Harusnya aku tidur tadi, tidak kurang 5 jam
duduk di atas soul GT untuk kembali ke asrama membuat badan agak kecapean. Tapi
dengar ajakan untuk badminton. Mana bisa kumenolak?
Apa aku akan bercerita bagaimana hebatnya Adi
dalam memukul cock? Tidak. Itu sudah biasa, semua orang sudah tahu itu.
Hebatnya diriku? Aku masih belajar, bahkan untuk sekedar menimpuk
kumpulan bulu itu aja sering gagal. -_-
Hari ini, ingin bercerita tentang seseorang. Dia tidak begitu pandai bermain badminton. Setidaknya
begitulah yang terlihat. Namun, aku sempat tercengang karena dia menantang si
jagoan badminton untuk bertanding single. Maka rasa antusias dan penasaranku
mendorong untuk duduk di kursi tinggi wasit. Ikut mengawasi jalannya
pertandingan.
Dia kewalahan dibuatnya. Melangkah ke depan,
samping, belakang. Segala penjuru lapangan dia datangi demi membalikkan cock ke
daerah lawan. Padahal, di sisi net yang lain, si jago santai saja
menanggapinya. Game ditutup dengan 21 vs 5.
Aku pikir dia akan menyudahi pertandingan. Enggan untuk melanjutkan ke game kedua lantaran kalah
telak dengan lawannya. Ternyata aku salah, benar-benar salah. Dia justru santai
dan semangat bilang bahwa “aku telah berkembang kan mas dari kemarin?”
Padahal kalau itu aku, seringnya aku akan
meletakkan raket di bangku tunggu. Bilang “capek” sebagai alasan yang masuk
akal.
Game kedua ditutup dengan 21 vs 7.
“Menyerah itu pekerjaan mudah. Dan itu
yang dilakukan kebanyakan orang. Berhasil itu biasa. Tapi berjuang dari
kekalahan dan menyadari bahwa itu sebagai proses berkembang adalah suatu hal
yang spesial.”
“Berhenti berusaha itu mudah. Dan jawabannya
hanya perlu “sedikit”. Sedikit lebih lama belajar, sedikit lebih cepat
berlari, sedikit lebih giat berlatih dan sedikit lebih bersabar.”
“Cuma perlu sedikit.”
Yogyakarta, 17 Mei 2015
Sisa-sisa keringat sudah tiada terkena hembusan kipas level 3
0 komentar:
Posting Komentar