Kamis, 12 November 2015

Aku Tidak Akan Mengingat Nomor Dua


                Gumpalan-gumpalan kertas berceceran sana sini. Kertas-kertas bertuliskan cerita-cerita yang Lana buat. Anak perempuan itu tengah duduk sembari memegang pensil dan menghadap kertas. Menyusun kata berulang kali hingga membentuk cerita sebagai materi lomba. Memberikan tulisan-tulisan terbaik agar namanya masuk dalam juara satu kompetisi menulis tersebut. Ini juga lomba pertamanya dalam dunia kepenulisan anak-anak,wajar jika ia merasa gugup. Sejatinya yang diincar anak tersebut bukan hadiahnya. Buat apa uang untuk dirinya yang sudah merasa bahagia dengan kehadiran kakaknya. Ia sudah merasa cukup. Tapi juga tak bakalan menolak apabila diberi hadiah. Ia takut merasa “nggak enak” jika menolak pemberian maupun hadiah.

                Lana melakukan ini untuk menjadi diri yang bisa dibanggakan. Dibanggakan oleh kakaknya, Rehan. Diingat oleh semua orang. Bukankah orang akan mengingat siapa yang nomor satu?

                “Argghhh…” Ia mengacak-acak rambut dengan kedua tangannya. Beberapa kali kalimat demi kalimat ia buat namun belum ada yang menurutnya terbaik. Belum ada yang menurutnya akan menjadikan dirinya nomor satu.

                “Kalau cuma begini mana bisa aku menang.” Lana kembali meremas kertas  di depannya. Melemparkan ke tempat sampah di pojok ruangan. Tidak semua lemparannya berhasil masuk, maka tak heran jika di sekelilingnya terlihat berantakan.

                Ia terlihat frustasi.

                ***

                “Kau kenapa,  Na? Dari tadi kakak lihat kau sibuk mencoret-coret sesuatu”

                “Kak…, Lana ingin banget nulis, tapi Lana masih nggak bisa nulis. Belum bisa membuat cerita yang wah untuk Lana masukin lomba. Biar dapat juara satu. Biar Kak Rehan bangga.

                Rehan mengubah arah kursi yang diduduki Lana. Kursi itu sekarang menghadap ke arah Rehan. Pemuda itu sekarang justru jongkok di depan Lana. Mengusap peluh yang menetes di kening adiknya.

                “Siapa yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah amerika? Kau tahu pasti tanpa harus aku menyebutnya. Tapi siapa orang nomor dua yang menginjakkan kaki di sana?”

                Lana mengernyitkan dahi. Ia sedang menerka-nerka apa yang hendak kakaknya sampaikan.

                “Orang-orang memang tidak akan mengingat nomor dua atau sekian, barangkali kakak juga sama.”

                Gadis kecil itu tertunduk. Seolah dirinya tahu bahwa dirinya tidak akan menjadi nomor satu di kesempatan ini. Sedangkan Rehan justru tengah memperbaiki rambut Lana dengan jemarinya. Mengusap lembut kepala adiknya tersebut sambil berucap suatu kalimat pelan.

                “Kak Rehan mungkin tidak akan ingat juara nomor sekian, tapi kak Rehan akan selalu ingat kerja keras Lana. Sifat pantang menyerahnya dirimu, Na. Kak Rehan akan ingat itu selalu.”


 ***** 


*Masih buruk dalam penulisan cerita, masih ngerasa monoton dan menggurui, kudu banyak belajar. Ada yang berkenan mengajari?

0 komentar:

Posting Komentar