Selasa, 24 November 2015

Mengenang Menulis



                Setiap orang selalu punya cerita masing-masing. Suka-Duka, Tangis-Tawa (mirip lagu) menjadi bumbu-bumbu cerita yang kita kenang selamanya. Tak terkecuali juga kenangan akan menulis. Bukan maksud apa, hanya ingin bernostalgia.

                Apa sih nulis itu? Sulit? Butuh inspirasi banyak. Setidaknya itu yang kupikirkan waktu SMA dulu. Duh dek, aku tak senang membaca, apalagi menulis. Tak tahu dan merasa heran saja dulu kepada orang-orang yang bisa merangkai kata membentuk sebuah tulisan, sebuah cerita.

                Jika ditarik dari SD sampai SMA, tak pernah kepikiran sama sekali punya hobi menulis. Jujur saja keluargaku masih minim budaya literasi. Pernah melahap novel di kala masih bocil maupun remaja? Tak pernah. Baru SMA aku mulai menjamah buku-buku selain matematika, fisika, biologi dan kimia.

                Itu pun bukan karena aku mau, melainkan terpaksa. Apa boleh buat SMA 1 Kota Pekalongan atau yang akrab disapa SMA Kartini mewajibkan muridnya membaca 15 buku baik fiksi dan non fiksi sebelum mereka lulus. Disinopsis dan masuk dalam penilaian khusus pelajaran bahasa Indonesia. Beberapa buku yang masih kuingat seperti Layar Terkembang karya Sutan Alisyahbana, Tersesat di Surga, Kupu-Kupu Pelangi, Narnia : The Last Battle, Blackforest Blossom, Tidak Hilang Sebuah Nama, Bertanam melon hingga bertanam ayam. Kelima belas buku itu disinopsis dalam jangka waktu 5 semester.

                Tak banyak, namun karena tidak begitu menikmatinya, terasa berat juga.

                Kukerjakan selalu mepet-mepet akhir semester.

                ***

                Aku tak pernah menyangka sekarang aku begitu menyukai menulis.

                Karena jika diingat kembali, tak ada cerita pernah kubuat saat SMA dulu, kecuali pada tugas bahasa Indonesia kala itu.

                Bercerita tentang seorang raja yang “sok-sokan” ingin tahu masa depannya. Kemudian ia bertanya kepada sang peramal di kerajaan.

                “Anda akan dibunuh oleh putra anda sendiri,” begitulah jawab si Peramal.

                Raja yang merasa ketakutan dibunuh anaknya kemudian memperlakukan buruk anaknya sendiri sejak dari kecil. Padahal sejak sebelum ia bertanya sama peramal, baik sang raja maupun sama anaknya saling menyayangi. Anaknya juga tampan dan berperangai baik.

                Kejadian itu berlangsung lama, dan anaknya hanya menumpuk kebencian demi kebencian dalam hatinya terhadap perlakuan sang Raja. Sampai suatu hari si anak tumbuh dewasa dan menyukai seorang gadis, Raja memisahkan mereka dan justru menjebloskan si anak ke penjara.

                Kebenciannya memuncak, dan dari penjara ia meminta pembantunya untuk mencampurkan racun ke makanan sang Raja. Maka terjadilah seperti apa yang diramalkan si peramal.

                Raja akan dibunuh oleh anaknya sendiri.

                Di akhir cerita kuberi sebuah penutup “Kalau saja Raja tidak bertanya sama peramal, mungkin keduanya akan hidup dengan bahagia sebagai seorang ayah dan anak”

                ***

                Apakah itu cerita murni buatanku sendiri kala itu? Tidak. Cerita itu kunukil dari sebuah episode serial kerasakti di TV waktu itu.

                Ketika diminta menuliskan puisi? Aku menuliskan dengan judul iblis. Berisi tentang hadiah doa kepada Iblis agar dia dimasukkan ke neraka jahannam karena telah menyesatkan adam hawa. Puisi itu hanya modifikasi dari syair lagu berjudul neraka jahannam karya band boomereang (sudah tidak hits waktu itu, tapi aku hafal. Mumpung tidak hits, aku ambil dari sana. “Tidak bakalan ada yang tahu,” pikirku.

                ***

                Makanya waktu dulu, aku kagum dengan kawan bernama Reza Rahmat Syah. 3 tahun kita satu kelas, dia menjadi temanku yang sudah aktif mengirimkan tulisan-tulisan di berbagai perlombaan nasional. Aku ingat sekali dulu ketika ia mengirimkan naskahnya ke UI untuk menjadi peserta satu-satunya di kelasku di SMA (setahuku dia satu-satunya).

                Dan tak lama sebelum ini, aku juga baru tahu bahwa ada kawan asramaku yang pernah dimuat di Koran bahkan ketika ia masih bocil-bocil gitu. Tulisan tentang ondel-ondel. Aku tahu itu dari seminarnya. Dan sampai sekarang dia masih menulis dengan begitu produktifnya.

                Dua orang ini, aku begitu bangga pernah mengenal mereka.

                ***

                Tadinya tulisan ini kuniatkan untuk mengingat kembali kenapa menulis ini bisa menjadi hobiku sekarang. Yang jelas aku tidak menulis dari sejak bocil, SMP maupun SMA. Untuk itu aku harus belajar dengan mereka yang telah mulai duluan.

                Tulisan pertama berjudul sudut pandang dimana ihrom mendapat uang Sembilan milyar dari menjual berlian yang ia temukan di tepi pantai. Ketika sudah terjual, ia baru mengetahui bahwa fakta berlian itu harganya sepuluh milyar. Ia sedih atas “kerugian” 1 milyar yang tidak ia dapat hingga ia lupa bahwa telah ada Sembilan milyar di tangan.

                Aku menulisnya ketika semester tiga. Dan tak pernah dulu kepikiran akan punya hobi menulis.
                Jadi mohon bimbingannya ya kawan (mencari emot telungkup tangan).


*24 November 2015
Ruang Roso-Roso





0 komentar:

Posting Komentar