23 April 2016
Di sebuah keluarga yang kurang mampu, Dila selalu bersabar atas
semua mimpi yang ia simpan sejak umur 5 tahun hingga sekarang. Berkali-kali dia
mencoba agar Bapak dan Ibunya mau untuk memenuhi semua yang ia inginkan. Ia
hanya ingin menempuh jenjang pendidikan. Menangis, ia hanya bisa menangis
mendengar nasihat dari bapak-ibunya. Sebenarnya Dila itu pandai hanya saja
keadaan yang membuatnya harus berhenti belajar.
Sore
itu Dila berdiri menatap halaman belakang rumah dari jendela. Ia melamun dan
membayangkan ika ia bisa bersekolah. Jika aku bisa menjadi menjadi… Sulit
rasanya Dila mengarakan apa yang ia cita-citakan. Ingin rasanya ia berlari
meninggalkan semua kesulitan dalam kehidupannya.
“Dila
. . . Dila!” Suara ibu memecah lamunan Dila. Segera ia bangkit menuju tempat
dimana Ibu berada.
“Ada
apa, Bu?” kata Dila.
Sekarang
kamu bisa sekolah. Tapi . . . kamu harus tinggal di pesantren yang jaraknya
jauh dari sini.” kata Bapak.
Brukk!!
Dila jatuh di kursi kayu yang sudah reot.
“Kenapa
saat impianku akan tercapai aku harus berpisah dengan keluarga? Apa yang harus
kulakukan? Bagaimana pula nasibku di sana?” tentunya Dila menyembunyikan semua
pertanyaan itu.
“Bapak
dan Ibu sudah setuju kalau Dila sekolah di sana dalam waktu yang lama. Dila
harus terus belajar, makanya Dila harus bisa membanggakan kedua orang tuamu.
Dila jangan menyerah ya… Ibu sudah sangat kasihan kepadamu, tiap pagi hanya
bisa menatap temanmu memakai seragam dan membawa tas. Nah, saat inilah waktu
yang bisa kamu manfaatkan untuk mencari ilmu walaupun sulit.” Nasihat ibu
kepada Dila. Dila pun meneteskan air matanya. Ia tak tahan melihat ibu dan
bapaknya menangis hanya demi rasa kasih sayang seorang Bapak dan Ibu untuk
dirinya.
“Semua
transportasi, buku, tas dan yang lainnya sudah dipersiapkan. Sana sekarang kamu
mandi setelah itu bersiap-siaplah. Jangan nangis terus.” Ibu pun bangkit menuju
dapur.
Setelah
mandi Dila pun menyiapkan perlengkapannya. Setelah pukul delapan ia sudah
selesai menyiapkan semuanya. Ia pun segera pergi tidur.
Pagi
pun sudah tiba. Saatnya ia harus pergi menempuh kehidupan baru.
“Nak,
kalau di sana angan nakal. Kalau Ustadz menyuruh kamu jangan mengelak ya.” Kata
Bapak.
Dalam
hati ia berjanji akan selalu mematuhi semua nasihat-nasihat Bapak-Ibu. Aku
pasti bisa menjadi apa yang aku impikan.
23
April 2016
*Penulis : Rahma Sabilul Huda, Kelas 2 SMP
(dalam Training Semangat Menulis)
0 komentar:
Posting Komentar