Hari kedua tidak berjalan dengan lancar, tapi aku jadi lebih mengenal diriku sendiri. Aku itu orang yang pendiam, diriku sudah lama mengetahui hal ini dan nampaknya juga sudah sangat paham. Tapi entah kenapa aku baru mengerti juga, kupikir pribadi yang pendiam biasanya sepaket dengan pribadi yang tenang. Logikanya begitu? Seorang yang terbiasa tidak banyak berbicara, dia memikirkan kata-kata sebelum keluar dari mulutnya. Maka apa yang terucap dari bibirnya, tertata rapi, tenang dan menyakinkan.
Aku sempat mengira, pribadi yang pendiam selalu sepaket dengan pribadi yang tenang. Tapi nyatanya tidak, aku tergesa-gesa, aku tidak bisa berpikir sebelum mengucapkannya. Tanganku bergerak-gerak tidak karuan, aku sering menutup muka, aku menampilkan senyum dimana bibir kusimpan terlalu dalam (aku merasa senyumku yang seperti ini bisa saja disalahartikan). Kalimatku sering tidak terdengar, kosa kata yang keluar tidak tersusun berurutan. Petakilan.
Aku selalu merasa terdiam saat berkendara motor pulang. Diam dimana seperti ada air yang menghalangi pandanganku akan jalan. Aku berpikir bisa saja orang-orang setelah terjadinya sebuah pertemuan, menemukan bahwa diriku dalam teks dan diriku dalam dunia nyata adalah dua orang yang berbeda. Bisa saja orang akan merasakan keraguan setelah tahu bahwa diriku pendiam, tapi juga bukan pribadi yang tenang.
“Aku mengatasi satu wujud yang memiliki perasaan saja, aku kesulitan. Bagaimana mungkin aku menambah wujud-wujud lainnya?” jawaban macam apa ini.
Hari kedua tidak berjalan lancar, sebagaimana setidaklancar dulu ketika menjalani sesi wawancara penerimaan kerja. Ketika aku menjawab dan menatap wajah mereka yang bertanya, aku seperti melihat wajah yang tidak puas karena mungkin saja jawabanku, mungkin juga cara menjawabku, atau mungkin juga pribadiku.
Hari kedua tidak berjalan lancar, tapi ada kabar baik juga yang baru aku tersadar. Ternyata aku bisa lupa batuk dalam dua hal. Yang pertama ketika badminton, dan yang kedua ketika mengobrol dengan seseorang. Padahal aku sudah siap jaket di pangkuan, mbok menowo, uhuk, terus jaketnya bisa kututupkan ke mulut biar mengurangi suara uhuk yang terdengar. Aku sudah siap minyak angin di tas.
Malam ini aku merasa, sepertinya aku terlihat seperti anak kecil yang sedang meminum segelas kopi dari sedotan.
Semisalnya saja kau membacanya, tulisan ini bukan tentang apa-apa ya. Aku hanya sedikit merasa bersalah, karena aku tidak seperti diriku di bayanganku.
(Tulisan
ini ditulis sambil mendengarkan instrumen Mitsuha yang sedang menaiki kereta
menuju ke kota)
0 komentar:
Posting Komentar