Minggu, 24 Mei 2015

Pembalasan Cacar

Semut-semut merayap di batang rambutan, Berbaris rapi menuju ke arahku. Nampaknya mereka bersekongkol untuk ‘menghabisi’ diriku yang tengah naik ke atas pohon untuk memetik rambutan dengan tongkat dua meter.

“Ibu apa-apaan si? Masak Rohim diminta Ibu memetik rambutan penuh dengan semut gini. Mana tadi wafer delfi yang kubeli sepulang sekolah dilahap habis oleh wawan. Dan ibu bilang apa? oh ya, kamu kan sudah besar, mbok ya ngalah.” gerutu ku sebal sambil menginjakan dahan yang telah melengkung karena menahan beban berat tubuhku.

“Aduh” Aku mengusapkan jidat kepala yang telah memerah karena digigit semut. Belum selesai rasa sakit akibat gigitan itu hilang, seluruh tangan, dan punggungku telah di’kerubungi semut. Mereka nampaknya berpesta ria ‘gemas’ dengan kulitku.

Tak ayal, semua tubuhku penuh dengan bentol merah.

“Ibu, Kak Rohim kena cacar!” teriak wawan adikku dengan ekspresi ketakutan. Cacar memang sempat mewabah di lingkungan kami, dan wawan mendapat pelajaran dari bu guru bahwa jangan dekat dekat orang cacar, nanti bisa ketularan.

Aku justru iseng berlari-lari mengejar wawan, mencoba memeluk dan menempelkan pipi penuh bintik merah ke pipi gembilnya. Yang dikejar justru spontan mendobrak pintu kamar sembari menutup mata dengan bantal.

“Akhirnya aku bisa balas dendam!” aku terkekeh kekeh. 

*Wafer, Tongkat dan Cacar


0 komentar:

Posting Komentar