Baling-baling kipas angin di sudut kamar
berputar sejak dari tadi. Menggoyangkan dengan sering sebuah tirai yang
terpasang di jendela kamar. Sebuah kapur barus tergantung tepat di depan kipas
angin, memberikan nuansa aroma melati. Membuat hidungku betah untuk
berlama-lama duduk di dalam kamar. Menemani diriku yang tengah duduk lesehan
memangku laptop. Mencoba berpikir keras menyusun sebuah cerita untuk
dituliskan.
Beberapa kali ku coba tuliskan
sebuah kata, dan saat itu juga aku menghapusnya. Lebih sering menekan tombol
delete daripada jejeran huruf qwerty di depan mata. Kertas-kertas cerpen yang
kemarin kususun rapi, sekarang justru acak-acakan ikut beterbangan di sapu
angin dari kipas. Aku mengambilnya, berharap mendapat sebuah ide cerita. Namun
yang ada, aku hanya bisa menggaruk-garuk rambut di kepala yang tidak gatal.
“Bro, makan yuk!” suara itu
muncul diiringi sebuah kepala yang nongol secara tiba-tiba dari balik jendela.
“Ayok deh, kayaknya ini yang
membuatku dari tadi terdiam termangu tak mampu menuliskan apa apa. Aku lapar,
hehe.”
“Tak heran ya badanmu sebulet
itu.”
“Parah kau, mainnya fisik!
Kenapa si di dunia ini tak ada yang bisa memaklumi kalau ada jutaan orang yang
hidup memiliki kesuburan badan di atas rata-rata?” ucapku dengan nada sebal.
Kunci telah terpasang. Motor
telah berhasil dinyalakan. Sembari memanasi motor, temanku yang tadi mengajak
makan tak lupa juga untuk mengajak
seluruh warga asrama. Dan seperti biasanya, ia berhasil membuat orang-orang
lapar seketika dengan kata kata ajakan manisnya. Apa boleh buat, mereka yang
tadinya tidak lapar akhirnya ikut kami juga.
“Mau duduk dimana nih bro?”
“Situ aja, di nomor 46. Pojokan
enak, bisa buat sandaran.”
“Oke deh, kalian mau makan apa?”
“Apa? Lele terbang 5, Nasi
goreng ampela 2, 3 ayam bakar. Ada tambahan?”
“Ane nambah es teler ya. Tulis
tuh tulis, yang manis.”
Obrolan di buka dengan bahasan
kongres kampus. Jarum jam yang sejak awal kita duduk menunjuk angka 1 sekarang
telah menunjuk angka 3. Pandangan mata kami tertawan pada analisa salah satu
kawan asrama. Aku hanya manggut-manggut. Bukan karena mengerti, tapi hanya agar
tidak terlalu terlihat tidak mengertinya aku akan pembahasan itu.
“Kau lihat foto yang tadi
nggak?”, celetuk salah satu kawan yang duduk sembari menyeruput es teler yang
duluan datang.
“Eh iya iya, fotonya itu lho.
Duh duh duh.”
Kampus, politik, foto,
jalan-jalan, sampai tetangga asrama menjadi topik perbincangan di meja makan.
Sesekali tawa terdengar. Lele dicocolkan ke sambal. Gigi-gigi putih terlihat,
gelak tawa terdengar. Satu topik belum selesai, beralih ke topik lain. Saking
tak mampu ku menahan tawa, reflek ku lemparkan tempe goreng ke salah satu
teman. Bukannya membalas, ia justru memakan tempe yang ku lemparkan. Kami
tertawa lagi.
“Porsi nasinya sedikit sekali
ya, nggak kenyang nih,huhu.” Gumamku
ketika akan beranjak pulang.
“Berapa tho?”
Teman di depanku menjawab dengan
mengeluarkan seluruh jari di tangannya.
“Wah mahal juga ya untuk menu
yang tidak mengenyangkan gini!” aku berbisik kepada teman sebelahku. Sengaja
untuk kalimat ini tidak kuucapkan dengan keras. Hanya kepada teman sebelahku.
Jarum panjang di jam dinding
telah menunjuk angka sepuluh. Aku pun beranjak ke wastafel di sisi bangunan
untuk mencuci tangan. Krik-krik-krik. Air
mengguyur tangan yang belepotan sambal. Sabun telah keluar dari botolnya.
Tiba-tiba temanku tadi yang ku candai tentang mahalnya tempat makan ini
mendekat. Mendekatkan mulut ke telingaku sambil menutupnya dengan tangan
kirinya. Aku yakin, tak ada yang mendengar apa yang dia ucapkan. Kecuali
diriku.
“Bukan makanannya yang mahal,
tapi kebersamaan kita tadi lah yang tak akan sanggup terbayar.”
Perut yang tadi mengeluhkan
masih lapar mendadak terasa kenyang.
*****
Ditulis sejak lama
Karena teringat tentang obrolan yang mau traktiran gaji KP
Karena teringat tentang obrolan yang mau traktiran gaji KP
0 komentar:
Posting Komentar