Sabtu, 22 Agustus 2015

Bukan Milik Kita



Bagaimana jika rumah yang kita tempati, bukan milik kita sendiri. Kita hanya menumpang. Meminta izin untuk menetap beberapa waktu di suatu rumah bukan milik kita. Bagaimana jika ternyata kita tidak sanggup berdamai dengan si pemilik rumah. Tidak saling bertegur sapa, menanyakan kabar. Hanya berjumpa dengan senyum seribu bahasa. Senyum yang mungkin terlihat dipaksakan.

Bagaimana jika ternyata si pemilik rumah sudah enggan lagi berbicara kepada kita, enggan menasehati jika kita salah, lantaran kita selalu membantah apa yang mereka katakan. Sehingga si pemilik rumah memutuskan untuk diam saja.

Bukankah kita sebagai seorang yang menumpang akan merasa sedih? Atau karena saking kerasnya hati kita, kita tetap tidak mau untuk sekedar berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu. Menyadari bahwa diri ini juga kadang salah, tak peduli sudah seberapa tinggi pendidikan kita. Sebuah kesalahan akan selalu ada dalam hidup, tidakkah kita menerimanya saja? Menerima bahwa kita yang menumpang juga memiliki keterbatasan? Menerima nasehat dari si pemilik rumah dengan hati senang.

Ini baru perkara rumah.

Tempat kita berpijak sekarang, langit di atas kepala dan matahari yang selalu berjanji untuk muncul tiap pagi pun bukankah itu bukan milik kita? Seluruh isi dunia ini kepunyaan Sang Pencipta. Kita disini hanyalah orang yang menumpang dan seyogyanya sebagai orang yang menumpang, kita harusnya berlaku sopan kepada yang punya bukan?

Duhai, terkadang aku merasa sedih, karena diriku masih mendiamkan yang punya nafas ini. Merindukan perjumpaan dengan-Nya pun hanya kadang. Meski berjumpa lima kali sehari, tapi itu hanya perjumpaan yang begitu singkat karena diriku kalut dan hanyut berbagai urusan “yang ditumpangi”. Terburu-buru menyudahi pertemuan. Seolah dunia sekarang sudah menjadi milikku. Terlupa akan yang punya kehidupan. Yang Maha Kaya.

Jangankan rumah atau dunia.
Bahkan tubuh kita sendiri bukanlah milik kita


0 komentar:

Posting Komentar