Senin, 27 September 2021

Bakul Cilok


Kukira bakul cilok itu karena aku bisa memanen cilok dari pipi. Tinggal cubit pipi dengan telunjuk dan jempol membentuk lingkaran, terus tinggal ditarik. Aha, dapatlah cilok. Jadilah tulisan ini judulya bakul cilok, meskipun awalnya ingin kuberi judul Hari Ketiga.

Jumat malam kemarin, mantan teman-teman satu departemen di pabrik yang dulu pada berangkat untuk liburan ke Bandung.

“Mantapppp. Have fun guys” (huruf p nya perlu 4, aku bayangin kalau kuucapkan itu p nya harus berdengung sambil mingkem lama)

“Parani nggak mas? Iseh 1 slot kursine”. Jadi perjalanan mereka menyewa dua mobil, dan temenku ngajak karena mungkin biar iurannya lebih ringan, padahal yo nambah satu orang juga nggak terlalu ngefek juga kan pengurangannya.

Nah jadilah aku kepikiran, itu chat nya Jumat siang selepas jumatan. That’s why aku ngechat, mbok menowo barangkali bisa jumpa di Jumat Malam, terus buru buru pulang, barangkali jadi bisa ikut ke Bandung karena mereka baru berangkat jam 11 malam dari Cilegon. Oportunis banget ya, wkwkwk.

Tapi untunglah, tetap di hari Sabtu. Untung banget tidak jadi, karena aku sendiri nggak kebayang, saat duduk sambil gemetara, chat dari bos masuk, minta bahan presentasi diperingkas dan dibuatkan naskah untuk bahan materi di hari Senin. Pas curi-curi baca WA aja sudah harap harap cemas, ini teks chat nya lebih membuat cemas kuadrat. Aku masih nggak bayangin sih, kondisi nggak bawa laptop, pinjam laptop linux punya teman, tapi kok merasa buntu pikirannya. Kejadian ini juga semacam menemukan kesadaran yang baru, manja banget aku kalau kerja kudu menatap layar laptop sendiri yang berdebu dan penuh gelembung karena nggak pandai memasang screen protector, nggak bisa pakai laptop orang. Dih.

Aku masih nggak kebayang, kalau hari itu ke Bandung, kayake bisa jadi cuma panik tak bersolusi pas harusnya senang senang karena sedang liburan. Siapa pula orang yang akan bawa laptop ketika mereka menikmati liburan karena saking banyaknya penat di keseharian?

Kembali ke hari Jumat, check list hari itu, mencuci, potong rambut, servis motor dan beli lapis talas bogor. Mencuci karena outfitku cuman jeans, dan saat itu sedang kotor, hiks hiks. Potong rambut? Karena rambutku kalau panjang jadi bergelombang dan mengembang persis kayak bakpau (apa singa ya?). Intinya kalau panjang, rambutku bisa ditekan terus kerasa ada ruang hampa di batas antara rambut dan kulit kepala. Servis motor? Serius deh, kalau nggak ada hari Sabtu kemarin, entah motor bakal terservis kapan. Semenjak mampir ke dealer dekat kosan jam 9 pagi dan tertolak gegara sistem online atau antrian apalah itu karena corona, jadi mager servis motor, hiks hiks. Jadi emang berfaedah sekali hari Sabtu buat motor hitamku (Hey tor, kowe perlu matur nuwun sama hari Sabtu). Yang terakhir adalah Lapis talas bogor, pernah sempat kepikiran kalau beli langsung ke Bogor, ceritanya mau naik KRL nyampe Bogor, beli, terus langsung pulang. Wkwkwkw segabut itu pikirannya. Ya karena katanya kalau di Bogor bisa murah harganya. Padahal ya niatnya cuman beli dua kotak, dan saat kalkulasi harus jalan kaki,  busway, KRL – KRL, busway, jalan kaki, lah malah jadi mahalan di perjalanan. Kepikirannya beli pakai gofood, biar dibeliin dan dianterin sampai depan kos. Tapi njuk kepikiran lagi (kakehan mikir yo) kalau disimpan semalam di kamar, dirubung semut nggak yo. Lapis jadi satu uncompleted mission.

Jalan jam delapan pagi. Nggak bisa ngebut, satu karena nggak tahu jalan, dua karena mencari-cari barangkali ada toko lapis yang kemarin sempat nggak dibeli. Pokoknya kalau nggak lapis itu, ya amanda. Cuma dua itu kepikirannya, eh ternyata beneran ketemu dua-duanya di satu kawasan yang bersebelahan. Ada keuntungannya ternyata kalau motoran itu. Ngikutin gmaps, dan nggak enaknya kalau sendirian terus modal cuman gmaps jadi nggak tahu kalau ada fly over, ambil bawah apa ambil atas. Gmapnya nggak ngomong apa-apa. Diem aja kayak baperan. Fly over pertama, oke berhenti dulu di pinggiran. Ambil hp dari tas slempang, lihat peta nya, oh ternyata lewat atas. Fly over kedua, karena masih diem aja gmap nggak ada suara, ya pilih atas dong (bener nggak sih, karena kejadian pertama, jadi pelajaran buat kejadian kedua), dan ketika motor sudah berada pada posisi di angkasa, si gmap bilang belok kiri. Gmap nya nyuruh motorku terjun ke kiri dari fly over atas. Sudah gitu, entah sehabis ngelawatin nama jalan Jatireja apa ya, jalan yang kulewati semacam kebon orang. Haish

Sampai di dekat lokasi, masih jam 9.50. Karena sudah diingetin ontime, jangan kecepetan (aku masih gagal paham, biasanya orang ngingetin ontime itu berbarengan dengan jangan telat), akhirnya minta tolong gmaps yang sudah sempat membuatku kecewa tadi, ketik masjid terdekat. Ketemu Muhajirin. Markirin motor kesitu, beli es teh pake plastik dari warung dekat masjid, sruput. Buka hp lagi, kalau bisa jangan jam 10 pas. Ya mampir ke masjidnya dan tetiba kok rasanya pingin pulang ya, hiks-hiks. Akhirnya duduk di teras masjid dan berdoa sembari menunggu.

Aku juga baru sadar, kalau disuruh bicara formal, aku pasti menawarkan jowonan opo bahasa indonesia? Terus milih jowo, padahal bahasaku ngoko, terus jadi nggak lancar ngomongnya, terus usul pakai bahasa indonesia, yo plintat plintut neh. Aku sampai ingin usul ada bahasa baru, yaitu bahasa kalbu. Jadi apa yang ada di hatiku dan pikiranku bisa terucap tanpa harus ada suara yang keluar dari mulut. Ya semacam telepati, dan masih sempat sempatnya aku mengkhayal kalau saja ada telepati, pas sedang berbicara.

Diriku yang kukenal adalah orang kikuk. Aku sampai bertanya ke orang, tentang topik obrolan dan juga tanya kepada orangnya langsung. Bayangin yo, misal aku ada rencana ketemu sama seseorang, terus beberapa hari sebelum ketemu, orangnya kuchat.

“Nanti kalau ketemu, mau ngobrolin apa?”

Makanya iri banget sama orang yang pandai bicara, kalau orang dengernya bisa ikut ketawa-tawa, balok es nya jadi air (mencairkan suasana maksudnya).

Kalau aku pulkam, ibuku selalu ke pasar, beli bebek utuh, dipotong-potong sendiri, dimasak, terus aku disuruh makan yang banyak. Tidak cuman perihal bebek sih, pokoknya pas di rumah, aku dadi tukang resik resik. Resik-resik maeman maksude. Pulkam kemarin juga pas balik jakarta jadi umbelen. Hidung meler. Kayake karena anak kos kalau lihat kulkas jadi kegirangan gitu ya, jadi hawanya pingin bikin es terooooos.

Terus ternyata aku merasa amazing denger pembicaraan antar orang tua tentang pilihan pendidikan anaknya. Pilih pondok pesantren mana, cari opsi-opsi yang tersedia, survei sana-sini. Pemandangan yang sesuatu banget. Soale mungkin dulu aku nggak ngalamin hal yang kayak gitu. SD sampai kuliah, milih sendiri. Sekarang sempet kepikiran sih, kayake pingin gitu masuk ke sekolah pondok pesantren. Sepertinya hidupku akan lebih baik. Tapi hush hush, nggak boleh gitu kham, kau yang hari ini adalah kumpulan dari dirimu yang masa lalu, dan pastilah jalur hingga sampai ke keadaan seperti ini adalah pilihan terbaik dari Allah.

Akhirnya ke kosan temen, tujuh kilo perjalanan tapi kerasa dekat sih.

Di kos temen, tadinya mau langsung ke karawang, eh tapi ternyata temenku lagi pilek dan temen yang hendak kita kunjungi masih ada bayi di dalam keluarganya. Akhirnya ya kita urungkan. Rebahan, nungguin temen potong rambut sambil menggigit ayam di pinggir jalan (dekat tempat cukur, ada penjual gerobak ayam tepung, daripada nganggur bengong nungguin orang potong rambut, ya belilah dan langsung disantap tanpa pakai piring. Sedih ya, pengisi waktu luangku adalah makan. Hiks hiks. Beli pecel madiun, mendoan dan sekoteng (dimana mana kalau ditawari pecel yang sebenar-benarnya pecel, pasti nggak bisa nolak). Terus pura-puranya pinjam laptop, eh ternyata tetap mampet pikiran nggak ada ide buat ngerjain kerjaan.

Besoknya sarapan jam 6, di warteg prasmanan di jalan Kasuari 9 dan langsung buru-buru pulang. Hiks hiks.

Pas sampainya di kamar kos, padahal pingin tidur, tapi kalau bos nelpon itu, kayak neror, makanya sering nggak kuangkat (plis jangan ditiru ini). Daripada diteror kan ya, jadi pilih langsung ngerjain. Lancar sih ngerjainnya ternyata kalau pakai laptop sendiri. Tapi ya tetap memakan waktu juga.

Selesai tuh, kukira bisa langsung tidur. Tapi ternyata kalau tidur direncanakan, jadi nggak bisa tidur lagi. Hadeh

Dan sampai paragraf ini, ternyata tulisannya sudah 1276 kata. Sudah lebih panjang dari cerpen yang selama ini kubuat -,-

Closingnya? Aku masih bingung, kayake setiap tulisanku biar yang baca metik suatu hikmah, atau minimal kata mutiara, atau sesuatu penutup yang worth lah kan lumayan juga kalau dibaca sampai habis tulisan ini bisa 10 menitan.

Denger cerita orang tua yang memikirkan pendidikan anaknya itu amazing banget sih. Melihat mereka pusing, aku nggak bisa nahan senyum (ini amazing apa julid sih). Tapi kata orang lain itu adalah hal biasa. So kata mutiara sebagai penutup tulisan ini adalah.

“Tunjukanlah hal biasamu padaku sebanyak-banyaknya, bisa jadi hal biasa itu malah hal yang luar biasa yang aku terkagum karenanya”

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar