Bagaimana jika rumah yang kita tempati, bukan milik kita
sendiri. Kita hanya menumpang. Meminta izin untuk menetap beberapa waktu di
suatu rumah bukan milik kita. Bagaimana jika ternyata kita tidak sanggup
berdamai dengan si pemilik rumah. Tidak saling bertegur sapa, menanyakan kabar.
Hanya berjumpa dengan senyum seribu bahasa. Senyum yang mungkin terlihat
dipaksakan.
Bagaimana jika ternyata si pemilik rumah sudah enggan
lagi berbicara kepada kita, enggan menasehati jika kita salah, lantaran kita
selalu membantah apa yang mereka katakan. Sehingga si pemilik rumah memutuskan
untuk diam saja.
Bukankah kita sebagai seorang yang menumpang akan merasa
sedih? Atau karena saking kerasnya hati kita, kita tetap tidak mau untuk
sekedar berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu. Menyadari bahwa diri ini
juga kadang salah, tak peduli sudah seberapa tinggi pendidikan kita. Sebuah
kesalahan akan selalu ada dalam hidup, tidakkah kita menerimanya saja? Menerima
bahwa kita yang menumpang juga memiliki keterbatasan? Menerima nasehat dari si
pemilik rumah dengan hati senang.
Ini baru perkara rumah.
Tempat kita berpijak sekarang, langit di atas kepala dan
matahari yang selalu berjanji untuk muncul tiap pagi pun bukankah itu bukan
milik kita? Seluruh isi dunia ini kepunyaan Sang Pencipta. Kita disini hanyalah
orang yang menumpang dan seyogyanya sebagai orang yang menumpang, kita harusnya
berlaku sopan kepada yang punya bukan?
Duhai, terkadang aku merasa sedih, karena diriku masih
mendiamkan yang punya nafas ini. Merindukan perjumpaan dengan-Nya pun hanya
kadang. Meski berjumpa lima kali sehari, tapi itu hanya perjumpaan yang begitu
singkat karena diriku kalut dan hanyut berbagai urusan “yang ditumpangi”. Terburu-buru
menyudahi pertemuan. Seolah dunia sekarang sudah menjadi milikku. Terlupa akan
yang punya kehidupan. Yang Maha Kaya.
Jangankan rumah atau dunia.
Bahkan
tubuh kita sendiri bukanlah milik kita
0 komentar:
Posting Komentar