Konon, jauh sebelum istilah hindia belanda diperkenalkan, berdirilah
sebuah kerajaan yang dipimpin seorang raja bernama Mutas.
Dia raja tanpa mau mengenakan mahkota.
Sampai suatu hari, Sang Raja memutuskan untuk pergi menemui ibunya. Raja
tahu benar bahwa sang bunda sangat gemar akan salak. Maka ia memutuskan membeli
beberapa kilogram sebagai buah tangan keluarga. Ditemani oleh anak perempuannya
bernama Mila, maka mereka
berdua berkendara pulang.
Pakaiannya sederhana, tidak lebih dari kain yang dipakai kebanyakan
rakyatnya. Kendaraannya pun tidak bisa
dibilang mewah, hanya seekor kuda kampung berwarna coklat. Maka sepanjang
perjalanan, tidak ada satupun yang mengenali mereka berdua, Raja dan Mila.
Di tengah perjalanan, kaki Mila tidak sengaja menendang kantung salak
yang terpasangkan di punggung kuda. Kantung plastik hitamnya sobek. Tumpah ruah
semua salak.
“Mas, ini dipakai buat bungkus salaknya” tiba-tiba seorang ibu-ibu
penjual asongan datang menghampiri, menawarkan beberapa lembar plastik hitam
untuk wadah salak. Tentunya ibu tadi tidak tahu kalau laki-laki di depannya
sejatinya adalah seorang raja.
Sang Raja memungut beberapa salak yang tercecer di tanah,
mengusap-usapnya dan memasukan ke dalam kantong plastik. Menghampiri ibu-ibu
asongan yang sibuk menawarkan jajanannya kepada beberapa warga yang lewat.
“Ini Bu buat Ibu”
“Eh tidak usah Mas”
“Monggo Bu, ditampi nggih.”
Ibu-ibu itu menatap bingung, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal
dengan tangan kirinya.
“Ayah apa yang ayah lakukan? Bukankah kita sudah punya plastik di
kantung kuda?”
“Ayah sedang menyelamatkan negara Nak”
“Menyelamatkan negara dengan memberi salak kepada pedagang asongan?
Bagaimana bisa?”
Sang Raja tersenyum, memandang teduh wajah anak perempuannya itu.
“Nak, ayah memang tidak membutuhkan plastij darinya sebenarnya, karena
benar katamu kita sudah punya banyak.”
“Terus?”
“Ayah memberikan sebagian salak kita karena ayah percaya. Kerajaan bisa
saja hancur karena senjata, perang. Kerajaan hancur lantaran orang-orang peduli
sudah tidak ada lagi. Ayah khawatir, jangan-jangan orang-orang peduli
memutuskan untuk tidak peduli lagi lantaran kita tidak mempedulikan
mereka-mereka yang peduli.”
“Apa jadinya kalau nggak ada orang yang peduli
yah? Mila bingung”
“Haha, Mila. Suatu saat kau akan mengerti nak, yuk berangkat lagi ke
rumah nenekmu.” sambil mengacak-ngacak
rambut anak perempuannya
0 komentar:
Posting Komentar