Senin, 23 Juli 2018

Mony



Mony adalah seekor monyet. Ia suka makan apa saja, selama itu bisa digigit, dikunyah dan ditelan. Tentu Mony tidak suka batu, karena ia pernah mencobanya dan yang ada malah giginya hampir patah ketika menggigitnya.

Mony juga awalnya mau makan rumput, tapi ketika ia memakannya, semua kawan dan monyet dewasa memandangnya dengan tatapan heran dan tidak percaya, jadilah Mony tidak mau makan rumput lagi meskipun sebenarnya ia suka. Rumput bukan makanan monyet, hal itulah yang ia terus percaya. Hingga pada suatu hari, Mony sesekali mencoba menelan rumput kembali, tapi ia muntahkan seketika. Padahal rumput yang sama dan tentunya rasa yang sama.

Suatu hari, ayah Mony pulang dari hutan di seberang lautan dengan membawa buah yang beraneka ragam. Pisang, semangka, buah naga, anggur, kelengkeng, manggis, tebu, dan lain-lainnya. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi ayahnya juga membawa bibit segala jenis buah yang ia bawa.

Dari itu semua, Mony sangat menginginkan pisang. Ia ingin segera mencicipinya, buah yang menurut para monyet di hutan tersebut adalah buah terlezat di dunia. Dan karena semua monyet bilang seperti itu, jadilah Mony percaya bahwa kelezatan pisang tiada tara. Mony tak ingin mencoba buah-buah lainnya yang selama ini belum pernah ia rasakan rasanya. DI pikrannya, hanya pisang, tak perlu yang lain.

“Mony, sayang. Sabar, Nak. Itu pisangnya belum matang, masih hijau begitu. Sabar ya, mending Mony simpan dulu beberapa hari biar matang dulu.”

Mony menahan air ludahnya berkali-kali.

“Baiklah, Pisang yang terbaik adalah pisang yang bisa dimakan!” Mony menyerah. Ia menyimpan sendiri pisangnya, menengoknya berkali-kali, menunggu pisang yang berwarna hijau untuk menguning.

Dua malam berikutnya, beberapa anak monyet di hutan tersebut dilanda sebuah penyakit. Penyakit yang kata tetua Monyet akan sembuh hanya bila diberi obat berupa pisang yang baru matang.

Melihat kondisi anak-anak monyet yang begitu parah dan menggigil, akhirnya Ibu Mony menawarkan pisangnya untuk dijadikan obat. Selang beberapa saat, anak-anak tersebut berangsur membaik.

“Terima kasih pisangnya, ya. Saya tidak tahu lagi bagaimana jadinya bila Ibu Mony tidak memberi pisang kepada anak-anak saya!” ujar Ibu anak-anak monyet tersebut penuh terima kasih.

Ibu Mony hanya tersenyum, di benaknya sekarang merasa bingung dengan pisang yang sudah habis. Pisang yang ditunggu-tunggu oleh anaknya, Mony.

“Ibu, pisang Mony mana?” Tangisnya pecah saat ia tidak bisa menemukan pisang yang selama ini ia nantikan. Ia sudah mencari kesana-kemari, tapi tidak kunjung ketemu juga.

“Pisangmu Ibu jadikan obat, Nak. Anak-anak monyet sebelah sakit parah, dan pisang yang baru matanglah yang jadi obatnya.”

“Tapi kan, Bu?” Tangisnya semakin keras, dari sudut matanya bercucuran air mata,  sambil memukul-mukulkan tangannya ke tanah. Mony menangis, untuk waktu yang cukup lama sampai ayahnya pulang.

Ibu Mony menceritakan semuanya kepada ayah.

“Mon, lihat mata ayah.”

Mony menoleh, masih dengan tangis yang cukup keras.

“Kan pisang itu juga buat kesembuhan teman-teman Mony juga, kalau teman-teman Mony sakit, ntar Mony mainnya sendirian dong. Kan nggak enak kalau mainnya sendirian doang.”

Suara tangisnya berkurang.

“Yang paling penting, Mony menangis meraung-meraung seperti ini. Apa cuma pisang itu yang Mony punya?” tanya Ayah Mony sambil mencoba untuk menyuapi sepotong semangka kea rah mulut Mony.

“Mony belum pernah makan semangka, kan?”

Mata Mony yang basah karena tangis, kali ini berbinar. Ia belum pernah makan semangka sebelumnya, dan tidak menyangka kalau rasa manis dan berair dari semangka bisa seenak itu. Ayah Mony kemudian menyuapi buah-buahan lain, dan Mony takjub dengan rasa-rasanya. Apalagi kelengkeng dan tebu. Ia tidak pernah berpikir, bahwa sesuatu yang berbentuk seperti tongkat itu bisa ia gigit dan mengeluarkan rasa manis yang luar biasa.

“Mony masih punya banyak hal lain, kan? Dan yang paling penting, ayah membawa hadiah ini. Bibit-bibit yang Mony makan tadi. Dari bibit ini, Mony bisa menanamnya sendiri dan Mony akan dapat buah yang lebih banyak lagi dari ini kalau Mony benar-benar merawatnya.”

Mony, mengangguk. Pisang yang ia tangisi, sudah tidak lagi ia pikirkan. Ia kini justru merasa bersemangat untuk segera menanam bibit-bibitnya.

Mony adalah seekor monyet, ia suka makan apa saja yang menurutnya dan terkadang ia suka makan rumput juga seperti sedia kala. Tak peduli bagaimana tanggapan monyet lain melihatnya. Ketika suka, ia akan bilang suka. Ketika tidak suka, ia akan bilang tidak suka.


 
Gambar dari sini

Minggu, 08 Juli 2018

Pamitan

Bukan menghilang, tapi hanya pindah rumah.
Bukan berhenti, tapi hanya sejenak menghela nafas.
Bukannya bosan, hanya saja sedang mencari teman.
Rumah ini adalah kosan, sedangkan yang ingin kudiami sekarang berupa kontrakan.

Jadilah pindah kesini,
http://www.anaksenja.com

Mampirlah di waktu senggangmu ke rumah kami,
Meskipun bukan cemilan yang disuguhkan, hanya cerita-cerita yang semoga bisa menggantikan renyahnya bakwan yang baru matang.