Kipas angin masih berputar di tengah kamar.
Menggerakkan blade untuk menyalurkan angina ke segala penjuru ruangan. Cahaya
matahari mulai masuk menyinari kasur yang berada di dekat jendela. Jalan Raya
depan rumah sudah mulai ramai kendaraan berlalu lalang. Saling salip karena
mereka memang merasa terburu-buru. Apa daya, jam sudah menunjukan pukul tujuh
pagi. Namun di kasur yang telah tersinari matahari lewat jendela itu, pemuda itu masih meringkuk takzim memeluk
bantal guling. Seolah begitulah dia kalau memeluk kekasih. Pemuda yang belum
bangun. Lebih tepatnya belum mau bangun.
“Kak
Rehan, sudah jam 7. Ayo bangun. Nanti telat lho…”
“Hmmmm,
masih jam 7. Kuliah kakak kosong, Na. Tadi malam dapat kabar dari teman satu
kelas.”
“Tapi
kan, Kak?”
Belum
sempat menjawab, Rehan telah merubah posisinya. Membenamkan kepala lebih dalam
ke bantal. Seolah tak mau mendengar apa yang akan disampaikan oleh adiknya,
Lana.
***
Kipas
angin masih berputar dengan kecepatan level dua. Matahari tidak lagi menyinari
sebagian kasur yang Rehan tempati. Tidak, tapi cahayanya sudah hampir memenuhi
seluruh isi kamar. Jam di dinding kamar menunjuk angka setengah sepuluh.
“Duh
jam berapa ini?” Rehan kalang kabut.
Di
meja dekat kasur, terdapat susu yang telah dingin dan secarik kertas. Ia baru
ingat, ketika adiknya membangunkan tadi, ia juga telah membawakan segelas susu
panas kesukaannya. Susu tersebut tak mungkin masih panas sekarang.
Rehan
mengambil secarik kertas yang diselipkan di bawah gelas.
“Kak
Rehan yang Lana sayang. Kuliah kosong bukan berarti bisa bangun siang lho”
*Yogyakarta, 10 November 2015
0 komentar:
Posting Komentar