Sesekali bercerita tentang tontonan kartun lah ya. Tapi
kayaknya aku bohong kalau bilang hanya akan cuma sekali. Mungkin karena meskipun
yang ditonton adalah produk dari gambar, cerita fiksi dan yah kesannya kartun adalah
tontonan anak-anak, sebenarnya banyak pula adegan atau cerita yang menyentuh
sampai membekas di pikiran.
Tokoh tersebut bernama Zerofuku. Dia adalah salah satu
sosok petarung dalam cerita record of ragnarok. Sosok yang mewakili pihak dewa
dalam pertempuran antara dewa dan manusia di dalam arena. Tapi wujud dari Zerofuku
yang merupakan gabungan dari 7 dewa keberuntungan ini sungguh begitu kontras
karena ia tampak begitu menyeramkan dan dipenuhi dengan aura kebencian
“Dia lebih cocok disebut iblis ketimbang dewa”
“Dulunya, Zerofuku adalah sosok dewa yang paling baik
hatinya”
Sang tokoh narator dalam cerita pun mengungkapkan masa
lalu Zerofuku.
Dahulu kala, Zerofuku itu lebih baik hati dari dewa
manapun. Namun pemandangan yang menyambutnya saat turun ke dunia adalah
kesedihan dan kesedihan. Kematian, lanjut usia, penyakit, berpisah dengan orang
yang disayang, bertemu dengan orang yang dibenci, gagal mencapai tujuan,
depresi dan segala jenis kesedihan terpampang di depan mata saat mengunjungi
sebuah desa.
“Apa yang bisa kulakukan sebagai dewa untuk bisa membuat
orang-orang ini bahagia? Jika manusia menjalani kehidupan yang sedih maka
mereka pasti akan senang jikalau aku menghapus sumber kesedihan mereka dari
asalnya.”
Zerofuku akhirnya bisa menyembuhkan seorang anak kecil
yang sakit-sakitan hingga seperti tak pernah sakit sebelumnya. Yang Zerofuku
lakukan sebenarnya bukan penyembuhan, melainkan ia pindahkan sakit si anak ke
dalam dirinya. Ia menyerap sumber kesedihan si anak.
“Kuharap kau senang.” ucapnya dengan senyuman.
Zerofuku menemukan bahwa dirinya bisa membantu manusia
dengan menyerap kemalangan mereka agar hidup mereka bahagia. Jadi setelah menemukan
arti dari dirinya, dia mengembara jauh dan mengambil seluruh kemalangan manusia
di sepanjang perjalanan. Tubuhnya menjadi buruk rupa, dan tak ada keceriaan
lagi dirinya karena terlalu banyak kemalangan yang ia serap.
“Kuharap kalian semua senang. Kuharap semua orang
senang”
Walaupun dia harus menyerap banyak sekali kesedihan dan kemalangan. Walaupun itu membuatnya
merasakan sakit dan menderita. Zerofuku menemukan kebahagiaan dari memberikan
kebahagiaan itu sendiri kepada manusia.
Ia kemudian berpikir untuk menengok desa dimana ia menyembuhkan
seorang anak kecil yang sakit dan yang penduduknya ia ambil seluruh
kemalangannya dulu.
Pemandangan yang ia lihat, sangat jauh berbeda dari
yang dia bayangkan. Semakin banyak kemalangan yang dia ambil, para penduduk
justru semakin tersesat dalam kesenangan dan jatuh dalam kebejatan. Hingga ia
menyenggol seorang pemuda, dan pemuda itu justru menghinanya dengan pandangan
jijik dan umpatan dasar bocah kotor. Ia bahkan meludahinya. Zerofuku ingat,
sosok pemuda itu adalah anak kecil yang ia sembuhkan dulu dari sakitnya.
Sembari tersungkur ke tanah, ia masih tidak percaya
dengan apa yang ia lihat.
“Huh? Ini semua pasti salah. Ini tidak mungkin nyata
kan? Padahal aku sudah melalui begitu banyak demi mengambil kemalangan mereka.
Tapi kenapa aku tidak bisa membuat mereka bahagia? Tapi kenapa malah seperti
ini yang terjadi?”
Kemudian ia melihat sesosok manusia yang diikuti oleh
rombongan manusia lain. Mereka-mereka yang mengikutinya terlihat kurus kering.
Tapi Zerofuku melihat kebahagiaan di wajah mereka. Kenapa?
“Kenapa para manusia yang mengikutimu terlihat sangat
senang. Kenapa kenapa? Padahal aku sudah berusaha mati-matian menyerap
kemalangan mereka! Kenapa mereka tak tampak bahagia sedikitpun? Kenapa kenapa
kenapa?”
“Menyerap kemalangan mereka? Itu salah. Mereka jadi
semakin tidak bahagia. Kebahagiaan itu bukanlah hal yang bisa diberikan pada
orang lain. Itu adalah hal yang harus kau dapatkan sendiri.”
Zerofuku berlari, menangis dan tidak terima.
“Apa-apaan yang manusia tadi ucapkan? Aku sudah
berusaha mati-matian!”
Zerofuku terus mengumpat. Cinta suci dengan cepat menjadi kebencian. Ia justru ingin
menghancurkan umat manusia.
Ini kenapa aku malah jadi menceritakan panjang apa
yang ada di komik ya? Adegan-adegan selanjutnya adalah pertarungan dan
pertarungan. Namun pada akhirnya, yang membuat ini menarik adalah apa yang
disampaikan Zerofuku saat di arena.
Aku
menyelamatkan mereka, tapi tak ada yang berterima kasih padaku.
Wait-wait, aku mau disclaimer dulu. Mungkin saja kau
berpikir, halah begitu doang. Apa menariknya sampai kutuliskan sepanjang ini?
Iya kau benar, bisa saja sesuatu yang menarik buatku, tidak menarik buatmu. Dan
bisa saja sesuatu yang menarik buatmu, tidak menarik buatku. Aku sedang belajar
satu hal itu sih. Bantu aku latihan ya. Kalau aku dan kamu itu berbeda, tapi tidak untuk dibeda-bedakan.
Cerita sederhana tentang Zerofuku itu terasa something to me. Kenapa?
“Aku sudah senyum dan bersikap ramah di depannya, tapi
kenapa dia secuek itu?”
“Aku sudah menyapanya, tapi kenapa dia diam saja?”
“Aku telah membantumu, kenapa sikapmu seperti itu?”
“Aku telah memberimu segelas susu, kenapa kau tidak
tampak senang?”
“Aku sudah berbuat baik padamu, kenapa kau tidak
melakukan hal yang sama untukku?
“Aku telah
memprioritaskanmu, tapi kenapa aku bukan prioritasmu?”
“Aku merawatmu, tapi kenapa kau tidak menghormati dan
menyayangiku?”
“Padahal aku berjuang mati-matian untuk mereka, tapi
tak ada yang berterima kasih padaku.”
“Aku memberimu segelas susu, tapi kau guyurkan seember
air comberan ke mukaku?”
Jikalau bisa ditarik ke dalam sebuah rumus. Maka akan
menjadi seperti ini.
Aku
telah . . . . . . . . untukmu, tapi kenapa kamu. . . . .
Saat itu terjadi, makanan yang kita kunyah, tak lagi
selezat itu. Minuman manis, bisa jadi hambar, atau bahkan pahit. Usaha yang
kita lakukan, terasa melelahkan dan berubah menjadi beban. Keringat yang
berkucur menjadi menyebalkan.
“Kenapa
aku tetap harus begini, padahal dia begitu”
Cinta suci dengan cepat berubah menjadi kebencian.
Kebaikan tidak lagi terlihat. Semuanya hanya gelap. Gelap ketika kita
mengharapkan satu hal dari manusia.
Gelap ketika kita berharap manusia menunjukan Rasa Terima Kasih (yang seringnya
mereka tidak memberikannya) dan akhirnya berubah menjadi kekecewaan.
0 komentar:
Posting Komentar