Minggu, 14 Juli 2019

Deklarasi dan Persiapan

Aku tidak lagi percaya yang namanya deklarasi. Entah deklarasi akan menulis, ataupun deklarasi tidak akan menulis lagi.


Aku akan menulis, karena aku ingin menulisnya. Dan aku tidak akan menulis, karena hanya ingin tidak menulis saja.


Itu saja sih intronya, intinya ingin lagi mengisi disini. Tempatku berdiam diri dan menuliskan sesuatu dengan senyum. Percaya atau tidak, entah kenapa perasaan begitu produktif justru timbul ketika duduk manis menatap layar dan menarikan jemari di atas keyboard. Tak ada uang yang dihasilkan, tapi pada saat itu, hati merasa tak berlubang lagi (sementara). Sejatinya keseharian itu harus diisi dengan sesuatu yang mampu mengisi lubang di hati kan? (Halah ngomong opo kham).


Awalnya hanya berniat mengajak makan tetangga kamar, karena dia sedang ngidam richesse dan aku yang notabene belum pernah sekalipun tau rasanya makanan di sana, jadi interesting.


“Mron, apa ke richesse nya sore ini aja?”

“Pingin sih, eh tapi rencananya sore ini mau ke tempatnya asep di taman krakatau!”


Mikir keras, dan jadilah aku justru ikut saja ke tempatnya temennya temenku yang sekarang jadi temenku itu.


Sebenarnya alasan kita mampir ke tempat temenku itu karena ingin lihat dan turut menyaksikan (halah emang butuh saksi?) rumah yang baru ia beli di komplek perumahan daerah cilegon (apa serang ya?).


Mantap nggak sih, dia lebih muda dariku dan secara sudah punya rumah atas nama miliknya.


Ejek-ejekan dan guyonan sudah biasa menjadi pengantar. Tetap kawan kosku yang besoknya akan menjalani MCU. Tentang numpang menumpang, dan cerita tentang permasalahan pabrik. Sekarang kalau ketemu sama temen itu yang diomongin masalah pabrik ya dan lima huruf diawali n diakhiri huruf h.


“Tapi kham, sebenarnya yang sulit itu nantinya adalah hidup bertetangga.”

“Lho, kok?” aku penasaran dengan statementnya.


“Ini aku yang notabene bujang aja nih ya, kan aku ngecor halaman depan rumah ya, tetiba ada tetangga komentar, eh emang udah punya mobil ya? Aku nggak ngerti sih maksud pertanyaan itu apa sebenarnya, tapi nadanya tidak enak saja terdengar di telinga.”


“Aih masak gitu sih?”


“Tidak hanya itu. Kan depan rumahku juga bujang, kebetulan dia pasang tralis dan AC. Terus tetiba tetangga ngomong, mas itu rumah depan aja beli AC, mas nggak pingin? Ya intinya kayak persuasif banget.”


Temanku itu sampai berpikiran, kenapa sih seolah sesama tetangga ini saing membandingkan. Dia pasang tembok belakang yang agak tebel dikomentarin emangnya mau bikin rumah tingkat? Aku aja sampai puyeng denger respon-respon dari ceritanya.


Terus dia bilang, oke mungkin bagi kita-kita yang akan jarang berhubungan dengan tetangga karena pagi siang sore bekerja di pabrik, tidak akan begitu terganggu dengan hal seperti itu. Tapi temenku khawatir, kalau kalau kan istri dan anak yang akan sering bergaul, dan omongan tetangga itu bisa merusak ‘mood’ bahkan kebahagian orang.


Aku hanya bisa manggut-manggut dan khawatir.


Aku tanya sana sini mengenai biaya-biaya, karena dia pun mempersilakan aku untuk bertanya. Dan nominalnya pun juga tidak bisa dibilang sedikit.


Alamak, masih banyak sekali yang perlu dipersiapkan. Masih terlalu banyak dan parahnya rasa-rasanya aku hanya berjalan di tempat.


“Kamu itu jangan mikirin rumah dulu, nikah dulu aja!” celetuk salah satu teman.


Pada akhirnya, aku sendiri kok merasa tulisan ini tidak punya alur ya? Ya biarlah, dari dulu apalagi udah jarang banget nulis beginian, mohon dimaklumi saja.


Aku sering kepikiran, ada satu keputusan yang bagiku terasa paling sulit untuk memutuskan, menikah.


Kenapa? Dulu kalau milih sekolah, gampang, kita tinggal cari sekolah yang terbaik, favorit lah kalau mau dibilang saat ini. Satu kata yang katanya akan dihapuskan dengan sistem zonasi. Kuliah? Ya cari jurusan yang sesuai dan universitas yang terbaik. Kerja? Coba saja dulu untuk menggali experience.


Lah menikah? Di dalam memilihnya, tak ada definisi terbaik. Dan aku bingung karena aku tidak begitu banyak punya kenalan. Ah sudahlah, endingnya kok malah aku jadi tambah pusing sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar