja si, baru sempat buat berhenti). Ku berhentikan motorku sejenak, dan membeli satu buah minuman dari hasil perasan batang manis tersebut.

            “Bu, boleh nggak bu tebu gelondongannya ku beli?”
            “Buat apa mas?”

            Aku Cuma tersenyum, tapi rasa-rasanya senyumanku begitu nampak bahwa aku benar-benar menginginkannya.

            “Ya sudah, harganya segini mau?”

            Aku berpikir panjang. Duduk di depan meja tempat penjual itu menggelar dagangan.
            “Boleh deh Bu”
            ***
           
            Segera saja diriku ke dapur dengan batang manis yang panjangnya mungkin tidak lebih dari 50 cm.

            Meraih pisau “gede” dan segera kukupas kulit-kulit kerasnya.

            “Jan. mau nggak?”
            “Apa ni?”
            “Tebu”
            “Terus makannya gimana?”
            “Yaelah, dikunyah, tapi jangan ditelan yo”
            “Eh buset, enak banget ham”
            “Lah ente belum pernah makan ginian?”
            “Belum”

            Maklum saja mungkin ya, balik papan dan Kalimantan terlalu banyak kelapa sawit pikirku.

            Batang manis ini mengantar kepada memori dulu, masa bocil bocil tidak karuan nakalnya. Jarang pulang, lari-larian di tengah sawah, dan bermodalkan sebuah pisau, masuk bersama teman-temanku ke dalam kebun tebu.
            Melahap tebu sesuka hati di tengah tingginya barisan-barisan tebu yang telah menjulang tinggi.

            Sebentar kemudian pulang membawa beberapa batang untuk kami makan di rumah.

            Itu masa kecilku,

            Ketika aku tak begitu memahami kenapa dulu seperti itu. Sama seperti tidak pahamnya kenapa dulu begitu repot-repot adu lari bersama kawan permainan sambil mendongak ke atas hanya untuk mengejar layang-layang putus. Berseru riang “hei layangan tugel-layangan tugel-hei ada layangan putus-layangan putus” (heran juga kenapa aku nggak ngejarnya diam diam saja ya, kan biar dikit saingan)

            Padahal toh berapa si harga layangan baru, Cuma 500 rupiah waktu itu.
           
           
Ya begitulah, nampaknya memang tak perlu punya alasan kuat di masa kecil dulu.

            Ketika aku menyukainya, aku akan mengatakan aku menyukainya.
            Dan ketika tidak, aku akan bilang bahwa aku tidak suka.

Tebu dan layang-layang, Sebuah harta karun yang tak perlu penjelasan.



17 September 2015 14.08

Di samping laptop ada segelas es tebu


Rabu, 16 September 2015

Take Lagi Ya


            Apa jadinya seorang  yang bukan kamera face diminta untuk ber”acting” dalam sebuah film beneran. Yang pasti…..  ya begitulah.

            Settingnya si sederhana ya tadi. Cuma ujung dari pelataran malioboro dekat titik nol Jogja. Di tengah rame-ramenya pedagang dan pengunjung yang berlalu lalang kita take berkali-kali untuk adegan jalan.

            Berlima bersama mas Agus, Mpok Pine, Yola dan Mba Adie. Kyaknya lebih cocok di sebut sebagai rangers terbalik, soalnya biasanya kan power rangers itu 3 cowok dan 2 cewek.

            Untuk mengambil suasana jalan-jalan saja perlu lima enam kali kata “cut”. Demi beberapa detik dalam  tayangan. Tapi tetap, bersama kalian itu hal yang menyenangkan lho.
            Ah kebanyakan menulis melo jadi nggak bisa menulis lepas gini ya, jadi canggung.

            Ya sudah, tak tulis apa adanya aja ya.

            Disana juga kita ditampakkan oleh seorang bocah botak dan gadis tengil berkepala besar. Eh bukan bocah dan gadis si, tapi lebih tepatnya boneka yang dibuat nari-nari. Kepalanya goyang-goyang dan begitulah pokoknya. Kalau penasaran cobalah berkunjung ke kesana, tapi saranku jangan sendirian. Bisa kayak orang ilang. Tengok tengok kebingungan.

            Setelah berexcited ria karena tuntutan peran, take malam ini pun selesai.

            Di tutup dengan sebuah obrolan mengenai anime -_- dasar.

            “Kau  nggak ada agenda asrama ham?”
            “Ada, Belajar. Belajar kehidupan.”
            “Bab duanya mana?”

            Sempat nggak ngeh si. “Lah katanya belajar kehidupan”.

            “Ohhh, bab satunya keluarga itu penting. Bab duanya hari ini lho bang.”

            “Bukan tentang tempat yang menawan dan seramai apa suatu kawasan, tapi dengan siapa kita pergi itu membahagiakan. Dan terima kasih untuk semunya.”

            “Hayooo kapan nulis ginian? Kebanyakan mellow si” -_-



Di Bawah temperam nyala mati lampu KM 0

Besok jangan lupa take lagi ya

Sejuta Bintang



            Tak sengaja tiba-tiba terselip suatu kata.
            “Sejuta Bintang” dan tiba-tiba tangan ini bergetar untuk segera menuliskannya di atas kertas.

            Mereka yang di langit malam tidak selalu kelihatan memang, terkadang tertutup oleh gumpalan awan pekat. awan mendung, atap sebuah bangunan atau karena kita sendiri yang terlalu sibuk hingga tak sempat menatap ke atas. Memandang berjuta bintang.

            “Sejuta Bintang”, dia sejatinya selalu ada di langit. Cahaya tidak seterang matahari memang. Sehingga membuat titik-titk itu tak nampak jelas di angkasa. Tapi tahukah kita bahwa matahari pun bintang?
            “Sejuta Bintang”

            Kita mungkin pernah berpikir apakah masih ada orang baik di dunia ini?

            Banyak.
            Dan jumlahnya tidak hanya sejuta.

            Ia ada sekitar kita, hanya saja karena kita telah mengidentifikasikan sesuatu itu baik menurut definisi kita sendiri, maka kita tidak menganggap itu kebaikan jika tidak sesuai dengan apa yang kita anggap itu kebaikan.

            Orang-orang baik itu ada banyak di sekitar kita. Dibalut dengan banyak kain, warna kulit dan berbagai profesi. Tidak hanya yang berkain putih bersih, berjas rapi, tapi bisa juga dari seorang penjual minyak tanah yang masih berbuat baik menawarkan dagangannya, seorang petani yang pagi sore merawat sawah.

            Bayangkan saja jika tak ada bintang-bintang tersebut. Hanya untuk makan beras saja kita harus menunggu 3 bulan karena harus menanamnya sendiri. Hanya untuk mendapat garam, kita harus pergi ke laut dan mengeringkan airnya di sebuah tambak buatan?
             Merekalah sejuta bintang di bumi.
            Dan ada satu lagi yang ingin kusampaikan.

            Sejuta bintang itu masih ada di suatu tempat, tak pernah terlihat dan jarang ditemukan manusia, bukan karena jaraknya yang begitu jauh. Toh malah dia begitu dekat. Hanya saja tertutup “awan”, atau kita tidak pernah benar-benar menyapanya. Lebih sibuk melihat cahaya-cahaya kehebatan dari orang lain di sekitar kita. Berseru iri dan berkata “kenapa  bukan saya?”

            Sejuta bintang itu ada di satu tempat

            Ada di hatimu.
            Dan itu yang membuat dirimu benar-benar spesial.
            Tiap diri kita spesial.
            Tanpa telur
            Tanpa daun bawang

September – Titik Nol
Sehabis pulang dari geng underground


Senin, 14 September 2015

Dia yang Selalu Kulihat Diam Sekarang Bicara

                                   
Orang itu….
Selalu kulihat diam selama ini
Tidak banyak bicara
Cenderung bersembunyi
Tak sering “terlihat” di mataku

Sekarang ia muncul
Berdiri di depan 60 orang
Membawakan acara
Terlihat canggung memang
Namun kutahu betapa banyak energy yang ia gunakan

Aku jadi  penasaran
Apa yang ada di kepalanya

Dia Bisa
Sekarang giliran kau juga bisa

14 September 2015, 22.08

Di tengah Kajian Talents Mapping

Minggu, 13 September 2015

Bahagia Karena Belajar



Untung Saja kebahagiaan dia bukan karena respon orang
Karena jika demikian
Maka dirinya akan bahagia jika mendapat senyuman
Namun bersedih hati kala dihadiahi wajah muram

Untung saja kebahagiaan dia bukan karena capaian
Karena jika demikian
Maka dirinya akan berbunga-bunga ketika mendapat kemenangan
Namun bermuram durja kala ditimpa kemalangan

Untung saja kebahagiaan dia bukan tentang seberapa jauh jarak tanah pengabdian
Karena jika demikan
Maka dirinya akan tersenyum lebar di tanah perbatasan
Namun penuh ember tangisan kala mengabdi di kecamatan Moyudan

Untung saja kebahagiaan dia bukan soal jabatan
Karena jika demikian
Ia akan berjalan congkak dengan pandangan merendahkan
Dan enggan keluar rumah karena jadi pion kepemimpinan

Untung saja kebahagiaan dia bukan karena kesehatan
Karena jika demikan
Ia akan tertawa riang ketika segar bugar
Namun menangis pilu dalam pembaringan ketika dicabutnya kesehatan

Untung saja kebahagiaannya tak dia ukur dari kemenangan, pengalaman, kesehatan maupun kelimpahan.
Bahagianya karena rasa syukur dan niat selalu beelajar

Tak peduli dia mendapat senyum atau wajah muram
Ia akan tetap bahagia
Karena darinya ia belajar memperlakukan orang

Tak peduli dia menang atau mendapat kekalahan
Ia akan tetap bahagia
Karena darinya ia belajar untuk berjuang
Mengatasi berbagai aral rintang

Tak peduli dia seorang pemimpin ataupun satpam
Ia akan tetap bahagia
Karena ia tahu, hal itu menjadikannya belajar tentang kegigihan
Memberikan yang terbaik yang bisa ia lakukan

Aku ingin belajar banyak darinya
Belajar tentang kebahagiaan
Dia yang selalu berbahagia karena syukur dan semangat belajar


11 September 2015
Terinspirasi dari KIP 2

Isnan Hidayat 

Jumat, 11 September 2015

Tempat Makan Favorit



Baling-baling kipas angin di sudut kamar berputar sejak dari tadi. Menggoyangkan dengan sering sebuah tirai yang terpasang di jendela kamar. Sebuah kapur barus tergantung tepat di depan kipas angin, memberikan nuansa aroma melati. Membuat hidungku betah untuk berlama-lama duduk di dalam kamar. Menemani diriku yang tengah duduk lesehan memangku laptop. Mencoba berpikir keras menyusun sebuah cerita untuk dituliskan.

                Beberapa kali ku coba tuliskan sebuah kata, dan saat itu juga aku menghapusnya. Lebih sering menekan tombol delete daripada jejeran huruf qwerty di depan mata. Kertas-kertas cerpen yang kemarin kususun rapi, sekarang justru acak-acakan ikut beterbangan di sapu angin dari kipas. Aku mengambilnya, berharap mendapat sebuah ide cerita. Namun yang ada, aku hanya bisa menggaruk-garuk rambut di kepala yang tidak gatal.

                “Bro, makan yuk!” suara itu muncul diiringi sebuah kepala yang nongol secara tiba-tiba dari balik jendela.

                “Ayok deh, kayaknya ini yang membuatku dari tadi terdiam termangu tak mampu menuliskan apa apa. Aku lapar, hehe.”

                “Tak heran ya badanmu sebulet itu.”

                “Parah kau, mainnya fisik! Kenapa si di dunia ini tak ada yang bisa memaklumi kalau ada jutaan orang yang hidup memiliki kesuburan badan di atas rata-rata?” ucapku dengan nada sebal.

                Kunci telah terpasang. Motor telah berhasil dinyalakan. Sembari memanasi motor, temanku yang tadi mengajak makan  tak lupa juga untuk mengajak seluruh warga asrama. Dan seperti biasanya, ia berhasil membuat orang-orang lapar seketika dengan kata kata ajakan manisnya. Apa boleh buat, mereka yang tadinya tidak lapar akhirnya ikut kami juga.

                “Mau duduk dimana nih bro?”
                “Situ aja, di nomor 46. Pojokan enak, bisa buat sandaran.”
                “Oke deh, kalian mau makan apa?”
                “Apa? Lele terbang 5, Nasi goreng ampela 2, 3 ayam bakar. Ada tambahan?”
                “Ane nambah es teler ya. Tulis tuh tulis, yang manis.”

                Obrolan di buka dengan bahasan kongres kampus. Jarum jam yang sejak awal kita duduk menunjuk angka 1 sekarang telah menunjuk angka 3. Pandangan mata kami tertawan pada analisa salah satu kawan asrama. Aku hanya manggut-manggut. Bukan karena mengerti, tapi hanya agar tidak terlalu terlihat tidak mengertinya aku akan pembahasan itu.

                “Kau lihat foto yang tadi nggak?”, celetuk salah satu kawan yang duduk sembari menyeruput es teler yang duluan datang.

                “Eh iya iya, fotonya itu lho. Duh duh duh.”

                Kampus, politik, foto, jalan-jalan, sampai tetangga asrama menjadi topik perbincangan di meja makan. Sesekali tawa terdengar. Lele dicocolkan ke sambal. Gigi-gigi putih terlihat, gelak tawa terdengar. Satu topik belum selesai, beralih ke topik lain. Saking tak mampu ku menahan tawa, reflek ku lemparkan tempe goreng ke salah satu teman. Bukannya membalas, ia justru memakan tempe yang ku lemparkan. Kami tertawa lagi.

                “Porsi nasinya sedikit sekali ya, nggak kenyang nih,huhu.” Gumamku ketika akan beranjak pulang.
                “Berapa tho?”
                Teman di depanku menjawab dengan mengeluarkan seluruh jari di tangannya.

                “Wah mahal juga ya untuk menu yang tidak mengenyangkan gini!” aku berbisik kepada teman sebelahku. Sengaja untuk kalimat ini tidak kuucapkan dengan keras. Hanya kepada teman sebelahku.

                Jarum panjang di jam dinding telah menunjuk angka sepuluh. Aku pun beranjak ke wastafel di sisi bangunan untuk mencuci tangan. Krik-krik-krik. Air mengguyur tangan yang belepotan sambal. Sabun telah keluar dari botolnya. Tiba-tiba temanku tadi yang ku candai tentang mahalnya tempat makan ini mendekat. Mendekatkan mulut ke telingaku sambil menutupnya dengan tangan kirinya. Aku yakin, tak ada yang mendengar apa yang dia ucapkan. Kecuali diriku.

                “Bukan makanannya yang mahal, tapi kebersamaan kita tadi lah yang tak akan sanggup terbayar.”
                Perut yang tadi mengeluhkan masih lapar mendadak terasa kenyang.
*****




Ditulis sejak lama
Karena teringat tentang obrolan yang mau traktiran gaji KP

Sabtu, 05 September 2015

Selembar dan Sehelai


Hari itu dalam kunjungan industri ke Pabrik kertas aku melihat gulungan kertas berbobot tidak kurang dari dua ton. Selembar kertas yang biasanya mudah sekali kurobek, sekarang dia kokoh bak tembok semen. Aku memukulnya, dan ternyata sama sakitnya dengan memukul tembok. Aku mengusapnya dan ia memang kertas.

Selembar kertas yang rapuh ternyata bisa sekuat itu jika sudah berikatan dengan yang lain. Selember kertas ternyata bisa sekokoh itu jika saling mendukung dan bersama-sama membentuk lingkaran (bergabung). Dan ternyata tidak hanya selembar kertas. Banyak juga yang lain.

Setitik embun tentu begitu lembut dan mudah pecah ketika ia sendirian bergelayutan di pucuk daun. Tetes itu akan hancur ketika ia menabrak diri kita. Namun ketika tetes itu berkumpul membentuk suatu banjir, jangankan daun, rumah pun ikut terseret karena kekuatannya.

Sebuah batu bata mudah sekali kita lemparkan ke udara. Kita buang dengan hanya satu tangan. Namun ketika ia disusun dengan batu bata lain maka jangan berpikir untuk menabrakkan diri ke arahnya. Selurut tulang bisa remuk dibuatnya.

Sebuah titik hitam mungkin hanya berarti sebuah tanda baca untuk berhenti. Namun ketika ia bertemu titik-titik yang lain, sebuah goresan-goresan penuh makna terbentuk. Lukisan lukisan indah lahir dari titik titik yang bersatu.

Hari ini aku tidak ingin menyimpulkan sesuatu. Hanya berusaha memahami banyak hal di dunia ini.

Bersama menjadi lebih baik
Bersama akan membuat kita terbang jauh ke atas langit meski di punggung kita tiada sayap.


Lalu bagaimana dengan Rindu?


Pangkalan Kerinci-Riau, 13 Agustus 2015

Jumat, 04 September 2015

Aku Akan Menantang Langit


          Aku sungguh akan menantang langit
            Melampui batasan yang selalu ada di atas kepala
           
            Aku akan menantang langit
            Bertemu dengan orang baru
            Bukan untuk mengajak mereka bertarung
            Melainkan berbicara satu sama lain
            Pakai rasa, dengan hati

            Aku akan menantang langit
            Tak perduli jikalau hari itu aku sudah terlambat
            Aku akan tetap datang
            Dan meminta maaf
            Untuk kemudian duduk bersama
            Dalam harmoni rasa
           
            Aku akan menantang langit
            Menancapkan duri-duri di dipan empuk dalam kamar
            Untuk kemudian berbaring dalam pangkuanmu.

            Aku akan menantang langit
            Menantangnya
            Memaksa bibir bergerak mengeluarkan kata meski ia kelu
            Melelehkan es keras yang membelenggu kaki

            Aku akan menantang langit
            Dengan kedua sayap yang sekarang ada di pundak
            Meski tidak terlihat
            Tapi bisa kurasa
            Sepasang sayap putih
            Pemberian dari yang Terkasih

            Aku akan menantang langit
            Dengan menjadi sebenar-benarnya diriku
            Menjadi diri sendiri

            Menjadi diri yang lebih baik