Gumpalan-gumpalan kertas berceceran sana
sini. Kertas-kertas bertuliskan cerita-cerita yang Lana buat. Anak perempuan
itu tengah duduk sembari memegang pensil dan menghadap kertas. Menyusun kata
berulang kali hingga membentuk cerita sebagai materi lomba. Memberikan
tulisan-tulisan terbaik agar namanya masuk dalam juara satu kompetisi menulis
tersebut. Ini juga lomba pertamanya dalam dunia kepenulisan anak-anak,wajar
jika ia merasa gugup. Sejatinya yang diincar anak tersebut bukan hadiahnya.
Buat apa uang untuk dirinya yang sudah merasa bahagia dengan kehadiran
kakaknya. Ia sudah merasa cukup. Tapi juga tak bakalan menolak apabila diberi
hadiah. Ia takut merasa “nggak enak” jika menolak pemberian maupun hadiah.
Lana
melakukan ini untuk menjadi diri yang bisa dibanggakan. Dibanggakan oleh
kakaknya, Rehan. Diingat oleh semua orang. Bukankah orang akan mengingat siapa
yang nomor satu?
“Argghhh…”
Ia mengacak-acak rambut dengan kedua tangannya. Beberapa kali kalimat demi
kalimat ia buat namun belum ada yang menurutnya terbaik. Belum ada yang
menurutnya akan menjadikan dirinya nomor satu.
“Kalau
cuma begini mana bisa aku menang.” Lana kembali meremas kertas di depannya. Melemparkan ke tempat sampah di
pojok ruangan. Tidak semua lemparannya berhasil masuk, maka tak heran jika di
sekelilingnya terlihat berantakan.
Ia
terlihat frustasi.
***
“Kau
kenapa, Na? Dari tadi kakak lihat kau
sibuk mencoret-coret sesuatu”
“Kak…,
Lana ingin banget nulis, tapi Lana masih nggak bisa nulis. Belum bisa membuat
cerita yang wah untuk Lana masukin lomba. Biar dapat juara satu. Biar Kak Rehan
bangga.
Rehan
mengubah arah kursi yang diduduki Lana. Kursi itu sekarang menghadap ke arah
Rehan. Pemuda itu sekarang justru jongkok di depan Lana. Mengusap peluh yang
menetes di kening adiknya.
“Siapa
yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah amerika? Kau tahu pasti tanpa
harus aku menyebutnya. Tapi siapa orang nomor dua yang menginjakkan kaki di
sana?”
Lana
mengernyitkan dahi. Ia sedang menerka-nerka apa yang hendak kakaknya sampaikan.
“Orang-orang
memang tidak akan mengingat nomor dua atau sekian, barangkali kakak juga sama.”
Gadis
kecil itu tertunduk. Seolah dirinya tahu bahwa dirinya tidak akan menjadi nomor
satu di kesempatan ini. Sedangkan Rehan justru tengah memperbaiki rambut Lana
dengan jemarinya. Mengusap lembut kepala adiknya tersebut sambil berucap suatu
kalimat pelan.
“Kak
Rehan mungkin tidak akan ingat juara nomor sekian, tapi kak Rehan akan selalu
ingat kerja keras Lana. Sifat pantang menyerahnya dirimu, Na. Kak Rehan akan
ingat itu selalu.”
*****
*Masih buruk dalam penulisan cerita, masih ngerasa monoton dan menggurui, kudu banyak belajar. Ada yang berkenan mengajari?
0 komentar:
Posting Komentar