Orang-orang yang pernah melancong ke luar negeri sering
bilang bahwa kita akan mencintai Indonesia setibanya di negeri orang. Aku
percaya begitu saja? Tentu tidak. Lagian dulu serasa tidak masuk akal. Bukankah
negeri orang terlihat lebih maju daripada negeri kita sendiri? Mana bisa lebih
mencintai meninggalkan sosok yang dicintai dan beranjak menemui sosok lain?
Meski secara logika tidak begitu terasa benar, namun pikiran ini tidak
sepenuhnya menolak statement kita akan mencintai Indonesia setibanya di negeri
orang.
Hari itu, ketika gema takbir berkumandang, kami Nakula
lepas landas dari Bandara Adi Chip, meninggalkan kampung halaman di kala Idul
Adha menjelang. Menjadikan tahun ini satu-satunya idul Adha tanpa makan sate
dan daging kurban (#ah sedih). Tapi tak apalah, demi sebuah pembuktian
kecintaan akan negeri yang sering orang bilang.
Kami terbang, Nakula mengangkasa kemudian turun lagi ke
tanah Malaya.
Sebuah kendaraan LRT, Go KL dan segala transportasi
public yang terkelola begitu apik menimbulkan sesuatu kekaguman, di malam
pertama dekat penginapan Pasar Seni, beberapa orang dari kami masuk ke
mini-market di tepian jalan (Disana namanya KA-KA Mart). Melihat-lihat barang
yang dijajakan untuk sekadar mengganjal perut yang lapar. Harga-harga yang
terpampang hanya satu dua digit. Tentu dengan mata rupiah ringgit.
Ada mie instan yang harganya hampir 4 ringgit, padahal
kalau di Indonesia hanya 3 sampai 4 ribu doang, roti, minuman, sikat gigi,
odol, dan barang-barang lain yang semula terasa murah namun jika dikurskan jadi
disadari bahwa ternyata mahal-mahal.
Kami keluar dari mini market untuk berjalan kembali ke
penginapan.
Salah satu dari kami terlihat mengarahkan pandangan ke
atas. Memikirkan suatu hal sambil menyebut beberapa harga.
“Aku mengerti sekarang, kita akan lebih mencintai
Indonesia di negeri orang. Minimal setelah melihat harga-harga makanannya” ia
mengucapkannya sambil tertawa lepas.
Pasar Seni – Kuala Lumpur, 24 September 2015
0 komentar:
Posting Komentar