Kalau dilihat dari postingan terakhir yang tercantum
tanggal 14 Juli 2019, sudah dua tahun lebih tidak merapikan pikiran di rumah
ini. Apalagi kalu lihat satu postingan sebelum itu, 7 Oktober 2018 yang
berjudul waktu terburuk, itu sudah tiga tahun yang lalu. Aku sendiri jadi
kelelahan karena tiap pembukaan tulisan, selalu diawali dengan niat untuk rutin
menulis lagi, lagi dan lagi. Tapi juga tidak konsisten lagi, lagi dan lagi.
Seolah-olah hanya euforia sesaat saja.
Dashboard juga sudah lama sekali tidak pernah kubuka.
Tapi malam ini aku iseng untuk membuka daftar bacaan (di blogger kita bisa
follow blog orang lain) dan merasa takjub dengan kawan-kawan yang masih rutin
menulis di rumah mereka. Aku berdecak kagum, karena tahu bahwa diriku belum bisa
mencapai di level mereka. Dua tulisan terakhir saja sudah tiga tahun berselang,
duh parah ya.
Padahal menulis selalu menjadi hobi yang menyenangkan
dan menenangkan. Menyenangkan karena kita berimajinasi ke segala arah penjuru,
padahal fisik kita sedang duduk bersila menatap layar. Menenangkan karena
menulis bisa sekaligus menjadi perantara untuk menata pikiran.
Padahal menulis selalu menyenangkan, tapi seolah akhir
akhir ini aku sendiri terjebak dalam mendefinisikan apa itu menulis.
Belakangan, menulis adalah merangkai huruf menjadi cerita, merangkai kata
menjadi cerpen, ata menghubungkan kalimat hingga menjadi penggalan cerita Raya.
Seolah menulis adalah tentang melengkapi Raya. Hingga akhirnya, kupikir
ketidakmampuanku dalam menulis, akibat sibuk oleh agenda latsar, tapi toh
ketika latsar sudah terlewati dan presentasi seminar aktualisasi juga sudah terlaksana,
pikiran dan badan masih tidak tergerak untuk menulis. Berarti menulis bukan perkara
tentang kesibukan kan?
Diriku selalu ingin bangun dari pembaringan, duduk
rapi bersila, dan melengkapi Raya. Tapi sepertinya mendefinisikan menulis adalah
tentang menggenapkan cerita Raya adalah sebuah kesalahan. Dulu aku menulis
tentang apa saja, terkadang hanya sepenggal kata, selarik quote, paragraf yang
ada di kepala, cerita hewan, cerita kegiatan atau agenda asrama, tentang adegan
dalam sebuah tayangan bahkan tentang puisi yang ingin kutuliskan ulang yang
berjudul Kota tanpa Diriku. Dulu, menulis adalah sebebas itu, dan karena bebas
itulah, terlahir sekitar hampir 300 postingan di rumah ini.
Dih intronya panjang bener.
“Seharian ngapain aja?” (aku selalu suka dengan
pertanyaan ini, tapi baik jawabanku maupun aktivitasku, juga tidak begitu
menarik untuk kuceritakan)
“Paling mantau live score mu tadi.”
“Ya ampun, aku aja nggak lihat” (dia tuh, bahkan
lokasi tes aja bisa salah pas di hari H)
“Udah lama ga nyodorin cerita ya” (pas baca ini, jadi
merenung, kemudian akhirnya buka dashboard blogger lagi)
“Sepertinya aku butuh asupan, karena semacam stuck sih”
(semacam kangen baca buku sih)
“Mau tak ceritain pengalamanku di krl kemarin ga?”
(aku selalu menunggu ini, dan mana mungkin aku nggak mau)
“Jadi kemarin sejak dari stasiun manggarai bareng sama
seorang ibu dan bapak tunanetra. Si ibu berkata : Duit kita tinggal 100 ribu
ini (dengan nada bingung), si bapak terdiam sesaat kemudian beberapa saat
kemudian dia pun berucap : bersyukur ya kita masih dapat rejeki. Si ibu pun
menimpali : iya ya”
“Kebayang ga sih gimana rasanya jadi mereka?”
“Saat itu. Apa yang kau pikirkan?”
“Terharu. Mereka yang kekurangan (di mata kira orang
normal), masih bisa bersyukur. Padahal duit di kantong tinggal 100 ribu.”
“Aku juga mikir, mungkin ini ya definisi cinta tanpa
memandang fisik”
“Kayaknya orang-orang yang diberi kekurangan, justru
punya kelebihan pandai bersyukur dan ikhlas dibanding kita yang normal. Ironi
ya”
“Pengen tak gandeng, ibu mau kemana? Tak anter. Tapi
badanku puegel” (Padahal suasana cerita nya sudah dapet, tapi bisa bisa nya dia
melawak di akhir kalimat. Wkwkwk)
“Jikalau entah bagaimana ceritanya. Keadaan ini
terjadi pada dirimu? Gimana tuh?”
“Bagian ga bisa liatnya? Atau seratus ribunya?”
“Bagian seratus ribunya. Karena bagian yang ga bisa liatnya
sudah di luar imajinasiku.”
“Ya bersyukur saja”
“Di bayanganmu. Kau bisa bersyukur?”
“Misal nih, di kantongku ada 0 rupiah. Kok logikanya
masih tetap harus bersyukur ya. (semoga) masih punya iman, masih sehat, masih
bisa nyari rizki entah gimana caranya. Semoga.” (Aku tipikal orang yang ketika
bertanya dengan seseorang, hobi memprediksi orang lain akan menjawab dengan
jawaban seperti apa. Tapi jawaban ini, entah bagaimana tidak masuk dalam
skenario pilihan jawaban. Aku sampai terdiam pas bacanya).
Tulisan ini berjudul pesan antara dua orang, dan
sampai sini saja yang ingin kubagikan. Dan seperti apa yang di awal aku
sampaikan. Menulis harusnya bisa tentang apa saja dan darimana saja. Seperti
malam ini aku yang hanya ingin berbagi pesan yang disampaikan oleh seseorang.
Berbagi saja
Toh yang dibagikan, tidak membuatku kekurangan.
Berbagi saja
Toh dibaca orang atau tidak, bermanfaat bagi orang
atau tidak, tapi itu sudah menjadi pengalaman dan layak untuk dirapikan.
0 komentar:
Posting Komentar