Ada sebuah grup yang terdiri dari kumpulan alumni
asrama dulu yang kini tinggal di Jabodetabek. Dulunya sih sepertinya tujuan
grup itu dibuat agar ‘koordinasi’ manakala pada ribut kapan nongkrong, kapan
ketemuan, kapan meet up. Pas diingat-ingat, ya memang gitu pas isi grup lebih
banyak status bujang dan perawan daripada status istri atau suami, ibu dan
bapak dari seorang anak.
Aku ngiranya, saat status penghuninya proporsinya
berubah lebih banyak yang menjadi istri atau suami, grup ini akan menjadi sepi.
Tapi ternyata aku juga salah. Grup ini malah menjadi lebih rame karena sepertinya
bisa dijadikan pelarian untuk menceritakan sesuatu yang tidak bisa disampaikan
di grup besar yang berisi 60 an personel. Terlebih lagi, sering pula ada sosok
yang apapun topiknya, menjerumusnya ke topik patriarki lagi, lagi, dan lagi sampai
entah nggak tahu kapan. Kadang kesel, tapi lebih sering tersentuh apalagi
ketika bapak-bapak dan ibu-ibu yang beranak bercerita tentang apa yang
dipikiran mereka. Jadi semacam grup yang macam oven. Kok oven? Hatiku jadi
hangat pas bacanya.
Banyak sekali topik dan nyesel juga karena sejak lama
tidak menulis blog, tulisanku hanya tentang cerita pendek ataupun quote yang
kupost di status wa maupun feed ig. Hiks hiks.
“Karir untuk ibu hamil atau ibu ber anak bagaimana ya?
Mungkin ada ibu ibu yang ingin sharing.”
“Kuncinya musti ngantongin hal yang mendasarnya dulu
kar, “Ridho suami” titik. Karena secara nggak langsung dia pun akan berkorban
waktunya terbagi karena peran istrinya terbagi.”
“Hiks hiks” (Ya Allah komenku nggak mutu banget).
“Iya ini dilema juga bagi dia. For me, I just want her
to do what makes her happy aja” (ini yang ngechat cowok ya)
“Yes, mas ku dulu ngizininnya juga gitu gara gara ku
bilang bosen di rumah, tapi ada satu titik karirnya kadang nggak membuat si
istri bahagia dan suami yang bisa bantu nyemangatin lagi. Semisal lagi burn out
sama kerjaan, rasanya pingin resign aja titik pingin full bareng bayik, tapi
diinget-inget lagi ternyata alasan ingin berkarir di luar ternyata nggak hanya
meleaskan alasan bosen di rumah, wkwkw”
“Alasan lainnya adalah?” (hoy aku kalau nanya nggak
ngotak ya)
“Kalau aku pribadi, karena aku anak pertama dari
sandwich gen, jadi aku merasa punya tanggung jawab lebih walaupun ku anak
perempuan.”
“Agar ketika memberi ke keluarga tidak sungkan dengan
suami?” (keplok wae sirahku.)
“Yess, walaupun tetap izin dulu sih, tapi mau kasih
berapanya jadi lebih enak.”
“Berapa
emang menganggarkan ngasihnya?” (untung
chat ini nggak pernah terkirim, oh dasar diriku kalau nanya nggak kira-kira.
“Tapi kau merasa menanggung sesuatu nggak? Semisalnya
saja biaya kuliah adik” (Kham, menengo).
Di bagian ini, aku sebenarnya sudah merasa jedag jedug
jantungku. Kayak menunggu jawaban tapi juga berseru, don’t say, don’t say, don’t
say.
“Iyap, mas irkham, apalagi semenjak almarhumah ibu
ndak ada, terutama tabungan pendidikan adikku yang terakhir aku handover”
Duerrrrrr, aku terkaget sih ini.
“Aku masih bisa kalau memberi. Tapi kalau mengambil
tanggung jawab seperti ini. Ini sudah jossss banget dan di luar kemampuanku
sih.”
“Karena yang bisa ku balas budi ke ayahku adalah meringankan
beban pikiran beliau :” walaupun tetap nggak seberapa sama perjuangan beliau
yang bisa jadikanku sarjana.”
***
Kalau melihat konteksnya, seperti apa orangnya,
suasananya, semua chat di aas terasa mengena. Apalagi di bagian temenku
mengambil tanggung jawab untuk adiknya.
Memberi itu, kita ada lebih, kita berikan kelebihan
itu pada seseorang dan kita tidak memikirkan lebih lanjut orang tersebut.
Sedangkan mengambil tanggung jawab itu, kita benar mencurahkan segalanya untuk
orang yang dimaksud. Rela berpeluh, rela bekerja lebih larut, keringat menetes
lebih banyak, air mata kadang-kadang menetes di suasana hening demi memastikan
seseorang tersebut hidup dengan baik, bahkan meski hidup kita belum sebaik itu.
Sederhananya memberi dan mengambil tanggung jawab itu
seperti saat kita melihat kucing.
Saat melihatnya di jalanan dan kita memberikan secuil
makanan untuknya. Itu memberi. Besoknya kalau kita tidak melihatnya, atau kita
sedang tidak ada makanan, kita tidak terlalu mengkhawatirkan dan memikirkannya.
Tapi jika kucing itu kita pungut, kita kasih makan
rutin, kita bersihkan dia, dia kadang eek sembarangan yang membuat kita harus
mengepel atau menjemur kasur yang merepotan, kadang dia menggigit, kita belikan
makanan yang lebih mahal dari se porsi makanan kita. Kita rawat kalau sakit.
Itu semua adalah mengambil tanggung jawab.
Sesuatu yang tidak lagi sederhana. Mengambil tanggung
jawab itu berarti semacam ikrar, aku mengikatkan diri padamu, merawatmu,
bersedih akanmu, bersusah payah juga karenamu, agar kau menjadi lebih baik.
Kalau disederhanakan lagi di konteks obrolan di atas.
Aku
mengambil tanggung jawab atas adiiku adalah bentuk nyata karena aku mencintai
adikku.
0 komentar:
Posting Komentar