Rabu, 19 Agustus 2015

Telur Goreng (Retell)



            Entah kenapa hari ini aku ingin menceritakan sepenggal kisah telur goreng ini lagi. Meskipun sebenarnya sudah pernah kutuliskan sebelumnya disini. Tapi tak apalah, ini adalah rumah ku menaruh segala pikiran, rumah untuk meluapkan kerisauan dan tempat dimana aku bisa menyembuhkan hati meski tanpa harus meminum pil obat yang pahit.

            Lana sekarang berumur kelas 3 SD. Di tiap jam pulang sekolah, ia selalu terburu-buru untuk segera pulang. Berlari dengan menggenggam gantungan tas di kedua tangannya. Tas pink bergambar Barbie. Rambutnya yang dikepang dua turut berguncang ketika ia “melarikan diri” dari sekolah.

            Ada moment tiap siang yang tidak ingin dia lewatkan? Moment memegang gadget? Oh tidak. Memasak bersama Bunda di dapur adalah sesuatu yang patut Lana nantikan. Di samping dirinya ingin belajar memasak (kata temennya kalau perempuan bisa masak itu nambah cantik wajahnya) namun yang paling  utama adalah saat dia bisa menceritakan seluruh kejadian di sekolah dengan bebas ketika bunda memasak. dan yang terpenting, Lana selalu mendapat cicipan pertama dari masakan lezat bunda.


            Telur di tangan sudah ia pecahkan dengan garpu. Dituangkan ke dalam mangkuk cembung untuk kemudian di beri sayuran serta sedikit garam. Lana aduk-aduk “adonan” telur itu hingga tercampur rata. Persis seperti yang Bunda lakukan karena Lana hafal betul cara membuat telur.

            Ia tuangkan adonan ke atas wajan yang berisi minyak goreng panas. Dibarengi dengan adegan Lana di pangku ibunya, maklum Lana masih berusia anak-anak dan tentu tingginya belum sampai untuk bisa masak di dapur dengan mandiri. Bunda yang dari tadi memegangi Lana pun tampak senyam-senyum. Tak berbicara banyak mengntruksikan ini itu, ia benar-benar ingin anak perempuannya belajar dari pengalaman.

            Telur telah disajikan di atas piring. Gigitan pertama langsung dilahap Lana.

            “Bu, bawahnya masih mentah”

            Bunda lagi-lagi tersenyum sembari mengambil potongan kecil telur goreng buatan Lana.

            “Kok bisa mentah ya Bu?”
            “Lana sayang, Lana tadi membalik telurnya atau tidak?”
            “Harus dibalik kah Bu, Lana soalnya tidak pernah melihat ibu membalik telur ketika ibu yang masak.”
            “Iya sayang, itu karena Lana tingginya masih segini” sembari memegang rambut hitam halus milik Lana.
            “Jadi Lana tidak bisa melihat Ibu selalu membalikkan telur, Ayo sayang dimakan, biar cepat tinggi, biar telurnya tidak gosong sebagian dan mentah sebagian lagi”

            Meskipun telur yang disajikan setengan mentah, sungguh tak ada yang tersisa di atas piring. Mereka habiskan sembari gelak tawa mendengar cerita Lana di sekolah pagi itu
            ***

            Itu hanya perihal telur gosong dan setengah mentah karena tidak dibalik. Lalu bagaimana jika menyangkut dengan seseorang. Menjustifikasi segolongan pihak bersalah, sebagian yang lain lebih unggul jika hanya mendapat keterangan dan informasi hanya dari satu sisi.

            Kita tidak bisa menggoreng telur jika hanya mengamati satu sisi dengan tidak memperhatikan sisi yang lain. Kita juga tidak boleh “berprasangka buruk” jika yang kita lihat baru satu sisi. Minimal diperlukan dua.

            Bisa gosong nantinya.


0 komentar:

Posting Komentar