Rabu, 28 Desember 2016

Cara Terbaik Menasehati Diri



Aku manusia, dan seperti manusia pada umumnya aku melakukan banyak kesalahan.

Aku manusia, dan seperti manusia pada umumnya aku ingin merasa dinasehati ketika melakukan kesalahan. Meskipun terkadang mau dinasehati bagaimanapun juga, kadang hati ini merasa tetap saja bebal. Seolah-olah masuk telinga kanan, keluar begitu saja melalui telinga kiri. Atau bahkan masuk telinga kanan langsung keluar juga dari telinga kanan. Mental begitu saja.

Kita butuh nasehat, selalu membutuhkannya. Beberapa orang mampu untuk meminta nasehat dari orang lain, beberapa lagi memilih diam. Mereka memilih diam karena terkadang merasa ‘sungkan’ untuk meminta nasehat dari seorang kawan, guru maupun sahabat. Aku juga begitu. Terlalu sering malah.

Maka jika kita sudah meminta nasehat kepada orang lain dan orang tersebut merasa tidak enak untuk memberikan nasehat dengan terus terang, atau ketika kita dinasehati  seseorang yang ada justru kita merasa sebal dengan orang yang berbicara, mungkin itulah saatnya kita belajar untuk menasehati diri sendiri.

Lalu bagaimana caranya untuk menasehati diri sendiri? Banyak caranya. Beberapa orang memilih untuk merenung di tengah sepi, beberapa orang sepertiku justru memilih untuk menuliskannya. Ya, aku merasa salah satu alasan kenapa menyukai menulis sesuatu adalah karena dengan cara itu aku bisa menasehati diriku sendiri. Berbicara kepada diri sendiri.

Kadang aku menuliskannya sebagai suatu cerita, yang mana ketika aku membaca ulang aku tahu persis apa yang melatarbelakangi cerita yang kutulis sebelumnya. Aku tahu persis apa pesan cerita tersebut dan kenapa aku menuliskannya. Kadang sebuah cerita, kadang hanya sebuah tulisan lepas yang tak memiliki tema khusus dalam penulisannya.

Ketika kutuliskan sebuah cerita seorang anak kecil yang marah-marah karena mainannya rusak di tangan temannya, di saat itu pula aku sedang merasakan hal yang sama dan cerita tersebut akan berakhir dengan poin memaafkan. Tentu hal itu bukan berarti aku sedang marah dengan teman karena mainanku dirusak. Itu hanya sebuah adegan fiksi yang kubuat untuk menggambarkan kasus yang sama.

“Yang paling banyak mengerti diri kita, adalah Allah dan diri kita sendiri.” Orang lain hanya tahu secuil tentang diri kita. Tahu secuil kehidupan kita.

Maka dari itu aku menulis, karena menurutku menulis adalah cara terbaik untuk menasehati diri sendiri tanpa merasa dinasehati.

Menulis adalah cara terbaik bertanya sekaligus memperoleh jawaban karena sejatinya sebuah pertanyaan yang terlontar dari kepala, biasanya hati kita sendiri sudah tahu jawabannya.



Selasa, 27 Desember 2016

Nanti Kalau Aku Sudah Menyelesaikan Ini


                Pernahkah kita mengalami sebuah perasaan bahwa di waktu sekarang rasa-rasanya aktivitas kita bertumpuk. Atau pernah kah suatu ketika kita merasa harus fokus pada satu hal saja. Misalnya saja saya sekarang sedang di masa ujian akhir semester kuliah, dan berpikir bahwa nanti saja saya akan menulis lagi setelah uas ini selesai.

                Pernahkah seperti itu?
                Saya pernah. Sering malahan.

                “Saya ingin fokus skripsi dulu ah, nulisnya saya tunda hingga skripsiku selesai.” Rasa-rasanya itu begitu normal bagi saya. Mengesampingkan satu hal untuk lebih berfokus pada hal yang lain. Memberikan porsi lebih perhatian kita untuk sesuatu dengan mengurangi perhatian di sesuatu yang lain.

                Tapi lama kelamaan aku menyadari satu hal. Meskipun skripsi sudah selesai, aku tidak merasa lebih banyak menulis daripada ketika skripsi tengah menjadi garapan rutin. Meskipun aku menahan agar tidak menulis suatu cerita misalnya, tapi waktu yang kutahan itu tidak otomatis kugunakan untuk mengerjakan skripsi. Lalu di mana arti dari kalimat “Saya ingin fokus skripsi dulu ah, nulisnya saya tunda hingga skripsiku selesai”?

                Seolah kalimat tersebut aku gunakan untuk sebagai alasan agar tidak melakukan suatu hal tersebut. Seakan itu menjadi kalimat pemakluman yang begitu mujarab. “Wajar dong kalau kalau sudah jarang menulis, kan aku sedang skripsian,” toh nyatanya waktu yang tidak kugunakan untuk menulis pada akhirnya bukan untuk skripsi juga.

                Jika terjadi hanya satu atau dua kali mungkin tidak menjadi masalah, namun jika setiap saat? Skripsi, ujian, asrama, tugas, PR, organisasi, lomba dan banyak hal lain.

                Mungkin benar apa yang dikatakan oleh kawanku waktu itu.

                “Tidak ada barang yang terlalu mahal, yang ada hanya tidak dianggarkan. Tidak ada namanya waktu tidak luang, yang ada hanya tidak diluangkan.”


Minggu, 25 Desember 2016

Tentang Hari Wisuda




 “Ceritakan kepadaku tentang hari wisuda!” pinta Lana kepada si tukang cerita. Maka, si tukang cerita itu bercerita tentang Ikhsan.

Pagi itu langit berwarna biru cerah, biasanya tidak seperti itu. Beberapa hari kemarin Jogja selalu diliputi oleh rintik-rintik hujan. Kadang tidak cuma rintik, tapi lebih cocok disebut guyuran.

Sekian ribu orang di ruangan, ditunggu oleh sekian ribu pula kerabat yang di luar. Kepala mendongak dan menyapu pandangan ke pintu utama, berharap yang dilihatnya adalah orang yang sejak dari tadi dinantikan. Seorang mahasiswa yang telah berpindah temali topinya.

Ikhsan di sana, berdiri di antara gerombolan laki-laki dengan korsa biru. Gerombolan yang berseru ketika kakak angkatan muncul dengan senyum bahagia. Ikhsan di sana, memandang dengan bahagia pula kawan-kawannya yang tengah wisuda. Beberapa menghaturkan hadiah, beberapa lagi menyodorkan bunga. Tapi jelas, jumlah tawa yang ada jauh lebih banyak daripada beberapa hadiah dan beberapa bunga. Tawa ketika mengucapkan selamat, tawa ketika berfoto bersama.

“Itu Kamal datang, ayo kita geret dia,” sosok yang baru saja muncul dari balik kerumunan itu langsung dikeroyok dengan ucapan selamat.

“Jadi Kamal keren ya, kehadirannya selalu membuat ramai sekitarnya,”
“Kamu iri ya, San?” orang di sebelah Ikhsan berdiri berusaha menggoda.

Ikhsan diam sejenak. Siapa juga yang tidak iri dengan seorang yang menjadi terbaik di tingkat universitas, menuai banyak prestasi, ikut organisasi sana-sini, sering jalan-jalan ke luar negeri dan begitu supel sehingga diterima dan disambut baik oleh kawan-kawannya.

Mahasiswa mana sih yang nggak iri dengan hal-hal luar biasa seperti itu.
“Tapi aku lebih nyaman jadi diriku sendiri.”



Rabu, 14 Desember 2016

Senin, 28 November 2016

Buku yang Bertanya 2



“Jadi siapa yang tadi berbicara kepadaku?”

Aku merenung. Bagaimana mungkin ada deretan buku yang berbicara kepadaku. Mereka bertanya apakah yang kuinginkan dari sebuah buku. Apakah aku tadi hanya bermimpi ketika badan sudah dirundung lelah di pembaringan? Apakah itu hanya imajinasi ketika otak berkeluyuran kemana-mana karena bagitu capeknya? Ataukah memang buku tadi bisa bicara sewaktu-waktu entah kapan waktu pastinya? Semakin dipikirkan, semakin aku tidak bisa menjawab suara yang bertanya tentang buku tadi.

Kupandangi lamat-lamat deretan buku di sisi timur kamar kosku. Ada tiga rak yang berisi seratusan judul buku. Tidak semuanya buku-buku terkenal sih, kadang beberapa dibeli dari sebuah pameran. Sometimes, karena pemberian seseorang. Belum ditambah dengan buku-buku yang kudagangkan.

Sejenak diriku berpikir, mungkin saja waktuku untuk tetap tinggal di Jogja tidak lama lagi, beberapa bulan lagi sudah harus berpindah tanah yang kuhuni, dan untuk membawa buku-buku sebanyak ini, bagaimanakah caranya? Apakah aku akan menyetok lagi buku-buku yang jadi barang daganganku? Tapi bukankah usaha buku ini rasa-rasanya hanya bisa kulakukan di Jogja? Karena Jogja adalah tempat dimana kau bisa menemukan buku dengan mudah, terkadang ada event pameran yang membuat harga-harga di sini lebih murah.

“Kau tidak mungkin membawanya ke tempat “kerja” kelak, kan? Kecuali kau sudah punya rumah di sana. Lagian kau juga belum tahu akan kemana?”

“Ketika kita pergi, dan kita memikirkan ternyata tidak banyak yang kita bisa bawa ke sana, ternyata beginilah rasanya.”




Sabtu, 26 November 2016

Buku yang Bertanya



                Tangan kanan terasa berat, otak juga sudah tidak mampu berfikir dengan normal. Bermain dua kali badminton dengan rubber set semua membuat nafas tersengal-sengal. Sadar sudah tidak bisa bermain lagi, siang itu aku memutuskan untuk pulang duluan sambil rebahan di kamar.

                “Bruk” badan langsung ambruk di atas bantal, dengan kipas angin menyala setidaknya bisa mengurangi gerah akibat gerah dan panasnya matahari jogja. Dalam rebahan itu, kupandangi deretan buku-buku di rak kamarku. Aku amati mereka satu per satu, tiap-tiap judul. Antara posisi sadar dan sudah terlelap dalam tidur, buku-buku itu seolah bertanya kepadaku.

                “Mau kau apakan diriku?”

                “Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Buku yang bisa berbicara saja sudah membuatku terheran-heran, dan kini buku itu justru bertanya kepadaku mau kuapakan mereka.

                “Kau mau jadi makhluk seperti apa, apa yang sebenarnya kau inginkan dari kami yang berderet-deret ini?”

                Aku mulai paham apa yang dia tanyakan. Mulai mengerti apa yang dimaksudkan. Buku-buku itu bertanya padaku apa yang kuinginkan dari sebuah buku. Pertanyaan yang sederhan.

                “Aku ingin membaca dirimu dan sebanyak mungkin membaca teman-temanmu.”

                Buku itu seakan menyunggingkan senyum yang manis. Aku merasa ia seolah sedang memandangiku lamat-lamat meskipun aku tak tahu bagian yang mana dari buku tersebut yang menjadi matanya. Ia menarik nafas, dan buku itu mengatakan sesuatu.

                “Mambacaku, kan? Bukan memilikiku. Kau tidak harus punya semua buku, tapi kau harus membaca semua diriku dan teman-temanku.”

                Bunyi baling kipas angin kini terdengar di telingaku. Keringat juga masih mengucur dari tubuhku yang terbaringkan. Belum cukup lama terkena angin untuk mengering. Aku lihat kembali deretan buku di sisi rak buku kamarku. Mereka diam saja.

                “Jadi siapa yang tadi berbicara kepadaku?”

Yogyakarta, November 2016



Jumat, 25 November 2016

Apa Mimpimu?



            “Aku penasaran, sehabis lulus ini kau ingin melakukan apa? Menjadi apa?”

            Dia tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya terus menatap langit biru tanpa menoleh sedikitpun. Lima detik berlalu, ia kemudian menoleh ke arahku barang sedetik. Sedetik kawanku kembali menatap langit dan ia mulai berbicara.

            “Aku ingin jadi orang hebat!”

            “Itu sama saja dengan kau tidak mengatakan apa-apa. Orang hebat yang seperti apa maksudmu?”

            “Dunia yang berubah karena ada aku, meskipun cuma sedikit.”


Rabu, 16 November 2016

Dua Apel yang Digigit


16 November 2016

Seseorang gadis mungil memegang dua buah apel. Ibunya menghampiridan dengan lembut meminta saah satu apel kepada sang anak. Gadis itu memandang ibunya beberapa detik, lalu tiba-tiba dengan cepat dia menggigit salah satu apel, lalu menggigit pula apel yang lain. Sang ibu terdiam. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak kecewa. Lalu sang gadis mungil itu memberikan salah satu apel yang telah tergigit kepada sang ibunda, seraya berkata:

“Ibu, ambillah ini… ini yang lebih manis.”

Minggu, 13 November 2016

Salah Satu Inspirasi


13 November 2016

            Ada milyaran inspirasi yang gentayangan di sekitar kita. Bisa dari buku-buku, petuah orang yang kita kenal, kejadian di masa lalu, atau hanya dari sebuah film yang kita tonton sembari melepas penat.

            Untuk kau yang sedang belajar menulis ( itu berarti juga untukku si -_- ), kau bisa saja mendapatkan sebuah ide tulisan dari menonton anime. Beberapa tulisanku biasanya bersumber dari ide yang seolah terbesit di kepala sehabis menonton. Tentu aku tidak sedang menyarankanmu untuk selalu hanya menonton anime saja. Karena kembali ada milyaran inpirasi di muka bumi, kau bisa mendapatkannya dari jalan mana saja yang kau suka.

            Aku bukanlah penggila anime yang hafal sampai ratusan judul, alur cerita, nama dan watak tokoh-tokohnya bahkan sampai hafal di luar kepala dialognya. Hanya saja ada beberapa anime yang kurekomendasikan untuk kau tonton di kala waktu senggang.

1.      Ansatsu Kyousitsu (Assasination Classroom)

Apa jadinya bila satu kelas diberi misi untuk melakukan pembunuhan untuk membunuh gurunya sendiri? Awalnya ketika dapat rekomendasi anime ini, aku sempat berpikir “Gampang dong”, tetapi bagaimana jika guru yang dimaksud adalah monster bertentakel yang memiliki kecepatan 20 mach? Mereka, murid SMP kelas 3E hanya diberikan waktu 1 tahun sebelum kelulusan untuk membunuh guru mereka. Guru yang sama yang akan menghancurkan bumi di tahun depan jika mereka tidak berhasil membunuhnya.

Apa yang menarik dari anime ini?

Guru yang ternyata jadi target pembunuhan ternyata justru berusaha untuk mengembangkan bakat muridnya satu per satu. Jadi ada satu kelas sebagai tokoh utama, dan tokoh paling utamanya jelas si guru dan murid bernama shiota nagisa. Oh ya, dan kelas E adalah kelas dengan nilai murid terendah di sekolah. Mereka mendapatkan diskriminasi dari kelas-kelas lain. Dan perseteruan antara kelas E dan kelas A (kelas jenius) yang mewarnai misi pembunuhan mereka.


2.     Barakamon

Sampai saat ini aku belum tahu apa arti dari kata barakamon. Tapi ini anime slice of life ter… hmmm ter apa ya, teradem yang kutonton. Handa seishu adalah seorang kaligrafer, dia mendapatkan juara satu, namun di saat yang sama ada seorang kakek tua yang bilang bahwa kaligrafinya membosankan. Spontan karena merasa dihina, dia memukul si kakek tua itu. Dan akhirnya, ayahnya Handa meminta dia untuk tinggal di pulau (tempat terpencil – desa).

Kehidupan Handa di pulau lah yang menjadi inti dari cerita ini, tapi kau akan menemukan banyak cerita menarik di dalamnya. Menonton barakamon ini serasa menonton film tentang KKN. Dan yang paling menarik adalah Naru. Siapakah Naru itu? Tonton sendiri deh.


3.      One punch man

Kita terbiasa dengan cerita seorang pahlawan yang dari lemah, berlatih keras, kemudian berjuang mati-matian melawan musuh dan monster. Namun, bagaimana bila pahlawan yang menjadi tokoh utama dalam cerita terlampau kuat? Ia selalu bisa mengalahkan musuhnya hanya dengan satu pukulan. Anti-mainstream sekali.

Musuh terbesarnya bukanlah monster-monster besar nan kuat, melainkan anggapan buruk masyarakat tentang dirinya. Dimana di episode 8 atau 9 ia justru dimaki dan disalahkan atas rusaknya suatu kota.
           

           Tiga anime dulu saja ya, kau tidak harus menontonnya, tapi jika bingung mencari inspirasi, cobalah tonton di sela-sela waktu senggangmu saja. Sebetulnya adalagi anime lain seperti kuroko no basket dan boku dake ga inai machi. Tapi itu dulu saja.
           
See you…
Aku sangat menunggu ceritamu selanjutnya.




Rabu, 09 November 2016

Ditikam Sebilah Pisau dan Perkara Seujung Kuku


9 November 2016

                Kau pernah tahu rasanya bagaimana dadamu ditikam sebilah pisau? Kau tidak perlu pisau betulan untuk merasakan hal demikian, karena di waktu depan nanti kau pasti juga akan merasakannya. Dadamu serasa tiba-tiba tertusuk pisau belati, ketika kau sedang santai-santainya berbaring dan membaca buku, kemudian saat itu keluar jadwal pendadaran. Hari itu rasanya nyesek sekali. Lemes dan jadi mual sampai mau muntah (ini beneran pengalaman penulis lho).

                Padahal sebelum-sebelum ini, ketika melihat kawan-kawan lain selesai ujian sidangnya, dalam hati hanya bergumam, “ih jadi pendadaran itu gini doang, kok ya respon yang didadar gitu banget sih,”. Kita bisa berbicara seperti itu karena bukan kita yang mengalami hal itu di masa itu. Namun, pada akhirnya? Deg-deg an sampai perih.

                Setelah membaca lagi referensi-referensi, setelah mempersiapkan dua power point. Satunya berisi apa yang mau dipresentasikan, dan satu ppt lagi berisi apa hal yang mungkin saja ditanyakan. Ternyata badan masih tetap lemas juga. Gampang keringetan sehingga bolak-balik ke kamar mandi untuk mandi lagi (aish). Intinya, pagi itu merasa gelisah. Padahal kan ya kalau dipikir-pikir secara logika kita hanya perlu berbicara di depan empat dosen. Itu saja kan?

                Kemudian kutanyakan di sebuah grup, bagaimana sih mereka yang sudah-sudah menjalaninya dan bagaimana mengatasinya. Ada banyak tips-tips yang sedikit banyak mampu menenangkan. Telepon orang tua, doa nabi musa, bawa minum dan lain sebagainya. Tapi ada satu tips yang begitu mengena. Apa tipsnya?

                “Mas, coba deh sering baca innasholati, wanusuki, wamahyaya, wamamati, lillahirobbilalamin.”

                “Itu doa iftitah kan?”
                “Tau artinya kan?”

                “Sesungguhnya sholatku, (aku lupa wanusuki). Hidupku dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam.”

                “Yap. Apalagi “presentasiku”. Perkara seujung kuku dalam kehidupan ini.”
                Untuk nasihat yang terakhir ini, saat itu spicles.
                Apalagi “presentasiku.”
                Perkara seujung kuku.



Rabu, 02 November 2016

Berbakat


2 November 2016

            Namaku Jono, Teman-teman memanggilku Jon. Aku sekarang duduk di kelas 6 dan baik para guru dan teman-temanku menyebutku orang paling pandai di sekolah. Sudah tampak jelas alasannya tanpa harus kusebutkan bukan? Karena aku selalu mendapat rangking satu.

            Selalu.

            Selain dikenal sebagai siswa paling pandai di sekolah. Teman-temanku juga menyebutku sebagai pemain basket SD terhebat. Aku jadi malu.

            Aku jadi malu, karena aku tidak sehebat apa yang mereka pikirkan. Aku tidak sehebat itu.

            Aku mau bercerita padamu, boleh? Aku hendak bercerita tentang rahasiaku. Barangkali kau tertarik.

***

            Namaku Jon. Kebetulan aku suka basket. Orang tuaku membelikan ring yang dipaku di tembok dan sebuah bola basket ketika aku masih duduk di kelas satu. Maka semenjak saat itu aku sering iseng main-main melemparkan bola itu agar masuk ke keranjang. Kalau mau berangkat sekolah dan melihat bola basket  tergeletak di halaman rumahku. Aku pasti melemparkannya. Aku tidak peduli itu masuk atau tidak. Yang penting aku terus melempar bolanya ke keranjang. Dan itu kulakukan setiap kulihat bola di halaman rumahku.

            Kebetulan ketika kelas tiga, Guru olahraga kami senang sekali dengan mencari siapa paling hebat di antara kami. Misalnya saja jika pelajaran olahraganya berupa lari, maka kami akan diajak lomba lari antara aku dan kawan-kawanku. Di sekolahku juga ada sebuah lapangan basket  dan saat itu jam pelajaran olahraganya juga tentang basket. Dan kau pasti tahu apa yang dilakukan guru olahragaku kan? Beliau melatih kami sebentar untuk menembakkan bola ke jaring dan kemudian melombakannya sebagai ujian.

            Tidak ada satupun temanku yang berhasil memasukkan bola ke dalam jaring kecuali diriku (kau ingat kalau keseharianku adalah melempar bola ke keranjang saat melewati halaman rumah kan?). Saat itu guru olahragaku tertarik padaku.

            “Wah kau berbakat sekali Jon.”

            Padahal saat itu yang aku bisa hanya melemparkan bola ke jaring. Aku belum tahu soal dribble, mengoper ataupun teknik-teknik lain dalam bola basket. Kalau aku bandingkan dengan teman-temanku keunggulanku hanya sedikit di antara teman-temanku. Hanya bisa melempar bola dan kebetulan masuk saat diujikan. Itu saja.

            Tetapi sejak hari itu, guru olahragaku meminta untuk latihan bersama tiap sore di lapangan sekolah sedangkan teman-temanku tidak diajak seperti itu. Hampir tiap sore, kecuali di hari sabtu-minggu. Aku diberi latihan-latihan khusus, teman-temanku tidak. Aku diajarkan mendribble dan mengoper bola sedangkan kawanku tidak.

            Jadinya kemampuanku yang dulu hanya bisa lebih melempar bola menjadi jauh lebih tinggi dibanding teman-temanku yang lain. Perbedaan kemampuanku dan temanku menjadi semakin membesar.

            Padahal kupikir, jika teman-temanku juga ikutan latihan khusus dari guru olahragaku, pasti mereka sama hebatnya sama diriku. Bahkan bisa jadi lebih baik daripada aku.

            Sekarang kau tahu kan? Aku bukannya berbakat. Aku hanya beruntung saat ujian melempar bola, bolaku masuk. Dari situ aku mendapat latihan yang tidak didapatkan orang lain.  Maka sudah wajar kalau kemampuanku di atas teman-temanku yang tidak mendapat latihan sepertiku.

            Untuk aku yang selalu rangking satu. Kau pasti bisa mengira apa yang terjadi. Karena kebetulan nilaiku bagus, aku rangking satu. Karena aku rangking satu, aku jadi mendapat perlakuan yang agak berbeda dari guru-guruku. Kadang kalau aku tidak paham akan suatu pelajaran guruku akan lebih sabar kepadaku. Dan itulah kenapa aku selalu rangking satu.


Sabtu, 29 Oktober 2016

Aturan 10.000 Jam



                Dalam buku yang berjudul outlier karangan Malcom Gladwell, disebutkan bahwa jika kita sudah menggeluti suatu bidang dengan jam terbang sepuluh ribu jam, maka bisa dipastikan akan ahli di bidang  tersebut.

                Malcom memberikan contoh The Beatles, Bill gates dan Bill Joy.

                Nah jika kita menginginkan untuk ahli dalam bidang tertentu. Tanyakan pada diri, sudah berapa jam kah yang dihabiskan?

                Semisal seorang Irkham Maulana ingin bisa ahli dalam bidang menulis. Jika dia konsisten menulis 3 jam sehari (jarang sekali sebanyak ini), tujuh hari dalam seminggu, maka untuk mencapai angka sepuluh ribu dibutuhkan waktu 10 tahun. Jika menulisnya hanya 1 jam sehari maka bisa kita hitung sendiri, butuh waktu 30 tahun lamanya. Apalagi jika setengah jam sehari? Sepuluh menit sehari? Atau justru tidak rutin setiap hari?

                Tak heran jika mereka yang kita kenal sebagai seorang jawara di bidangnya, adalah mereka yang sangat menyukai apa yang sedang digeluti saat ini. Mereka yang begitu menikmati sehingga bisa menghabiskan dengan ringan enam jam delapan jam tiap harinya tanpa pernah merasa terbebani. Mereka senang saja melakukannya karena merasa sedang ‘bermain’.

                “Kerja lah untuk hal-hal yang kau senangi melakukannnya, maka kau tidak akan menemukan dirimu sedang bekerja, yang ada kau merasa bermain sepanjang waktu dan dibayar untuk itu.”

                Lalu? Semisal apa karena waktu yang dibutuhkan begitu panjang maka seseorang merasa pantas untuk menyerah dalam hal yang mereka sukai?

                “Ahh lama juga ya supaya bisa jadi ahli dalam menulis. Apa aku menyerah saja ah. Kelamaan” begitu?

                Tidak, tidak seperti itu.

                Kita akan menulis, berusaha menulis sebanyak mungkin. Sesering mungkin. Tidak peduli hanya sepuluh lima belas menit atau kurang dari itu.

                Meskipun semisal tidak mencapai angka 10.000, tapi paling tidak kita tahu sedang mendekati ke sana.

                *Btw, aku khawatir jangan-jangan saya sudah begitu ahli dalam hal tidur. Coba hitung sendiri berapa angkanya




Kamis, 27 Oktober 2016

Itu yang Terbaik

Aku ingin menuturkan kepadamu suatu cerita yang kudengar ketika aku duduk bangku SMA dulu. Cerita yang dituturkan oleh seorang kawan sebagai suatu pembuka tentang acara keagamaan tahun itu. Maukah kau duduk sebentar untuk membaca cerita ini?

                Jadi begini ceritanya.

                ***
                Dulu, di masa lampau tanah-tanah bumi tidak seperti sekarang. Kalau kita bisa menjelajahi waktu kembali ke masa lalu, masih banyak tanah-tanah yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun membentuk hutan. Maka dari itu, masih banyak hewan-hewan yang hidup dan berkeliaran di sana-sini. Rusa dan Kijang di antaranya. Rusa suka pohon dan itulah mengapa dia hidup di hutan. Kau tidak akan menemukan rusa di pekaranganmu sekarang karena yang ada di sekelilingmu saat ini hanyalah tembok-tembok tinggi menjulang dan mobil-mobil berlalu lalang.

Rusa tentu tidak suka tembok dan mobil.

                Saking banyaknya rusa yang berkeliaran, hewan ini sering dijadikan sasaran bagi mereka yang hobi berburu di hutan. Biasanya seperti yang sering kita dengar-dengar dari kisah-kisah jaman dulu, para keluarga raja-lah yang sering diceritakan gemar berburu Rusa. Tak terkecuali seorang Raja bernama Raja ini. Ingat nama Raja ini adalah Raja.

                Raja merasa tertantang ketika mendengar sebuah rumor bahwa di dalam hutan pedalaman yang belum pernah ia singgahi, terdapat seekor rusa yang memiliki tanduk begitu indah. Bercabang-cabang dan bersih berkilau bagaikan terbuat dari emas. Raja begitu tertarik. Maka Raja mulai menyusun segala persiapan untuk berangkat berburu lusa. (cerita tentang rusa bisa dilihat di sini)

                Kuda-kuda telah berjejer rapi, dan busur-busur telah ditenggerkan ke pundak Raja dan masing-masing prajuritnya. Pada keberangkatan kali ini, Raja mengajak serta penasehat kerajaan bernama Hakim. Ada yang begitu istimewa (untuk tidak dibilang aneh) dari pribadi Hakim ini, ketika dimintai nasehat dia akan selalu mengatakan itulah yang terbaik. Sejauh ini kalimat itu yang selalu keluar dari mulutnya.

                Raja dan rombongan telah tiba di hutan tujuan. Mereka memutuskan untuk menginap di sebuah gubuk kosong tak berpenghuni di tengah hutan. Meskipun tak semegah istananya, tapi Raja merasa beruntung bisa menemukan gubuk di tengah hutan seperti ini. Bahkan entah difungsikan sebagai apa, di dalam gubuk tersebut terdapat kotak bawah tanah yang dibatasi dengan jeruji besi. Persis seperti sebuah penjara.

                Malam itu, Yang Mulia Raja memutuskan untuk membantu mengupas buah apel di dapur. Para prajurit sempat menolak, namun sang Raja justru memaksa. Ia terus mengupas dan memotong-motong buah apel sambil bersenandung riang. Membayangkan bilamana Rusa bertanduk indah itu berhasil ditangkap.

                “Arghhhhhh!”

                Seisi gubuk menjadi panik mendengar sebuah teriakan keras. Para prajurit bergegas menuju sumber suara yang berasal dari dapur. Darah terlihat menetes dari sebuah jari kelingking milik seorang yang berteriak keras tadi, yang tak lain adalah Sang Raja. Jari kelingkingnya tangan kirinya telah putus terkena sebilah pisau.

                ***

                Keadaan mulai mereda, Raja tidak lagi menjerit kesakitan setelah ditangani oleh para prajuritnya. Namun, meskipun rasa sakitnya mulai berkurang, tetap saja kelingking yang telah terpotong tidak bisa disambung dan dikembalikan seperti sedia kala.

                “Hakim, sebagai penasehat kerajaan. Bagaimana pendapatmu tentang kelingkingku yang hilang ini?”
                “Saya turut bersedih, Paduka. Tapi itulah yang terbaik.”

                Wajah Raja seketika menjadi merah padam. Ia menggebrakkan meja dengan tangan kanannya (jari-jari tangan kanan masih lengkap. Ingat yang jari yang putus adalah tangan kiri). Memerintahkan para prajurit untuk menjebloskan Hakim ke dalam penjara bawah tanah atas jawabannya barusan.

                “Sialan, penasehat macam apa kau ini. Berani-berani bilang bahwa kelingkingku yang putus adalah yang terbaik?”

                Hakim diseret dan dilemparkan ke ruang bawah tanah. Penjara tersebut tidak akan terlihat jika tidak benar-benar menundukan kepala ke arah lantai. Hanya ada sedikit lubang seukuran lubang tikus untuk bernafas.

                “Itu yang terbaik!” ujar Hakim pelan di balik jeruji besi.

                ***

                Raja berangkat berburu paginya seperti yang sudah direncanakan. Di waktu berburu itu ia berharap agar bisa menjadi penghibur hati atas hilangnya kelingkingnya sekarang. Lebih-lebih atas jawaban kurang ajar Hakim kepada dirinya.

                Hutan pedalaman ini memang unik. Pepohonannya begitu rimbun sehingga terlihat garis-garis lurus cahaya yang menembus payung dedaunan. Rusa yang hidup di sini juga berjumlah lebih banyak dari hutan lain. Namun, hati Raja belum puas karena hingga sore menjelang, ia masih belum melihat sosok rusa bertanduk indah yang dirumorkan.

                Semua wajah tertunduk lesu ketika berjalan pulang ke gubuk singgah. Namun kemudian, mata Raja serasa tertusuk oleh sebuah kilatan sinar di tengah hutan. Ia beranjak selangkah demi selangkah dan yang ia temukan membuatnya tercengang. Rusa yang dari tadi dia incar tengah berdiri santai dengan rusa betina yang lain di pinggiran danau. Tanduknya memang begitu indah, lekak-lekuk dan percabangan tanduk rusa yang dilihat ini begitu berbeda dari rusa biasanya. Indah menawan. Selain itu, kakinya juga gemuk berisi, tidak seperti rusa lain yang kurus kering sehingga membuat lari mereka begitu lincah.

                Segera Raja dan rombongan berlari mengejar dan memburu Rusa bertanduk indah tersebut.

                Namun, derap kaki yang terdengar lebih banyak dari langkah kaki-kaki mereka. Raja mengejar si rusa, namun dirinya juga serasa ada sesuatu yang mengejarnya, langkah yang seakan sedang memburu Raja dan prajurit juga.

                Langkah mereka terhenti, dari arah kiri dan kanan mereka sekarang justru diserbu oleh sekelompok manusia. Pakaian mereka awut-awutan dan teriakan mereka begitu buas seakan kelaparan. Mereka hanya saling berteriak untuk berkomunikasi satu sama lainnya. Mereka adalah suku bar-bar yang tinggal di dalam hutan.

                ***

                Api unggun telah dinyalakan. Kuali besar pun telah diposisikan di atas api yang membara. Beberapa orang terlihat menceburkan lobak, dan sayuran ke dalam kuali tersebut. Tak lupa dengan rusa yang telah dikuliti ikut dilempar di kuali.

                Suku bar-bar yang tadi menyerang Raja dan prajurit sekarang duduk melingkar sambil meneriakkan suara-suara teriakan saling bersahut-sahutan. Sedang Raja dan prajurit terikat kuat sehingga tidak bisa bergerak.

                “Arghhhh…” teriak salah seorang prajurit.

                Dua orang suku bar-bar langsung menyeretnya tak kala ketua suku menyuruh mereka untuk memasukkan prajurit tersebut ke dalam kuali besar. Dan begitu seterusnya sampai ketua suku berdiri tepat di hadapan Raja.

                “Hei, aku Raja mu. Penguasa seluruh dataran negeri ini. Termasuk hutan ini!”

                Ketua suku hanya terus menatap dari kepala sampai ke ujung kaki Raja. Mereka jelas tidak tahu apa yang dikatakan Raja. Dan tentu saja mereka tidak tahu pula siapakah Raja itu. Malam ini, yang mereka tahu, mereka akan berpesta besar dan makan-makan sampai malam.

                Raja sudah begitu pasrah, ia hanya diam saja dan tertunduk lemas. Pikirnya pasti dirinya juga akan dilemparkan pula ke dalam kuali besar.

                “Huhuhu, Hahaha!” sekarang justru Tetua suka berteriak-teriak. Diikuti dengan teriakan dari suku bar-bar lainnya. Ia berteriak ketika matanya terhenti pada jari kelingking tangan kiri Raja.

                Mereka semua sekarang justru tampak begitu ketakutan.
                Sang Raja disuruh pergi dari hadapan para suku bar-bar.
                ***

                “Bagi suku bar-bar, ketika memakan yang tidak sempurna tubuhnya. Maka barang siapa yang memakannya ataupun yang mendekatinya, mereka percaya bahwa keturunan mereka akan terlahir cacat lebih parah. Dan jari kelingking Raja yang telah terputus akibat memotong buah apel membuat mereka mengusir Raja. Mereka suku bar-bar begitu takut kalau keturunan cacat.”

                Raja melangkah kembali dalam gubuk dengan perasaan sedih dan takut tak terkira. Di dalam gubuk pun, tubuh-tubuh para prajurit sudah tidak bernyawa. Dan ia mendengar suara seseorang dari balik jeruji bawah tanah.

                “Kaukah itu, Hakim?”
                “Iya, Paduka.”
                “Bagaimana kau bisa selamat?”

                “Untunglah Raja memenjarakanku di sini, ketika sekelompok suku bar-bar datang ke gubuk ini, mereka tidak tahu bahwa ada sebuah ruangan bawah tanah yang hanya ada lubang sebesar tikus ini. Aku melihat mereka dari bawah berteriak-teriak dan seakan bersorak sorai. Dan mereka tidak melihatku karena aku berada di ruangan sempit nan gelap ini, Paduka.”

                “Untunglah Paduka memenjarakanku. Terima kasih banyak.”
                Raja pun menangis. Ia membuka kembali gembok penjara bawah tanah tersebut.

                “Itu yang terbaik, Paduka.”
*****


Selasa, 18 Oktober 2016

Apa Manusia Bisa Terbang?



            Hei shiro, apakah manusia bisa berubah itu benar?
            Jika manusia ingin terbang, apa mereka bisa menumbuhkan sayap?
            Kurasa tidak.
            Kau tidak bisa mengubah dirimu, tapi kau bisa mengubah caramu melakukannya.
            Kau harus membuat jalanmu sendiri. Kau harus menemukan cara untuk terbang, meskipun kau tetap sama.
            Ayo kita pikirkan cara untuk menumbuhkan sayap agar kau bisa terbang.
            Kita masih punya banyak waktu.



Senin, 17 Oktober 2016

Kuliah Umum Kosong



                “Bom, kau besok datang ke kuliah umum dosen piter tidak?”
                “Hmmm… kayake tidak deh.”

                “Kenapa emang? Sibuk? Kuliah umum bersifat wajib lho ya. Kau tahu kan dosen Piter agak killer kalau tahu mahasiswanya ada yang bolos kuliah umum ini? Bisa-bisa dapat nilai E lho kamu ntar.”

                “Hmm… iya juga si. Tapi coba pikir deh, kelas kita jumlah mahasiswanya aja ada seratus orang, hilang satu dua kepala seperti punya kita ini juga nggak bakalan keliatan kok. Ya kan?”

                “Hmm… benar juga apa katamu, kalau Cuma kita saja yang nggak datang, nggak bakal keliatan dan ketahuan.”

                Bom dan Jon melanjutkan kembali santap lahap mereka di warung dekat kosan.
***

                Dosen Piter telah mempersiapkan file presentasi untuk kuliah pagi ini semalaman. Ia telah membuat materi sebaik mungkin sampai hanya tidur dua jam. Baginya, materi tentang etika, nilai dan kejujuran begitu penting untuk disampaikan kepada mahasiswanya agar kelak hal tersebut membekas di hati mereka. Mengetahui dunia paska perkuliahan bisa menjadi hal tak ternilai yang bisa disampaikan.

                “Ahh, pasti ramai kelasku ini karena aku sudah memberikan undangan dan pengumuman satu-satu kepada para mahasiswaku. Di bagian bawah pengumuman juga sudah kutuliskan bahwa kuliah umum kali ini begitu penting.”

                Dosen Piter telah masuk ke lobbi jurusan, bergegas menuju ruang kelas karena merasa tidak mau terlambat. Ia tidak ingin para mahasiswanya harus menunggu dirinya terlalu lama.

                “Krek!” bunyi gagang pintu yang diputar Dosen Piter.

                “Selamat pagi se…” kalimat tersebut tertahan karena ruangan kelas tak berisi satupun manusia di dalamnya kecuali dirinya. Bangku-bangku tak bertuan. Tidak ada satupun mahasiswa yang datang ke kelas.

                Semua mahasiwa berpikiran sama dengan apa yang Bom dan Jon pikirkan.
                “Pasti tidak akan ketahuan kalau cuman saya yang tidak datang.”
***