Kamis, 17 September 2015

Rumput Manis



            Sebagai anak kampung, rumput manis ini begitu familiar di masa kanak-kanakku dulu. Berhektar-hektar batang setinggi 2 meter lebih yang bisa makan ini tumbuh di desaku.

            Dan sepulang dari kampus tadi, tak sengaja ku melihat penjual es tebu (bukan tak sengaja si, baru sempat buat berhenti). Ku berhentikan motorku sejenak, dan membeli satu buah minuman dari hasil perasan batang manis tersebut.

            “Bu, boleh nggak bu tebu gelondongannya ku beli?”
            “Buat apa mas?”

            Aku Cuma tersenyum, tapi rasa-rasanya senyumanku begitu nampak bahwa aku benar-benar menginginkannya.

            “Ya sudah, harganya segini mau?”

            Aku berpikir panjang. Duduk di depan meja tempat penjual itu menggelar dagangan.
            “Boleh deh Bu”
            ***
           
            Segera saja diriku ke dapur dengan batang manis yang panjangnya mungkin tidak lebih dari 50 cm.

            Meraih pisau “gede” dan segera kukupas kulit-kulit kerasnya.

            “Jan. mau nggak?”
            “Apa ni?”
            “Tebu”
            “Terus makannya gimana?”
            “Yaelah, dikunyah, tapi jangan ditelan yo”
            “Eh buset, enak banget ham”
            “Lah ente belum pernah makan ginian?”
            “Belum”

            Maklum saja mungkin ya, balik papan dan Kalimantan terlalu banyak kelapa sawit pikirku.

            Batang manis ini mengantar kepada memori dulu, masa bocil bocil tidak karuan nakalnya. Jarang pulang, lari-larian di tengah sawah, dan bermodalkan sebuah pisau, masuk bersama teman-temanku ke dalam kebun tebu.
            Melahap tebu sesuka hati di tengah tingginya barisan-barisan tebu yang telah menjulang tinggi.

            Sebentar kemudian pulang membawa beberapa batang untuk kami makan di rumah.

            Itu masa kecilku,

            Ketika aku tak begitu memahami kenapa dulu seperti itu. Sama seperti tidak pahamnya kenapa dulu begitu repot-repot adu lari bersama kawan permainan sambil mendongak ke atas hanya untuk mengejar layang-layang putus. Berseru riang “hei layangan tugel-layangan tugel-hei ada layangan putus-layangan putus” (heran juga kenapa aku nggak ngejarnya diam diam saja ya, kan biar dikit saingan)

            Padahal toh berapa si harga layangan baru, Cuma 500 rupiah waktu itu.
           
           
Ya begitulah, nampaknya memang tak perlu punya alasan kuat di masa kecil dulu.

            Ketika aku menyukainya, aku akan mengatakan aku menyukainya.
            Dan ketika tidak, aku akan bilang bahwa aku tidak suka.

Tebu dan layang-layang, Sebuah harta karun yang tak perlu penjelasan.



17 September 2015 14.08

Di samping laptop ada segelas es tebu


0 komentar:

Posting Komentar