Janji telah dibuat, sehabis dhuhur dirku akan
menemui seorang kakak tingkat untuk meminjamkan buku biru dan buku hijauku.
Sebenarnya hari ini tidak ada kuliah karena minggu ini masuk minggu tenang. Tak
ada keperluan khusus yang mengharuskanku pergi ke kampus. Tapi entah mengapa
aku ingin menemuinya, meminjamkannya. Mengantarkan buku itu untuk dia baca.
Mungkin
ini yang disebut sebagai kebahagiaan penulis. Mereka mereka bisa bahagia bahkan
karena alasan sederhana. Tulisan yang dibuat hendak dibaca orang. Pikirnya
barangkali dengan itu bisa memberi manfaat bagi kawan. Berharap melalui deretan
huruf itulah kebaikan bisa tersampaikan.
Jam
menunjukan pukul setengah satu kurang dan aku memutuskan untuk mampir ke bank
guna cetak rekening koran. Pikirku dengan berangkat jam segitu, aku bisa
menemuinya tanpa terlambat.
“Ke
bank paling cepat lah, ya”
Manusia
lagi lagi hanya bisa menduga, namun waktu yang akhirnya bicara. Setengah dua
baru selesai di bank lantaran mengantri terlalu lama. Sebenarnya tidak banyak,
namun karena yang dituju layanan customer service jadinya sungguh tidak bisa
terkira berapa menit seseorang bisa menyelesaikan urusannya. (Mulai hari ini
aku akan penuhi janji orang dahulu, tanpa mengira-ngira dan menyela dengan
agenda lain yang aku pikir ‘masih sempat’ tanpa bisa memastikan kapan selesai
agenda selingan tersebut).
Akhirnya
karena mungkin terlalu lama, si kakak tadi bilang ada agenda. Tempat janjian
KPFT berpindah ke Masjid Mardliyah dekat Rumah Sakit Sardjito.
Aku
sampai ke tempat yang dimasksud. Diiringi gerimis lembut (hujan deras, tapi
butirannya kecil kecil) yang justru membuatku ingin berlama-lama dikeroyok
rintik-rintik hujan.
Aku
menyapu pandangan, tak ada kakak tingkat itu sejauh mata memandang. Maka aku
memutuskan untuk masuk dalam masjid, duduk bersila di dalamnya, mengeluarkan
hape dan bertanya dimanakah posisinya dirinya sekarang. Berdiam di masjid
sambil menunggu orang.
Aku tak akan bercerita banyak
tentang kating itu sekarang, mungkin di lain waktu. Namun seperti judul dari
tulisan ini, aku ingin bercerita sedikit
tentang ‘orang yang bertanya’.
HP
telah kupencet, pesan sudah tersampaikan. Sembari menunggu balasan, aku
mengecek inbox barangkali ada info penting di grup-grup whatsapp. Sibuk
bergelut dengan mengusap-usap layar kotak berwarna putih itu.
“Namamu
siapa?” tetiba seseorang laki-laki datang menghampiriku, membungkukkan badan
dari depan aku bersila.
“Irkham
Maulana, Pak.”
“Sudah
sholat tahiyatul masjid?”
Diriku
tidak mendengarnya dengan begitu jelas karena rintik di luar sekarang telah
berganti guyuran hujan. Kukira dia menanyakan apakah aku sudah sholat dhuhur.
Tapi di saat itu juga aku bingung, pasalnya jam sudah menunjuk pukul setengah
tiga. Maka aku menanyakan kembali apa yang beliau maksud, takut salah nangkap.
“Bagaimana,
Pak?”
“Adek
sudah sholat tahiyatul masjid?”
“Belum,
Pak.”
“Yuk
sholat tahiyatul masjid dulu gih”
Aku
hanya bisa terpaku. Tutur katanya begitu lembut, terlihat santun. Untuk beberapa
detik aku hanya bisa bengong waktu itu. Kututup hape di tangan dan segera
kumasukkan ke dalam tas. Bergegas ke tempat wudhu. Dan tak terasa sebuah senyum
tersungging dari bibir saya.
“Untung
dia bertanya. Orang yang bertanya.”
Mardliyah, 14 Desember 2015. 14.30
ini pasti ustad maulana yak kham yang nanya? :3
BalasHapusiya, aku bertanya sama seseorang, dan nama beliau adalah ustadz maulana bang :)
BalasHapus