Minggu, 29 November 2015

Sabtu, 28 November 2015

Setahun HAMKA



                Tepat setahun lalu (kalau dari grup whatsapp kemarin, 28 November 2014. Kalau dari PDKT 30 November 2014) aku bertemu orang-orang itu. Orang-orang yang sampai sekarang kukenang. Dan aku tidak tahu kenapa aku mengenangnya hingga hari ini. Biasanya orang datang dan pergi begitu saja, dia hanya lewat di hadapanku untuk kemudian pergi, say good bye dan tak pernah  membalikkan badan.

                Hari ini aku mengenang mereka, orang-orang istimewa. (duh aku bingung ngomongnya)

                Dimulai dengan pertemuan hari itu saja ya. Nah, sekitar tiga ratus enam puluhan hari yang lalu. Ada pengumpulan para kader kader FLP baru yang masih unyu-unyu umurnya di FLP. Secara ini perkumpulan pertama mereka-mereka ya, dan sekarang baru tahu bahwa balairung selatan merupakan spot paling sering digunakan untuk kumpul-kumpul forum kepenulisan ini.

                Semua dari kita dikumpulkan dan sekaligus dimasukkan dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Dan kami anak hamka (dulu namanya kelompok dua) kumpul di atas rumput depan rektorat, duduk melingkar. Di hari itu aku melihat wajah-wajah itu pertama kali.

                Yang pertama, so pasti pemandu kita. Alfina Azzahra. Beliau adalah seorang lulusan dari TP UGM angkatan 2010. Ngomong-ngomong dulu aku merasa mpok pine ini bakalan jadi pemuda yang (yah gitulah). Soalnya pemandu paling rame di antara pemandu yang lain. Dan btw, kerameannya ini juga yang memberikan kedekatan kami anak-anak hamka sampai hari ini. Nah nama HAMKA ini juga yang mengusulkan beliau. Singkatan dari Hanya Mengarap Ridho Allah Semata (tidak tahu “K” darimana). Dan kami semua suka akan nama itu.

                Tyani, mahasiswa Kedokteran yang merasa salah jurusan. Tapi jangan ditanya kenapa. Karena dia juga tidak akan memberitahu. Palingan akan mengeluarkan statement “kan jangan ditanya  kenapa”. Nah dia ini adalah FLP angkatan XV (waktu itu jatahnya XVI). Dia juga menarik, sebagai pencetak nametag pertama yang benar-benar dihias. Jauh lebih menarik daripada kelompok lain. Seorang yang hmm, kadang keliatan serius sekali, tapi lebih sering untuk cerita banyak perihal pengalamannya. Kau bisa cerita-cerita banyak dengan dirinya. Bahkan menurutku kadang dia lebih cocok jadi seorang psikolog daripada seorang dokter (bercanda yaa). Saking menariknya orang ini, nanti akan kubahas dalam tulisan tersendiri.

                Nah, perempuan ketiga dalam keluarga kami adalah Mba Ines (urutan yang kubuat berdasarkan umur angkatan ya, kemudian umur dalam artian sebenarnya :p). Beliau adalah satu-satunya yang berbeda dalam lingkaran hamka ini. Kalian tahu kenapa? Kalau kami semua masih ganjil. Beliau sudah genap saat kami semua pertama berkumpul. Dan nyaris saja dia bakalan jadi ketua angkatan FLP XVI kalau saja tidak menghajar dwis riyuka (bukan anak hamka, kata temen FLP dulu cocok dipanggil Jeng :p ). Mba ines ini tepat hari kemarin wisuda Pendidikan Kimia Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa kali kami ingin mampir ke rumah mba Ines, namun yang selalu kesampaian tyani lagi, tyani lagi. Next time kudu konkrit ya mba ke rumah Mba, seminimal minimalnya lima bulan lagi (hayoooo lima bulan lagi ada apa ya).

                Rezha Aditya Maulana Budiman. Salah satu dari ketiga laki-laki di anak hamka. Mas Eja panggilan sapaannya ini juga punya nama pena yang unik. Ibdu Budiman. Sebagai salah satu sesepuh di kampus, beliau menjadi anggota yang tanpa kebanyakan wacana mengajak kami anak hamka pergi ke parangtritis. Kemarin mengajak, besoknya langsung berangkat. Menikmati senja dengan gaya khas anak-anak senja. Mas Eja dulu juga salah satu vocal dalam penampilan anak hamka di panggung musikalisasi puisi waktu PDKT. Jika kau mengenalnya, pokoknya beliau orang yang baik hati dan tidak sombong. Oh ya, Mas Eja ini juga jago desain dan mantan presiden lho (hayooo presiden apa?)

                Orang keempat adalah salah satu dari adik bocil di keluarga ini. Ketika kami masuk, dia baru maba dari keperawatan fakultas kedokteran. Tapi jangan salah, Atikah Syakira ini menjadi artis utama dalam penampilan anak hamka sore itu. Menggabungkan antara puisi dari helvy tiana rosa dan music dari 1 litre of tears menjadikan satu seni sendiri yang kala itu membuat kami nyaman untuk menampilkannya di depan umum. “Telah kutuliskan  puisi-puisi itu, sejak usiamu dua puluh enam tahun”. Tika ini mempunyai “kekuatan” yang sama dengan Bang Ejak. Sama-sama pandai mengajak orang untuk kumpul.  Dan sekarang dia masuk dalam rumah bidadari bidadari surga :D

                Kawan Tika yang bocil juga ada lho. Palupi Lestari namanya. Dia akrab dengan dipanggil Upi. Keluarga kami yang satu ini orangnya lucu, apalagi ketika ditanya Mba Yova (Sesepuh FLP) di Empatik 2 kemarin. Unik pokoknya. Kemana-mana Upi ini hobinya nentengin kamera. Jadi jika anak hamka ingin narsis-narsisan, upi siap memfalitisi. (maaf ya Pi :p)

                Yang tak kalah narsis namun tetap eksis, Rena namanya. Mba Rena ini sekarang menjadi mahasiswa UIN SUKA sekaligus santri ponpes wahid hasyim seturan. Dia jago membaca puisi sampai-sampai pernah tampil di depan ketua pengurus FLP Pusat, Sinta Yudisia. Membawakan puisi berjudul lilin-lilin terkasih di kala musywil FLP di KPFT. Kemarin-kemarin baru selesai KKN dan dengan kesibukan lain perihal organisasi-organisasi di kampusnya.  Janjinya si bulan desember depan mau ngerampungin tulisan anak senja (hayooo ntar tak tagih lho).

                Kalau Tika dan Upi merupakan anak kembar di hamka. Aku juga punya saudara kembar di sini. Pipit. (jangan pernah ditanya kembarnya dalam hal apa). Biologi 2012 menjadi pilihannya dalam seleksi masuk universitas gadjah Mada. Pipit ini begitu aktif di ranah media kampus. Kalau kau bingung perihal mading, artikel, sampai karikatur. Pipit akan bersedia dengan senang hati.

                Pipit, hamka di sini merindukanmu lho. Yuk kumpul lagi.

                Dian dan Andwi. Dua saudara hamka yang sampai sekarang belum pernah berjumpa. Kalau kalian tidak datang karena merasa enak tidak pernah muncul di depan kami, kalian salah. Kami justru sampai saat ini menunggu kemunculan kalian. Menantikan kalian.

                Ayok kumpul  lagiiiii…..

                ***

                Tadinya mau cerita setahun lalu namun jadi  kemana-mana ya.

                ***
                Setiap orang di dunia ini dalam hidup pasti mencari ketenangan dan kebahagiaan.
                Ada yang bahagia dengan turun ke jalan
                Ada yang bahagia kalau menjadi presiden
                Ada yang bahagia kalau telah menikmati fasilitas-fasilitas yang ada
               
Dan diriku bahagia karena telah bertemu kalian
                Anak-Anak Hamka




Yogyakarta, UNY – MK Café
Setahun HAMKA
Lahirnya Anak Senja



               



Selasa, 24 November 2015

Mengenang Menulis



                Setiap orang selalu punya cerita masing-masing. Suka-Duka, Tangis-Tawa (mirip lagu) menjadi bumbu-bumbu cerita yang kita kenang selamanya. Tak terkecuali juga kenangan akan menulis. Bukan maksud apa, hanya ingin bernostalgia.

                Apa sih nulis itu? Sulit? Butuh inspirasi banyak. Setidaknya itu yang kupikirkan waktu SMA dulu. Duh dek, aku tak senang membaca, apalagi menulis. Tak tahu dan merasa heran saja dulu kepada orang-orang yang bisa merangkai kata membentuk sebuah tulisan, sebuah cerita.

                Jika ditarik dari SD sampai SMA, tak pernah kepikiran sama sekali punya hobi menulis. Jujur saja keluargaku masih minim budaya literasi. Pernah melahap novel di kala masih bocil maupun remaja? Tak pernah. Baru SMA aku mulai menjamah buku-buku selain matematika, fisika, biologi dan kimia.

                Itu pun bukan karena aku mau, melainkan terpaksa. Apa boleh buat SMA 1 Kota Pekalongan atau yang akrab disapa SMA Kartini mewajibkan muridnya membaca 15 buku baik fiksi dan non fiksi sebelum mereka lulus. Disinopsis dan masuk dalam penilaian khusus pelajaran bahasa Indonesia. Beberapa buku yang masih kuingat seperti Layar Terkembang karya Sutan Alisyahbana, Tersesat di Surga, Kupu-Kupu Pelangi, Narnia : The Last Battle, Blackforest Blossom, Tidak Hilang Sebuah Nama, Bertanam melon hingga bertanam ayam. Kelima belas buku itu disinopsis dalam jangka waktu 5 semester.

                Tak banyak, namun karena tidak begitu menikmatinya, terasa berat juga.

                Kukerjakan selalu mepet-mepet akhir semester.

                ***

                Aku tak pernah menyangka sekarang aku begitu menyukai menulis.

                Karena jika diingat kembali, tak ada cerita pernah kubuat saat SMA dulu, kecuali pada tugas bahasa Indonesia kala itu.

                Bercerita tentang seorang raja yang “sok-sokan” ingin tahu masa depannya. Kemudian ia bertanya kepada sang peramal di kerajaan.

                “Anda akan dibunuh oleh putra anda sendiri,” begitulah jawab si Peramal.

                Raja yang merasa ketakutan dibunuh anaknya kemudian memperlakukan buruk anaknya sendiri sejak dari kecil. Padahal sejak sebelum ia bertanya sama peramal, baik sang raja maupun sama anaknya saling menyayangi. Anaknya juga tampan dan berperangai baik.

                Kejadian itu berlangsung lama, dan anaknya hanya menumpuk kebencian demi kebencian dalam hatinya terhadap perlakuan sang Raja. Sampai suatu hari si anak tumbuh dewasa dan menyukai seorang gadis, Raja memisahkan mereka dan justru menjebloskan si anak ke penjara.

                Kebenciannya memuncak, dan dari penjara ia meminta pembantunya untuk mencampurkan racun ke makanan sang Raja. Maka terjadilah seperti apa yang diramalkan si peramal.

                Raja akan dibunuh oleh anaknya sendiri.

                Di akhir cerita kuberi sebuah penutup “Kalau saja Raja tidak bertanya sama peramal, mungkin keduanya akan hidup dengan bahagia sebagai seorang ayah dan anak”

                ***

                Apakah itu cerita murni buatanku sendiri kala itu? Tidak. Cerita itu kunukil dari sebuah episode serial kerasakti di TV waktu itu.

                Ketika diminta menuliskan puisi? Aku menuliskan dengan judul iblis. Berisi tentang hadiah doa kepada Iblis agar dia dimasukkan ke neraka jahannam karena telah menyesatkan adam hawa. Puisi itu hanya modifikasi dari syair lagu berjudul neraka jahannam karya band boomereang (sudah tidak hits waktu itu, tapi aku hafal. Mumpung tidak hits, aku ambil dari sana. “Tidak bakalan ada yang tahu,” pikirku.

                ***

                Makanya waktu dulu, aku kagum dengan kawan bernama Reza Rahmat Syah. 3 tahun kita satu kelas, dia menjadi temanku yang sudah aktif mengirimkan tulisan-tulisan di berbagai perlombaan nasional. Aku ingat sekali dulu ketika ia mengirimkan naskahnya ke UI untuk menjadi peserta satu-satunya di kelasku di SMA (setahuku dia satu-satunya).

                Dan tak lama sebelum ini, aku juga baru tahu bahwa ada kawan asramaku yang pernah dimuat di Koran bahkan ketika ia masih bocil-bocil gitu. Tulisan tentang ondel-ondel. Aku tahu itu dari seminarnya. Dan sampai sekarang dia masih menulis dengan begitu produktifnya.

                Dua orang ini, aku begitu bangga pernah mengenal mereka.

                ***

                Tadinya tulisan ini kuniatkan untuk mengingat kembali kenapa menulis ini bisa menjadi hobiku sekarang. Yang jelas aku tidak menulis dari sejak bocil, SMP maupun SMA. Untuk itu aku harus belajar dengan mereka yang telah mulai duluan.

                Tulisan pertama berjudul sudut pandang dimana ihrom mendapat uang Sembilan milyar dari menjual berlian yang ia temukan di tepi pantai. Ketika sudah terjual, ia baru mengetahui bahwa fakta berlian itu harganya sepuluh milyar. Ia sedih atas “kerugian” 1 milyar yang tidak ia dapat hingga ia lupa bahwa telah ada Sembilan milyar di tangan.

                Aku menulisnya ketika semester tiga. Dan tak pernah dulu kepikiran akan punya hobi menulis.
                Jadi mohon bimbingannya ya kawan (mencari emot telungkup tangan).


*24 November 2015
Ruang Roso-Roso





Sabtu, 21 November 2015

Dan Jangan Lupakan

Ayo kita mulai perjalanan kita sebelum matahari terbit
Ucapkan salam untuk sesuatu yang datang di hari esok
Kita tak akan menyesal apa yang kita putuskan
(Aku tahu apa yang seharusnya kulakukan)

Tak peduli rintangan apa yang akan menghadang
Tak kan ada yang bisa menghentikan hatiku ini
Hanya satu tempat yang ingin kutuju
(Terbang ke cahaya)

Hubungan yang penuh dengan rintangan
Tak kan kubiarkan seorangpun memutuskan ikatan itu
Saat kukepalkan tanganku
Kutemukan kekuatan di sana

Ayo kita mulai
Dunia baru yang telah memanggil kita
Sekarang lihatlah
Tak peduli banyak lautan yang memisahkan kita

Aku akan tetap berada bersamamu
Jangan takut mengarungi lautan ini

Dan jangan lupakan
Kita bertarung bersama

Aku tak kan merusak kenangan itu
Langit luas tanpa batas kulihat saat itu

Kita mendatanginya dari tempat jauh
Kita telah mengucapkan janji di hati kita
Tak kuragukan lagi di sana akan ada sesuatu yang akan kita bawa bersama

Matahari akan terbit
Dan cahaya akan menyerupai luka hati kita
Aku percaya
Masa depan akan datang padaku sautu hari nanti

Ayo kita temukan masa depan itu bersama
Kau tak akan pernah tergantikan

Dan jangan lupakan
Kita bertarung bersama



12.50



            Matahari begitu terik, di sebuah stasiun TV mengabarkan bahwa suhu di siang hari memang sedang panas-panasnya. Anton disana, di bawah terpapar panasnya mentari kala pulang dari kuliah jam 12. Ia memutuskan untuk berkunjung ke kosan temannya. Sekedar numpang istirahat. Kalau haus, sekalian numpang air mineral.

           “Rehan, aku berangkat ke kampus dulu ya, sudah ditungguin dosen. Ntar kuncinya di taruh di atas pintu aja kalau kau sudah mau berangkat lagi.”

            “Sip, Bos.”

            Rehan berbaring di kasur lantai. Menyandarkan kepalanya di atas bantal dua tingkat. Mengeluarkan HP untuk membuka beberapa pesan di WA. Barangkali ada yang penting. Atau sejatinya mungkin tidak terlalu penting. Namun, Rehan telah kecanduan.

            Jam di kamar masih menunjuk angka 12, jam kuliah nanti dimulai jam 1 siang.

            “1 Jam cukup untuk tidur sebentar, 12.50 pasti bangunlah ya dengan alarm ini.” Rehan telah mengotak-atik hpnya. Memfungsikan fitur yang ada di gadget miliknya tersebut. Memastikan bahwa ia harus bangun pukul 12.50 nanti.
            ***
            Jam di dinding menunjukan pukul 3 dan dia masih meringkuk tenang di kasur.


            

Jendela dan Kereta



                Buru-buru kami menuju Stasiun Lempuyangan. Kloter pagi yang ketinggalan kereta membuat kami bertekad untuk tidak mengulangi kejadian yang sama.

                Jendela dan kereta.

                Malam itu perjalanan menuju Kota Pahlawan dimulai. Mengendarai (lebih tepatnya menumpang) ular besi di atas rel. Berharap di sana bertemu saudara-saudara seperrjuangan.

                Untuk kedua kalinya melakukan perjalanan dengan kereta. Hanya saja sekarang lebih ramai dibanding yang pertama. Tanpa Rifan dan Fajar. Dulu untuk PIMNAS. Malam itu untuk Latihan
Gabungan Timur.

                Tulisan ini dibuat dengan kepala terasa bebal. Tak tahu apa yang ingin kusampaikan. Tapi bukankah aku memang tidak berkewajiban untuk menyampaikan sebaik mungkin, seindah-indahnya cerita. Maka itu artinya tak ada yang salah dengan diriku yang bercerita hanya bercerita. Menulis, menulis saja.

                Pemandangan gelap tampak dari jendela kereta dengan laju sekitaran 60 – 80 km/jam. Langitnya gelap, namun yang kadang dibawahnya dipenuhi lampu-lampu jalanan kota. Terkadang gelap hanya gelap karena kereta melintasi daerah persawahan ditemani bintik bintik cahaya bintang.

                Seringnya disuguhkan pemandangan rumah-rumah berderetan. Pos ronda dengan beberapa bapak yang tengah asik mengamati permainan catur kawan-kawannya. Tak jarang juga kereta beradu balap dengan kendaraan lain. (Hanya merasa).

                Semua pemandangan itu hanya sebentar. Silih berganti. Tak bisa ku melihat sawah dan bintang terus menerus. Karena kadang kereta juga melewati deretan rmah, pasar maupun jalan raya.

                Hanya satu hal yang pasti kulihat ketika menatap dari jendela kereta malam. Pemandangan itu adalah diriku sendiri yang menetap ke jendela kami saling pandang. Aku bahkan hendak menyapanya, Diriku di balik jendela. Mungkin kau akan menganggap ku gila. Aku tak mengapa, mungkin saja aku sudah gila sejak dari awal.

                Di sana terlihat seseorang yang menemani diriku di balik jendela. Meski tak ada orang lain di samping bangkuku.

                Diriku di sana yang tersenyum bahagia.


Lempuyangan Yogya– Gebung Surabaya ,13 November 2015
Kereta Gaya Baru Malam

Aku Jendela dan Kau di balik Jendela  

Merasa Baikan


                Hari ini kau membuka lagi buku itu. Buku yang kau beli sampai empat eksemplar. Yang katamu entah sisanya akan kau berikan untuk siapa, kau tidak tahu.
               
                Coba renungkan sebentar. Hidupmu tak ubahnya seperti jam pasir. Kau tahu, di bagian atas jam pasir terdapat ribuan butir pasit. Satu demi satu butir-butir pasir tersebut bergerak dengan pelan-plan dan teratur melewati bagian leher yang sempit di tengah. Kau atau saya tidak bisa memaksa memasukkan pasir lebih dari satu butir melewati leher sempit tersebut tanpa merusak jam itu sendiri. kau, saya dan siapapun juga sama halnya seperti jam pasir tersebut. Bila kita bangun di pagi hari, kita dihadapkan pada setumpuk tugas yang harus kita selesaikan pada hari itu. Tugas yang jumlahnya ratusan itu harus diselesaikan dengan tenang satu demi satu, bergantian secara teratur dan pelan-pelan, seperti halnya butir-butir pasir dalam jam pasir yang satu demi satu melewati bagian leher sempit. Kita harus berbuat demikian. Kalau tidak, berarti kita merusak struktur tubuh atau mental kita.

                Aku merasa lebih tenang dan lebih bahagia.


Kamis, 19 November 2015

Alone



Hancur, sayap yang pucat
Kamu hanya sedikit kelelahan di langit yang serba biru
Bukan untuk orang lain
Tersenyumlah untuk diri sendiri

Tidak berubah kesendirian merayap, terserah kamu
Lilin menyala di pelataran,
Berbeda dengan biasanya, indah ramai

Namun kita disini malah hanya saling diam.
Tanpa ada lisan yang bergerak
Kurangnya kata kata menciptakan kekosongan
Apa yang harus aku isi?
Aku tidak tahu lagi

Jika setidaknya dalam mimpi,
Aku bisa berbicara denganmu, aku tidak perlu WA ini lagi
Jika setidaknya aku bisa berani
Aku lebih memilih duduk membicarakan banyak hal.
Dengan mulut, bukan ketukan jemari.


Selasa, 17 November 2015

Hard Knock Day



                Fight ! Dobrak dan hadapi tantangan yang ada
                Itulah hari-hari keras yang kita jalani
                Bisakah ketenangan setiap harinya memuaskan rasa haus kami
               
Here We Go ! jangan pernah lari
Ayo kita jalani seperti angin kuat yang membawa kita
Perjalanan kita masihlah sangat panjang
Tetaplah maju melalui hari hari menyulitkan itu

                Ayo kita lakukan lagi, berapa kali pun, baby
                Haruskah aku bangkit kembali untuk mewujudkan impianku?
                Entah kenapa kekuatan tekadku
                Seperti selalu diuji setiap hari

Hey Lets Go
Aku tak ingin membuat alasan ataupun membuat impian kecil
Hey Lets Go
Kita melompat menuju dunia gila yang begitu liar

                Dengan susah payah kuberpijak, kenyataan membuatku lengah
                Meskipun hal itu menjatuhkanku, mengenaiku, membuatku terkapar lagi
                Sekali lagi kita bangkit kembali dan melihat ke depan
                Dan yang terakhir tertawalah yang menjadi pemenangnya

Fight ! Dobrak dan hadapi tantangan yang ada
Itulah hari hari keras yang kita jalani
Bisakah ketenangan setiap harinya memuaskan rasa haus kami
               
Here We Go ! jangan pernah lari
Ayo kita jalani seperti angin kuat yang membawa kita
Perjalanan kita masihlah sangat panjang
Kita akan terus maju

Fight dan guncangkan, cobalah untuk menjadi kuat
Itulah hari hari keras yang kita jalani
Tak ada yang namanya pilihan aman

                Ayo kita maju, kita akan selalu menjadi yang terkuat
                Tinggal maju dan jangan khawatirkan akibatnya
               
Ayo kita satukan harapan kita,
Dan terus maju melalui hari hari sulit kita

                Melewati cahaya yang bersinar setiap hari



                *OP Ep 709

Kalau



                “Ada pertanyaan terkait materi kita hari ini?”
         
       Beberapa mahasiswa tampak saling pandang. Beberapa yang lain tampak sibuk merampungkan catatan yang tertulis di papan depan. Disana dosen menuliskan beberapa soal untuk dikerjakan di rumah. Hari itu tidak ada mahasiswa yang mengangkat tangan untuk bertanya.

                “Kalau tidak ada pertanyaan, kita akhiri kelas kita hari ini. Jangan lupa mengerjakan PR nya dan dikumpul di kelas minggu depan.”
***

                “Rehan, kau sudah mengerjakan PR dari dosen tempo hari belum?” tanya seorang kawan sehari setelah kelas itu ditutup.

                “Ah gampang, besok-besok juga masih bisa dikerjakan. Sekarang aku mau menonton film dulu. Lagi seru nih.”
***

                Hari terus bergulir, Rehan menghabiskan harinya dengan bermain game dan menonton film. Baginya ketika tugas masih jauh dari hari deadline adalah saat yang tepat untuk bersantai ria. Tak terasa malam ini adalah malam Sabtu.

                “Han, besok kita mau ke Bandung. Mau berkunjung ke banyak tempat. Katanya kau pingin banget to kesana?”

                “Besok banget?”

                “Iya, ditawari kawan si Jon. Dia sekalian mau pulang kampung katanya.”

                “Tapi aku belum ngerjain tugas dosen buat besok. Dan kalau nggak ngerjain nggak boleh ikutan kelas selanjutnya.”

                “Lho? Kamu belum ngerjain? Bukannya tugasnya dari senin ya? Jadi kau nggak ikut?

*****

Kamis, 12 November 2015

Aku Tidak Akan Mengingat Nomor Dua


                Gumpalan-gumpalan kertas berceceran sana sini. Kertas-kertas bertuliskan cerita-cerita yang Lana buat. Anak perempuan itu tengah duduk sembari memegang pensil dan menghadap kertas. Menyusun kata berulang kali hingga membentuk cerita sebagai materi lomba. Memberikan tulisan-tulisan terbaik agar namanya masuk dalam juara satu kompetisi menulis tersebut. Ini juga lomba pertamanya dalam dunia kepenulisan anak-anak,wajar jika ia merasa gugup. Sejatinya yang diincar anak tersebut bukan hadiahnya. Buat apa uang untuk dirinya yang sudah merasa bahagia dengan kehadiran kakaknya. Ia sudah merasa cukup. Tapi juga tak bakalan menolak apabila diberi hadiah. Ia takut merasa “nggak enak” jika menolak pemberian maupun hadiah.

                Lana melakukan ini untuk menjadi diri yang bisa dibanggakan. Dibanggakan oleh kakaknya, Rehan. Diingat oleh semua orang. Bukankah orang akan mengingat siapa yang nomor satu?

                “Argghhh…” Ia mengacak-acak rambut dengan kedua tangannya. Beberapa kali kalimat demi kalimat ia buat namun belum ada yang menurutnya terbaik. Belum ada yang menurutnya akan menjadikan dirinya nomor satu.

                “Kalau cuma begini mana bisa aku menang.” Lana kembali meremas kertas  di depannya. Melemparkan ke tempat sampah di pojok ruangan. Tidak semua lemparannya berhasil masuk, maka tak heran jika di sekelilingnya terlihat berantakan.

                Ia terlihat frustasi.

                ***

                “Kau kenapa,  Na? Dari tadi kakak lihat kau sibuk mencoret-coret sesuatu”

                “Kak…, Lana ingin banget nulis, tapi Lana masih nggak bisa nulis. Belum bisa membuat cerita yang wah untuk Lana masukin lomba. Biar dapat juara satu. Biar Kak Rehan bangga.

                Rehan mengubah arah kursi yang diduduki Lana. Kursi itu sekarang menghadap ke arah Rehan. Pemuda itu sekarang justru jongkok di depan Lana. Mengusap peluh yang menetes di kening adiknya.

                “Siapa yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah amerika? Kau tahu pasti tanpa harus aku menyebutnya. Tapi siapa orang nomor dua yang menginjakkan kaki di sana?”

                Lana mengernyitkan dahi. Ia sedang menerka-nerka apa yang hendak kakaknya sampaikan.

                “Orang-orang memang tidak akan mengingat nomor dua atau sekian, barangkali kakak juga sama.”

                Gadis kecil itu tertunduk. Seolah dirinya tahu bahwa dirinya tidak akan menjadi nomor satu di kesempatan ini. Sedangkan Rehan justru tengah memperbaiki rambut Lana dengan jemarinya. Mengusap lembut kepala adiknya tersebut sambil berucap suatu kalimat pelan.

                “Kak Rehan mungkin tidak akan ingat juara nomor sekian, tapi kak Rehan akan selalu ingat kerja keras Lana. Sifat pantang menyerahnya dirimu, Na. Kak Rehan akan ingat itu selalu.”


 ***** 


*Masih buruk dalam penulisan cerita, masih ngerasa monoton dan menggurui, kudu banyak belajar. Ada yang berkenan mengajari?