15 Januari
2016
Aku menuliskan ini tanpa tahu harus
menuliskan apa. Tapi tulisan ini kuketikkan dengan begitu pelan, sepelan biasa
aku membaca tulisan-tulisanku kawanku yang satu ini. Aku tak perlu menyebut
namanya, karena jika kalian mengenal dia, pasti tahu siapa orangnya.
Aku
mengenalnya sebagai orang pendiam, tak banyak bicara. Tapi ketika ia dihadapkan
kepada suatu fenomena dan peristiwa sehari-hari, ia dengan mudah menangkap
makna, hikmah dan pelajaran dari apa yang dilihat, dengar dan ia rasakan.
Aku
mengenalnya sebagai orang yang tak banyak bicara, tapi sekali mengeluarkan
suara pasti itu benar-benar hal penting yang harus dia sampaikan. Begitu juga
dengan tulisan-tulisannya. Ia tak akan menyampaikan sesuatu di sana kecuali ada
pelajaran yang bisa diambil darinya. Ada nasehat yang lembut yang ingin dia
sampaikan. Aku sendiri tidak mengerti banyak apa itu tulisan bagus, tapi bagiku
ketika membacanya, tulisan itu mengena. Entah kalau orang lain berpendapat
beda.
Aku
mengenalnya sebagai orang yang tak banyak bicara, sekali waktu aku melihatnya
duduk dan di tangannya sudah tergenggam mushaf kecil dan khusyuk sekali dia
membacanya. Kadang pas ketika antri giliran tahsin, kadang ketika di waktu yang
tak kuduga-duga. Ada juga si teman nakula yang seperti dia. Intinya aku benar
benar iri dengan mereka berdua untuk hal yang satu ini. Soalnya aku biasanya
memilih memejamkan mata dalam penantian. Atau menyandarkan dagu ke telapak
tangan.
Aku
mengenalnya sebagai orang yang tak banyak bicara, tapi begitu terasa bagaimana
ia menghormati teman-temannya. Menyatakan perasaan-perasaannya. Rasa
persaudaraan yang dimiliki terlihat begitu erat. Bahkan aku yang tidak biasa
melihat pun bisa merasakannya. Dia yang mudah berempati dan simpati, dia yang
kadang di tulisannya bilang bahwa ada air mata yang mengalir dari sudut
matanya.
Ia
yang tak banyak bicara, bahkan dulu di bulan bulan awal samapai aku tidak tahu yang
mana orangnya.
Terima
kasih banyak. Aku butuh banyak belajar darimu.
Devi!
BalasHapus