Sabtu, 23 Mei 2015

Raja, Salak dan Keselamatan Negara

Konon, jauh sebelum istilah hindia belanda diperkenalkan, berdirilah sebuah kerajaan yang dipimpin seorang raja bernama Mutas.

Dia raja tanpa mau mengenakan mahkota.

Sampai suatu hari, Sang Raja memutuskan untuk pergi menemui ibunya. Raja tahu benar bahwa sang bunda sangat gemar akan salak. Maka ia memutuskan membeli beberapa kilogram sebagai buah tangan keluarga. Ditemani oleh anak perempuannya bernama Mila, maka mereka berdua berkendara pulang.

Pakaiannya sederhana, tidak lebih dari kain yang dipakai kebanyakan rakyatnya. Kendaraannya pun tidak  bisa dibilang mewah, hanya seekor kuda kampung berwarna coklat. Maka sepanjang perjalanan, tidak ada satupun yang mengenali mereka berdua, Raja dan Mila.

Di tengah perjalanan, kaki Mila tidak sengaja menendang kantung salak yang terpasangkan di punggung kuda. Kantung plastik hitamnya sobek. Tumpah ruah semua salak.

“Mas, ini dipakai buat bungkus salaknya” tiba-tiba seorang ibu-ibu penjual asongan datang menghampiri, menawarkan beberapa lembar plastik hitam untuk wadah salak. Tentunya ibu tadi tidak tahu kalau laki-laki di depannya sejatinya adalah seorang raja.

Sang Raja memungut beberapa salak yang tercecer di tanah, mengusap-usapnya dan memasukan ke dalam kantong plastik. Menghampiri ibu-ibu asongan yang sibuk menawarkan jajanannya kepada beberapa warga yang lewat.

“Ini Bu buat Ibu”
“Eh tidak usah Mas”
“Monggo Bu, ditampi nggih.”
Ibu-ibu itu menatap bingung, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal dengan tangan kirinya.

“Ayah apa yang ayah lakukan? Bukankah kita sudah punya plastik di kantung kuda?”
“Ayah sedang menyelamatkan negara Nak”
“Menyelamatkan negara dengan memberi salak kepada pedagang asongan? Bagaimana bisa?”
Sang Raja tersenyum, memandang teduh wajah anak perempuannya itu.

“Nak, ayah memang tidak membutuhkan plastij darinya sebenarnya, karena benar katamu kita sudah punya banyak.”
“Terus?”
“Ayah memberikan sebagian salak kita karena ayah percaya. Kerajaan bisa saja hancur karena senjata, perang. Kerajaan hancur lantaran orang-orang peduli sudah tidak ada lagi. Ayah khawatir, jangan-jangan orang-orang peduli memutuskan untuk tidak peduli lagi lantaran kita tidak mempedulikan mereka-mereka yang peduli.”

“Apa jadinya kalau nggak ada orang yang peduli yah? Mila bingung”
“Haha, Mila. Suatu saat kau akan mengerti nak, yuk berangkat lagi ke rumah nenekmu.” sambil mengacak-ngacak rambut anak perempuannya


0 komentar:

Posting Komentar