Jumat, 11 September 2015

Tempat Makan Favorit



Baling-baling kipas angin di sudut kamar berputar sejak dari tadi. Menggoyangkan dengan sering sebuah tirai yang terpasang di jendela kamar. Sebuah kapur barus tergantung tepat di depan kipas angin, memberikan nuansa aroma melati. Membuat hidungku betah untuk berlama-lama duduk di dalam kamar. Menemani diriku yang tengah duduk lesehan memangku laptop. Mencoba berpikir keras menyusun sebuah cerita untuk dituliskan.

                Beberapa kali ku coba tuliskan sebuah kata, dan saat itu juga aku menghapusnya. Lebih sering menekan tombol delete daripada jejeran huruf qwerty di depan mata. Kertas-kertas cerpen yang kemarin kususun rapi, sekarang justru acak-acakan ikut beterbangan di sapu angin dari kipas. Aku mengambilnya, berharap mendapat sebuah ide cerita. Namun yang ada, aku hanya bisa menggaruk-garuk rambut di kepala yang tidak gatal.

                “Bro, makan yuk!” suara itu muncul diiringi sebuah kepala yang nongol secara tiba-tiba dari balik jendela.

                “Ayok deh, kayaknya ini yang membuatku dari tadi terdiam termangu tak mampu menuliskan apa apa. Aku lapar, hehe.”

                “Tak heran ya badanmu sebulet itu.”

                “Parah kau, mainnya fisik! Kenapa si di dunia ini tak ada yang bisa memaklumi kalau ada jutaan orang yang hidup memiliki kesuburan badan di atas rata-rata?” ucapku dengan nada sebal.

                Kunci telah terpasang. Motor telah berhasil dinyalakan. Sembari memanasi motor, temanku yang tadi mengajak makan  tak lupa juga untuk mengajak seluruh warga asrama. Dan seperti biasanya, ia berhasil membuat orang-orang lapar seketika dengan kata kata ajakan manisnya. Apa boleh buat, mereka yang tadinya tidak lapar akhirnya ikut kami juga.

                “Mau duduk dimana nih bro?”
                “Situ aja, di nomor 46. Pojokan enak, bisa buat sandaran.”
                “Oke deh, kalian mau makan apa?”
                “Apa? Lele terbang 5, Nasi goreng ampela 2, 3 ayam bakar. Ada tambahan?”
                “Ane nambah es teler ya. Tulis tuh tulis, yang manis.”

                Obrolan di buka dengan bahasan kongres kampus. Jarum jam yang sejak awal kita duduk menunjuk angka 1 sekarang telah menunjuk angka 3. Pandangan mata kami tertawan pada analisa salah satu kawan asrama. Aku hanya manggut-manggut. Bukan karena mengerti, tapi hanya agar tidak terlalu terlihat tidak mengertinya aku akan pembahasan itu.

                “Kau lihat foto yang tadi nggak?”, celetuk salah satu kawan yang duduk sembari menyeruput es teler yang duluan datang.

                “Eh iya iya, fotonya itu lho. Duh duh duh.”

                Kampus, politik, foto, jalan-jalan, sampai tetangga asrama menjadi topik perbincangan di meja makan. Sesekali tawa terdengar. Lele dicocolkan ke sambal. Gigi-gigi putih terlihat, gelak tawa terdengar. Satu topik belum selesai, beralih ke topik lain. Saking tak mampu ku menahan tawa, reflek ku lemparkan tempe goreng ke salah satu teman. Bukannya membalas, ia justru memakan tempe yang ku lemparkan. Kami tertawa lagi.

                “Porsi nasinya sedikit sekali ya, nggak kenyang nih,huhu.” Gumamku ketika akan beranjak pulang.
                “Berapa tho?”
                Teman di depanku menjawab dengan mengeluarkan seluruh jari di tangannya.

                “Wah mahal juga ya untuk menu yang tidak mengenyangkan gini!” aku berbisik kepada teman sebelahku. Sengaja untuk kalimat ini tidak kuucapkan dengan keras. Hanya kepada teman sebelahku.

                Jarum panjang di jam dinding telah menunjuk angka sepuluh. Aku pun beranjak ke wastafel di sisi bangunan untuk mencuci tangan. Krik-krik-krik. Air mengguyur tangan yang belepotan sambal. Sabun telah keluar dari botolnya. Tiba-tiba temanku tadi yang ku candai tentang mahalnya tempat makan ini mendekat. Mendekatkan mulut ke telingaku sambil menutupnya dengan tangan kirinya. Aku yakin, tak ada yang mendengar apa yang dia ucapkan. Kecuali diriku.

                “Bukan makanannya yang mahal, tapi kebersamaan kita tadi lah yang tak akan sanggup terbayar.”
                Perut yang tadi mengeluhkan masih lapar mendadak terasa kenyang.
*****




Ditulis sejak lama
Karena teringat tentang obrolan yang mau traktiran gaji KP

0 komentar:

Posting Komentar