Entah kenapa hari ini
aku ingin menceritakan sepenggal kisah telur goreng ini lagi. Meskipun
sebenarnya sudah pernah kutuliskan sebelumnya disini. Tapi tak apalah, ini
adalah rumah ku menaruh segala pikiran, rumah untuk meluapkan kerisauan dan tempat
dimana aku bisa menyembuhkan hati meski tanpa harus meminum pil obat yang
pahit.
Lana sekarang berumur
kelas 3 SD. Di tiap jam pulang sekolah, ia selalu terburu-buru untuk segera
pulang. Berlari dengan menggenggam gantungan tas di kedua tangannya. Tas pink
bergambar Barbie. Rambutnya yang dikepang dua turut berguncang ketika ia “melarikan
diri” dari sekolah.
Ada moment tiap siang
yang tidak ingin dia lewatkan? Moment memegang gadget? Oh tidak. Memasak
bersama Bunda di dapur adalah sesuatu yang patut Lana nantikan. Di samping
dirinya ingin belajar memasak (kata temennya kalau perempuan bisa masak itu
nambah cantik wajahnya) namun yang paling
utama adalah saat dia bisa menceritakan seluruh kejadian di sekolah dengan
bebas ketika bunda memasak. dan yang terpenting, Lana selalu mendapat cicipan
pertama dari masakan lezat bunda.
Telur di tangan sudah
ia pecahkan dengan garpu. Dituangkan ke dalam mangkuk cembung untuk kemudian di
beri sayuran serta sedikit garam. Lana aduk-aduk “adonan” telur itu hingga
tercampur rata. Persis seperti yang Bunda lakukan karena Lana hafal betul cara
membuat telur.
Ia tuangkan adonan ke
atas wajan yang berisi minyak goreng panas. Dibarengi dengan adegan Lana di
pangku ibunya, maklum Lana masih berusia anak-anak dan tentu tingginya belum
sampai untuk bisa masak di dapur dengan mandiri. Bunda yang dari tadi memegangi
Lana pun tampak senyam-senyum. Tak berbicara banyak mengntruksikan ini itu, ia
benar-benar ingin anak perempuannya belajar dari pengalaman.
Telur telah disajikan
di atas piring. Gigitan pertama langsung dilahap Lana.
“Bu, bawahnya masih
mentah”
Bunda lagi-lagi
tersenyum sembari mengambil potongan kecil telur goreng buatan Lana.
“Kok bisa mentah ya Bu?”
“Lana sayang, Lana tadi
membalik telurnya atau tidak?”
“Harus dibalik kah Bu,
Lana soalnya tidak pernah melihat ibu membalik telur ketika ibu yang masak.”
“Iya sayang, itu karena
Lana tingginya masih segini” sembari memegang rambut hitam halus milik Lana.
“Jadi Lana tidak bisa melihat
Ibu selalu membalikkan telur, Ayo sayang dimakan, biar cepat tinggi, biar
telurnya tidak gosong sebagian dan mentah sebagian lagi”
Meskipun telur yang
disajikan setengan mentah, sungguh tak ada yang tersisa di atas piring. Mereka
habiskan sembari gelak tawa mendengar cerita Lana di sekolah pagi itu
***
Itu hanya perihal telur
gosong dan setengah mentah karena tidak dibalik. Lalu bagaimana jika menyangkut
dengan seseorang. Menjustifikasi segolongan pihak bersalah, sebagian yang lain
lebih unggul jika hanya mendapat keterangan dan informasi hanya dari satu sisi.
Kita tidak bisa
menggoreng telur jika hanya mengamati satu sisi dengan tidak memperhatikan sisi
yang lain. Kita juga tidak boleh “berprasangka buruk” jika yang kita lihat baru
satu sisi. Minimal diperlukan dua.
Bisa gosong nantinya.