Minggu, 08 November 2015

Sejatinya



              *Sejatinya ketika diri merasa pintar, maka pada detik itu juga dia mulai menuju kebodohan
*Sejatinya ketiha diri merasa ikhlas, maka dia mulai tidak ikhlas
*Sejatinya ketika diri merasa derma, maka dalam hatinya sudah mulai timbul bibit kekikiran
*Sejatinya ketika diri merasa hebat, maka detik itu pula ia tidak akan mampu berkembang
*Sejatinya ketika diri merasa punya iman, maka iman kita perlu dipertanyakan.


                Banyak hal yang sepertinya kita merasa baik, namun sejatinya ketika kita merasa, maka pudarlah kebaikan kita. Maka yang terpenting adalah terus memperbaiki diri, senantiasa menata hati, lebih baik dari hari kemarin, lebih baik dari satu jam lalu, dan selalu lebih baik dari hembusan nafas yang keluar sebelum ini.

                Sejatinya ketika diri mulai merasa, itu pertanda bahwa diri ini sudah mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

                Mulai mempertanyakan apa yang kita punya dan mereka tidak. Apa yang kita tidak punya dan mereka punya. Dan bejatnya kemudian kita menyalahkan keadaan. Tak bersyukur. Cemburu buta.
                ***

               Sebuah telapak tangan mendarat di pipi Rehan. Memberikan bekas kemerahan yang segera diusap oleh kedua tangan. Berseru kesal kepada Adiknya, Lana. Bisa-bisanya adik kecilnya itu menamparnya dengan begitu keras.

                “Siapa yang dulu pernah bilang jangan membandingkan diri dengan orang lain ha? Preketek kau, Kak. Dan sekarang kau justru tertunduk saja tidak ngapa-ngapain karena lihat temenmu sudah berlari kencang. Sudah menulis bab dalam buku-buku hidupnya. Menyedihkannya kau Cuma berucap. Aku kan tidak punya yang ia miliki”

                Rehan hanya ternganga. Memandang dengan tatapan terbelalak apa yang dilakukan adik perempuannya itu. Ia tahu, Lana gadis yang lembut dan ia sama sekali belum pernah marah. Bahkan perkara ia minta dibelikan permen kapas dan tidak dituruti pun ia menerima. Tapi ini?

                “Aku membuat orang seperti Lana yang tidak pernah marah menjadi marah. Mungkin aku sudah keterlaluan”

                “Kakak memang keterlaluan.” Lana melangkahkan kaki menjauh. Keluar dari kamar membanting pintu.  Dobrakannya sampai mengagetkan kucing hitam yang sedang makan di luar.






Related Posts:

  • Kenapa Harus Nanti             Kami tengah duduk di ruangan sekre. Membicarakan banyak hal yang telah kita al… Read More
  • Aku Pion             “Kau mau kemana? Tak sadarkah kau ini siapa ingin menantang raja lawan ha?” … Read More
  • Telur Goreng (Retell)             Entah kenapa hari ini aku ingin menceritakan sepenggal kisah telur goreng ini … Read More
  • Aku dan Kemarahan             Mobil telah terparkir di halaman depan rumah berwarna orange. Dari balik pintu… Read More
  • Rindu Aku terlahir dari pertemuan dan tidak adanya pertemuan. Berteman dengan mereka yang dipisahkan oleh jarak, waktu bahkan dunia. Seringnya aku menggand… Read More

0 komentar:

Posting Komentar