Selasa, 10 November 2015

Gundu


            Pemuda itu masih saja terdiam di bangku barisan depan. Berkali-kali menengok jam di tangannya yang sekarang menunjukan jam setengah tiga. Ia tak punya ide sama sekali tentang menulis cermin kali ini.

            Dengan tanpa berpikir panjang, ia menulis cerita.

            ***
            “Awas aja kau, pasti kali ini kena.”

            Seru Jono yang merasa sebal karena tembakan gundunya tak pernah mengenai sasaran. Joni adiknya bukannya membela, malah ikutan tertawa bersama kawan-kawan lain. Apa boleh buat, Jono memang bukan pembidik jitu dalam main kelereng. Apalagi sekarang tanah merekah sana-sini akibat kekeringan. Maka jadilah butiran itu hanya terpental kesana kemari menabrak tanah yang mencuat tak pernah diguyur hujan.

            “Jono, Joni, Ibu mau minta tolong dibelikan telur di warung Bu Minah.” seru Ibu di pinggir lapangan kepada kedua anak kembarnya.

            Sang kakak terlihat sibuk. Memalingkan badan, berpura-pura tidak melihat dan mendengar panggilan ibunya.

            “Jon, itu dipanggil ibumu.”
            “Anggap aja aku nggak dengar, lagi seru-serunya nih.”
            “Iya Ibu, Joni datang.” sang adik justru memunguti gundu miliknya. Bergegas ke tempat sang bunda bediri. Menyudahi dengan begitu saja permainan gundunya.

            “Kakakmu dipanggil kok gitu si, Nak” tanya Ibu kepada Joni. Pertanyaan yang sejatinya ibu sendiri tak perlu jawaban dari sang Adik.
            ***

            Penjual es dung-dung melintas. Jono berlari ke arah ibunya yang masih berdiri di sudut lapangan sejak panggilan tadi.

            “Bu, Jono boleh nggak minta uang untuk beli es dundung?”
            Tak ada suara.

            “Bu, boleh ya?”
            Ibu masih tak mengeluarkan kata. Dari matanya nampak berkaca-kaca. Raut muka iba.
            ***

            Pemuda itu mengangkat kedua tangannya. Terpaksa tidak memperhatikan review dari tulisan peserta lain. Ia masih kebingungan untuk mengakhiri ceritanya. Jam telah menunjukan pukul tiga.

            “Gus, menurutmu bakalan dikasih atau enggak ya si Jono?”

            Tanpa disadari si pemuda itu, Agus sejak tadi mengamati kata per kata yang pemuda itu tuliskan ke layar monitor.

            “Kham, kau ingin jadi Jono apa Joni?”
            “Eh?” pemuda itu hanya menggaruk-garuk kepala. Ia tak begitu mengerti.
            “Kau dipanggil tuh.”
            “Dipanggil siapa?”

            “Tuhan.


31 Oktober 2015
Empatik Fiksi, FLP Yogyakarta


1 komentar: