Kukira bakul cilok itu karena aku bisa memanen cilok
dari pipi. Tinggal cubit pipi dengan telunjuk dan jempol membentuk lingkaran,
terus tinggal ditarik. Aha, dapatlah cilok. Jadilah tulisan ini judulya bakul
cilok, meskipun awalnya ingin kuberi judul Hari Ketiga.
Jumat malam kemarin, mantan teman-teman satu
departemen di pabrik yang dulu pada berangkat untuk liburan ke Bandung.
“Mantapppp. Have fun guys” (huruf p nya perlu 4, aku bayangin kalau kuucapkan itu p nya harus
berdengung sambil mingkem lama)
“Parani nggak mas? Iseh 1 slot kursine”. Jadi
perjalanan mereka menyewa dua mobil, dan temenku ngajak karena mungkin biar
iurannya lebih ringan, padahal yo nambah satu orang juga nggak terlalu ngefek
juga kan pengurangannya.
Nah jadilah aku kepikiran, itu chat nya Jumat siang
selepas jumatan. That’s why aku ngechat, mbok menowo barangkali bisa jumpa di
Jumat Malam, terus buru buru pulang, barangkali jadi bisa ikut ke Bandung
karena mereka baru berangkat jam 11 malam dari Cilegon. Oportunis banget ya,
wkwkwk.
Tapi untunglah, tetap di hari Sabtu. Untung banget
tidak jadi, karena aku sendiri nggak kebayang, saat duduk sambil gemetara, chat
dari bos masuk, minta bahan presentasi diperingkas dan dibuatkan naskah untuk
bahan materi di hari Senin. Pas curi-curi baca WA aja sudah harap harap cemas,
ini teks chat nya lebih membuat cemas kuadrat. Aku masih nggak bayangin sih,
kondisi nggak bawa laptop, pinjam laptop linux punya teman, tapi kok merasa
buntu pikirannya. Kejadian ini juga semacam menemukan kesadaran yang baru,
manja banget aku kalau kerja kudu menatap layar laptop sendiri yang berdebu dan
penuh gelembung karena nggak pandai memasang screen protector, nggak bisa pakai
laptop orang. Dih.
Aku masih nggak kebayang, kalau hari itu ke Bandung,
kayake bisa jadi cuma panik tak bersolusi pas harusnya senang senang karena
sedang liburan. Siapa pula orang yang akan bawa laptop ketika mereka menikmati
liburan karena saking banyaknya penat di keseharian?
Kembali ke hari Jumat, check list hari itu, mencuci, potong
rambut, servis motor dan beli lapis talas bogor. Mencuci karena outfitku cuman
jeans, dan saat itu sedang kotor, hiks hiks. Potong rambut? Karena rambutku
kalau panjang jadi bergelombang dan mengembang persis kayak bakpau (apa singa
ya?). Intinya kalau panjang, rambutku bisa ditekan terus kerasa ada ruang hampa
di batas antara rambut dan kulit kepala. Servis motor? Serius deh, kalau nggak
ada hari Sabtu kemarin, entah motor bakal terservis kapan. Semenjak mampir ke
dealer dekat kosan jam 9 pagi dan tertolak gegara sistem online atau antrian
apalah itu karena corona, jadi mager servis motor, hiks hiks. Jadi emang
berfaedah sekali hari Sabtu buat motor hitamku (Hey tor, kowe perlu matur nuwun sama hari Sabtu). Yang terakhir
adalah Lapis talas bogor, pernah sempat kepikiran kalau beli langsung ke Bogor,
ceritanya mau naik KRL nyampe Bogor, beli, terus langsung pulang. Wkwkwkw
segabut itu pikirannya. Ya karena katanya kalau di Bogor bisa murah harganya.
Padahal ya niatnya cuman beli dua kotak, dan saat kalkulasi harus jalan
kaki, busway, KRL – KRL, busway, jalan
kaki, lah malah jadi mahalan di perjalanan. Kepikirannya beli pakai gofood,
biar dibeliin dan dianterin sampai depan kos. Tapi njuk kepikiran lagi (kakehan
mikir yo) kalau disimpan semalam di kamar, dirubung semut nggak yo. Lapis jadi
satu uncompleted mission.
Jalan jam delapan pagi. Nggak bisa ngebut, satu karena
nggak tahu jalan, dua karena mencari-cari barangkali ada toko lapis yang
kemarin sempat nggak dibeli. Pokoknya kalau nggak lapis itu, ya amanda. Cuma
dua itu kepikirannya, eh ternyata beneran ketemu dua-duanya di satu kawasan
yang bersebelahan. Ada keuntungannya ternyata kalau motoran itu. Ngikutin
gmaps, dan nggak enaknya kalau sendirian terus modal cuman gmaps jadi nggak
tahu kalau ada fly over, ambil bawah apa ambil atas. Gmapnya nggak ngomong
apa-apa. Diem aja kayak baperan. Fly over pertama, oke berhenti dulu di
pinggiran. Ambil hp dari tas slempang, lihat peta nya, oh ternyata lewat atas.
Fly over kedua, karena masih diem aja gmap nggak ada suara, ya pilih atas dong
(bener nggak sih, karena kejadian pertama, jadi pelajaran buat kejadian kedua),
dan ketika motor sudah berada pada posisi di angkasa, si gmap bilang belok
kiri. Gmap nya nyuruh motorku terjun ke kiri dari fly over atas. Sudah gitu,
entah sehabis ngelawatin nama jalan Jatireja apa ya, jalan yang kulewati
semacam kebon orang. Haish
Sampai di dekat lokasi, masih jam 9.50. Karena sudah
diingetin ontime, jangan kecepetan (aku masih gagal paham, biasanya orang
ngingetin ontime itu berbarengan dengan jangan telat), akhirnya minta tolong
gmaps yang sudah sempat membuatku kecewa tadi, ketik masjid terdekat. Ketemu
Muhajirin. Markirin motor kesitu, beli es teh pake plastik dari warung dekat
masjid, sruput. Buka hp lagi, kalau bisa jangan jam 10 pas. Ya mampir ke
masjidnya dan tetiba kok rasanya pingin pulang ya, hiks-hiks. Akhirnya duduk di
teras masjid dan berdoa sembari menunggu.
Aku juga baru sadar, kalau disuruh bicara formal, aku
pasti menawarkan jowonan opo bahasa indonesia? Terus milih jowo, padahal
bahasaku ngoko, terus jadi nggak lancar ngomongnya, terus usul pakai bahasa
indonesia, yo plintat plintut neh. Aku sampai ingin usul ada bahasa baru, yaitu
bahasa kalbu. Jadi apa yang ada di hatiku dan pikiranku bisa terucap tanpa
harus ada suara yang keluar dari mulut. Ya semacam telepati, dan masih sempat
sempatnya aku mengkhayal kalau saja ada telepati, pas sedang berbicara.
Diriku yang kukenal adalah orang kikuk. Aku sampai
bertanya ke orang, tentang topik obrolan dan juga tanya kepada orangnya
langsung. Bayangin yo, misal aku ada rencana ketemu sama seseorang, terus
beberapa hari sebelum ketemu, orangnya kuchat.
“Nanti kalau ketemu, mau ngobrolin apa?”
Makanya iri banget sama orang yang pandai bicara,
kalau orang dengernya bisa ikut ketawa-tawa, balok es nya jadi air (mencairkan
suasana maksudnya).
Kalau aku pulkam, ibuku selalu ke pasar, beli bebek
utuh, dipotong-potong sendiri, dimasak, terus aku disuruh makan yang banyak.
Tidak cuman perihal bebek sih, pokoknya pas di rumah, aku dadi tukang resik
resik. Resik-resik maeman maksude. Pulkam kemarin juga pas balik jakarta jadi
umbelen. Hidung meler. Kayake karena anak kos kalau lihat kulkas jadi
kegirangan gitu ya, jadi hawanya pingin bikin es terooooos.
Terus ternyata aku merasa amazing denger pembicaraan
antar orang tua tentang pilihan pendidikan anaknya. Pilih pondok pesantren
mana, cari opsi-opsi yang tersedia, survei sana-sini. Pemandangan yang sesuatu
banget. Soale mungkin dulu aku nggak ngalamin hal yang kayak gitu. SD sampai
kuliah, milih sendiri. Sekarang sempet kepikiran sih, kayake pingin gitu masuk
ke sekolah pondok pesantren. Sepertinya hidupku akan lebih baik. Tapi hush
hush, nggak boleh gitu kham, kau yang hari ini adalah kumpulan dari dirimu yang
masa lalu, dan pastilah jalur hingga sampai ke keadaan seperti ini adalah pilihan
terbaik dari Allah.
Akhirnya ke kosan temen, tujuh kilo perjalanan tapi
kerasa dekat sih.
Di kos temen, tadinya mau langsung ke karawang, eh
tapi ternyata temenku lagi pilek dan temen yang hendak kita kunjungi masih ada
bayi di dalam keluarganya. Akhirnya ya kita urungkan. Rebahan, nungguin temen
potong rambut sambil menggigit ayam di pinggir jalan (dekat tempat cukur, ada
penjual gerobak ayam tepung, daripada nganggur bengong nungguin orang potong
rambut, ya belilah dan langsung disantap tanpa pakai piring. Sedih ya, pengisi
waktu luangku adalah makan. Hiks hiks. Beli pecel madiun, mendoan dan sekoteng
(dimana mana kalau ditawari pecel yang sebenar-benarnya pecel, pasti nggak bisa
nolak). Terus pura-puranya pinjam laptop, eh ternyata tetap mampet pikiran
nggak ada ide buat ngerjain kerjaan.
Besoknya sarapan jam 6, di warteg prasmanan di jalan
Kasuari 9 dan langsung buru-buru pulang. Hiks hiks.
Pas sampainya di kamar kos, padahal pingin tidur, tapi
kalau bos nelpon itu, kayak neror, makanya sering nggak kuangkat (plis jangan
ditiru ini). Daripada diteror kan ya, jadi pilih langsung ngerjain. Lancar sih
ngerjainnya ternyata kalau pakai laptop sendiri. Tapi ya tetap memakan waktu
juga.
Selesai tuh, kukira bisa langsung tidur. Tapi ternyata
kalau tidur direncanakan, jadi nggak bisa tidur lagi. Hadeh
Dan sampai paragraf ini, ternyata tulisannya sudah
1276 kata. Sudah lebih panjang dari cerpen yang selama ini kubuat -,-
Closingnya? Aku masih bingung, kayake setiap tulisanku
biar yang baca metik suatu hikmah, atau minimal kata mutiara, atau sesuatu
penutup yang worth lah kan lumayan juga kalau dibaca sampai habis tulisan ini
bisa 10 menitan.
Denger cerita orang tua yang memikirkan pendidikan anaknya
itu amazing banget sih. Melihat mereka pusing, aku nggak bisa nahan senyum (ini
amazing apa julid sih). Tapi kata orang lain itu adalah hal biasa. So kata
mutiara sebagai penutup tulisan ini adalah.
“Tunjukanlah
hal biasamu padaku sebanyak-banyaknya, bisa jadi hal biasa itu malah hal yang
luar biasa yang aku terkagum karenanya”