Setiap orang selalu punya cerita
masing-masing. Suka-Duka, Tangis-Tawa (mirip lagu) menjadi bumbu-bumbu cerita
yang kita kenang selamanya. Tak terkecuali juga kenangan akan menulis. Bukan
maksud apa, hanya ingin bernostalgia.
Apa
sih nulis itu? Sulit? Butuh inspirasi banyak. Setidaknya itu yang kupikirkan
waktu SMA dulu. Duh dek, aku tak senang membaca, apalagi menulis. Tak tahu dan
merasa heran saja dulu kepada orang-orang yang bisa merangkai kata membentuk
sebuah tulisan, sebuah cerita.
Jika
ditarik dari SD sampai SMA, tak pernah kepikiran sama sekali punya hobi
menulis. Jujur saja keluargaku masih minim budaya literasi. Pernah melahap novel
di kala masih bocil maupun remaja? Tak pernah. Baru SMA aku mulai menjamah
buku-buku selain matematika, fisika, biologi dan kimia.
Itu
pun bukan karena aku mau, melainkan terpaksa. Apa boleh buat SMA 1 Kota
Pekalongan atau yang akrab disapa SMA Kartini mewajibkan muridnya membaca 15
buku baik fiksi dan non fiksi sebelum mereka lulus. Disinopsis dan masuk dalam
penilaian khusus pelajaran bahasa Indonesia. Beberapa buku yang masih kuingat
seperti Layar Terkembang karya Sutan Alisyahbana, Tersesat di Surga, Kupu-Kupu
Pelangi, Narnia : The Last Battle, Blackforest Blossom, Tidak Hilang Sebuah
Nama, Bertanam melon hingga bertanam ayam. Kelima belas buku itu disinopsis
dalam jangka waktu 5 semester.
Tak
banyak, namun karena tidak begitu menikmatinya, terasa berat juga.
Kukerjakan
selalu mepet-mepet akhir semester.
***
Aku
tak pernah menyangka sekarang aku begitu menyukai menulis.
Karena
jika diingat kembali, tak ada cerita pernah kubuat saat SMA dulu, kecuali pada
tugas bahasa Indonesia kala itu.
Bercerita
tentang seorang raja yang “sok-sokan” ingin tahu masa depannya. Kemudian ia
bertanya kepada sang peramal di kerajaan.
“Anda
akan dibunuh oleh putra anda sendiri,” begitulah jawab si Peramal.
Raja
yang merasa ketakutan dibunuh anaknya kemudian memperlakukan buruk anaknya
sendiri sejak dari kecil. Padahal sejak sebelum ia bertanya sama peramal, baik
sang raja maupun sama anaknya saling menyayangi. Anaknya juga tampan dan
berperangai baik.
Kejadian
itu berlangsung lama, dan anaknya hanya menumpuk kebencian demi kebencian dalam
hatinya terhadap perlakuan sang Raja. Sampai suatu hari si anak tumbuh dewasa
dan menyukai seorang gadis, Raja memisahkan mereka dan justru menjebloskan si
anak ke penjara.
Kebenciannya
memuncak, dan dari penjara ia meminta pembantunya untuk mencampurkan racun ke
makanan sang Raja. Maka terjadilah seperti apa yang diramalkan si peramal.
Raja
akan dibunuh oleh anaknya sendiri.
Di
akhir cerita kuberi sebuah penutup “Kalau saja Raja tidak bertanya sama
peramal, mungkin keduanya akan hidup dengan bahagia sebagai seorang ayah dan
anak”
***
Apakah
itu cerita murni buatanku sendiri kala itu? Tidak. Cerita itu kunukil dari
sebuah episode serial kerasakti di TV waktu itu.
Ketika
diminta menuliskan puisi? Aku menuliskan dengan judul iblis. Berisi tentang
hadiah doa kepada Iblis agar dia dimasukkan ke neraka jahannam karena telah
menyesatkan adam hawa. Puisi itu hanya modifikasi dari syair lagu berjudul
neraka jahannam karya band boomereang (sudah tidak hits waktu itu, tapi aku
hafal. Mumpung tidak hits, aku ambil dari sana. “Tidak bakalan ada yang tahu,” pikirku.
***
Makanya
waktu dulu, aku kagum dengan kawan bernama Reza Rahmat Syah. 3 tahun kita satu
kelas, dia menjadi temanku yang sudah aktif mengirimkan tulisan-tulisan di
berbagai perlombaan nasional. Aku ingat sekali dulu ketika ia mengirimkan
naskahnya ke UI untuk menjadi peserta satu-satunya di kelasku di SMA (setahuku
dia satu-satunya).
Dan
tak lama sebelum ini, aku juga baru tahu bahwa ada kawan asramaku yang
pernah dimuat di Koran bahkan ketika ia masih bocil-bocil gitu. Tulisan tentang
ondel-ondel. Aku tahu itu dari seminarnya. Dan sampai sekarang dia masih menulis dengan begitu produktifnya.
Dua
orang ini, aku begitu bangga pernah mengenal mereka.
***
Tadinya
tulisan ini kuniatkan untuk mengingat kembali kenapa menulis ini bisa menjadi
hobiku sekarang. Yang jelas aku tidak menulis dari sejak bocil, SMP maupun SMA.
Untuk itu aku harus belajar dengan mereka yang telah mulai duluan.
Tulisan
pertama berjudul sudut pandang dimana ihrom mendapat uang Sembilan milyar dari
menjual berlian yang ia temukan di tepi pantai. Ketika sudah terjual, ia baru
mengetahui bahwa fakta berlian itu harganya sepuluh milyar. Ia sedih atas “kerugian”
1 milyar yang tidak ia dapat hingga ia lupa bahwa telah ada Sembilan milyar di
tangan.
Aku
menulisnya ketika semester tiga. Dan tak pernah dulu kepikiran akan punya hobi menulis.
Jadi
mohon bimbingannya ya kawan (mencari emot telungkup tangan).
*24 November
2015
Ruang Roso-Roso