Kamis, 27 Oktober 2016

Itu yang Terbaik

Aku ingin menuturkan kepadamu suatu cerita yang kudengar ketika aku duduk bangku SMA dulu. Cerita yang dituturkan oleh seorang kawan sebagai suatu pembuka tentang acara keagamaan tahun itu. Maukah kau duduk sebentar untuk membaca cerita ini?

                Jadi begini ceritanya.

                ***
                Dulu, di masa lampau tanah-tanah bumi tidak seperti sekarang. Kalau kita bisa menjelajahi waktu kembali ke masa lalu, masih banyak tanah-tanah yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun membentuk hutan. Maka dari itu, masih banyak hewan-hewan yang hidup dan berkeliaran di sana-sini. Rusa dan Kijang di antaranya. Rusa suka pohon dan itulah mengapa dia hidup di hutan. Kau tidak akan menemukan rusa di pekaranganmu sekarang karena yang ada di sekelilingmu saat ini hanyalah tembok-tembok tinggi menjulang dan mobil-mobil berlalu lalang.

Rusa tentu tidak suka tembok dan mobil.

                Saking banyaknya rusa yang berkeliaran, hewan ini sering dijadikan sasaran bagi mereka yang hobi berburu di hutan. Biasanya seperti yang sering kita dengar-dengar dari kisah-kisah jaman dulu, para keluarga raja-lah yang sering diceritakan gemar berburu Rusa. Tak terkecuali seorang Raja bernama Raja ini. Ingat nama Raja ini adalah Raja.

                Raja merasa tertantang ketika mendengar sebuah rumor bahwa di dalam hutan pedalaman yang belum pernah ia singgahi, terdapat seekor rusa yang memiliki tanduk begitu indah. Bercabang-cabang dan bersih berkilau bagaikan terbuat dari emas. Raja begitu tertarik. Maka Raja mulai menyusun segala persiapan untuk berangkat berburu lusa. (cerita tentang rusa bisa dilihat di sini)

                Kuda-kuda telah berjejer rapi, dan busur-busur telah ditenggerkan ke pundak Raja dan masing-masing prajuritnya. Pada keberangkatan kali ini, Raja mengajak serta penasehat kerajaan bernama Hakim. Ada yang begitu istimewa (untuk tidak dibilang aneh) dari pribadi Hakim ini, ketika dimintai nasehat dia akan selalu mengatakan itulah yang terbaik. Sejauh ini kalimat itu yang selalu keluar dari mulutnya.

                Raja dan rombongan telah tiba di hutan tujuan. Mereka memutuskan untuk menginap di sebuah gubuk kosong tak berpenghuni di tengah hutan. Meskipun tak semegah istananya, tapi Raja merasa beruntung bisa menemukan gubuk di tengah hutan seperti ini. Bahkan entah difungsikan sebagai apa, di dalam gubuk tersebut terdapat kotak bawah tanah yang dibatasi dengan jeruji besi. Persis seperti sebuah penjara.

                Malam itu, Yang Mulia Raja memutuskan untuk membantu mengupas buah apel di dapur. Para prajurit sempat menolak, namun sang Raja justru memaksa. Ia terus mengupas dan memotong-motong buah apel sambil bersenandung riang. Membayangkan bilamana Rusa bertanduk indah itu berhasil ditangkap.

                “Arghhhhhh!”

                Seisi gubuk menjadi panik mendengar sebuah teriakan keras. Para prajurit bergegas menuju sumber suara yang berasal dari dapur. Darah terlihat menetes dari sebuah jari kelingking milik seorang yang berteriak keras tadi, yang tak lain adalah Sang Raja. Jari kelingkingnya tangan kirinya telah putus terkena sebilah pisau.

                ***

                Keadaan mulai mereda, Raja tidak lagi menjerit kesakitan setelah ditangani oleh para prajuritnya. Namun, meskipun rasa sakitnya mulai berkurang, tetap saja kelingking yang telah terpotong tidak bisa disambung dan dikembalikan seperti sedia kala.

                “Hakim, sebagai penasehat kerajaan. Bagaimana pendapatmu tentang kelingkingku yang hilang ini?”
                “Saya turut bersedih, Paduka. Tapi itulah yang terbaik.”

                Wajah Raja seketika menjadi merah padam. Ia menggebrakkan meja dengan tangan kanannya (jari-jari tangan kanan masih lengkap. Ingat yang jari yang putus adalah tangan kiri). Memerintahkan para prajurit untuk menjebloskan Hakim ke dalam penjara bawah tanah atas jawabannya barusan.

                “Sialan, penasehat macam apa kau ini. Berani-berani bilang bahwa kelingkingku yang putus adalah yang terbaik?”

                Hakim diseret dan dilemparkan ke ruang bawah tanah. Penjara tersebut tidak akan terlihat jika tidak benar-benar menundukan kepala ke arah lantai. Hanya ada sedikit lubang seukuran lubang tikus untuk bernafas.

                “Itu yang terbaik!” ujar Hakim pelan di balik jeruji besi.

                ***

                Raja berangkat berburu paginya seperti yang sudah direncanakan. Di waktu berburu itu ia berharap agar bisa menjadi penghibur hati atas hilangnya kelingkingnya sekarang. Lebih-lebih atas jawaban kurang ajar Hakim kepada dirinya.

                Hutan pedalaman ini memang unik. Pepohonannya begitu rimbun sehingga terlihat garis-garis lurus cahaya yang menembus payung dedaunan. Rusa yang hidup di sini juga berjumlah lebih banyak dari hutan lain. Namun, hati Raja belum puas karena hingga sore menjelang, ia masih belum melihat sosok rusa bertanduk indah yang dirumorkan.

                Semua wajah tertunduk lesu ketika berjalan pulang ke gubuk singgah. Namun kemudian, mata Raja serasa tertusuk oleh sebuah kilatan sinar di tengah hutan. Ia beranjak selangkah demi selangkah dan yang ia temukan membuatnya tercengang. Rusa yang dari tadi dia incar tengah berdiri santai dengan rusa betina yang lain di pinggiran danau. Tanduknya memang begitu indah, lekak-lekuk dan percabangan tanduk rusa yang dilihat ini begitu berbeda dari rusa biasanya. Indah menawan. Selain itu, kakinya juga gemuk berisi, tidak seperti rusa lain yang kurus kering sehingga membuat lari mereka begitu lincah.

                Segera Raja dan rombongan berlari mengejar dan memburu Rusa bertanduk indah tersebut.

                Namun, derap kaki yang terdengar lebih banyak dari langkah kaki-kaki mereka. Raja mengejar si rusa, namun dirinya juga serasa ada sesuatu yang mengejarnya, langkah yang seakan sedang memburu Raja dan prajurit juga.

                Langkah mereka terhenti, dari arah kiri dan kanan mereka sekarang justru diserbu oleh sekelompok manusia. Pakaian mereka awut-awutan dan teriakan mereka begitu buas seakan kelaparan. Mereka hanya saling berteriak untuk berkomunikasi satu sama lainnya. Mereka adalah suku bar-bar yang tinggal di dalam hutan.

                ***

                Api unggun telah dinyalakan. Kuali besar pun telah diposisikan di atas api yang membara. Beberapa orang terlihat menceburkan lobak, dan sayuran ke dalam kuali tersebut. Tak lupa dengan rusa yang telah dikuliti ikut dilempar di kuali.

                Suku bar-bar yang tadi menyerang Raja dan prajurit sekarang duduk melingkar sambil meneriakkan suara-suara teriakan saling bersahut-sahutan. Sedang Raja dan prajurit terikat kuat sehingga tidak bisa bergerak.

                “Arghhhh…” teriak salah seorang prajurit.

                Dua orang suku bar-bar langsung menyeretnya tak kala ketua suku menyuruh mereka untuk memasukkan prajurit tersebut ke dalam kuali besar. Dan begitu seterusnya sampai ketua suku berdiri tepat di hadapan Raja.

                “Hei, aku Raja mu. Penguasa seluruh dataran negeri ini. Termasuk hutan ini!”

                Ketua suku hanya terus menatap dari kepala sampai ke ujung kaki Raja. Mereka jelas tidak tahu apa yang dikatakan Raja. Dan tentu saja mereka tidak tahu pula siapakah Raja itu. Malam ini, yang mereka tahu, mereka akan berpesta besar dan makan-makan sampai malam.

                Raja sudah begitu pasrah, ia hanya diam saja dan tertunduk lemas. Pikirnya pasti dirinya juga akan dilemparkan pula ke dalam kuali besar.

                “Huhuhu, Hahaha!” sekarang justru Tetua suka berteriak-teriak. Diikuti dengan teriakan dari suku bar-bar lainnya. Ia berteriak ketika matanya terhenti pada jari kelingking tangan kiri Raja.

                Mereka semua sekarang justru tampak begitu ketakutan.
                Sang Raja disuruh pergi dari hadapan para suku bar-bar.
                ***

                “Bagi suku bar-bar, ketika memakan yang tidak sempurna tubuhnya. Maka barang siapa yang memakannya ataupun yang mendekatinya, mereka percaya bahwa keturunan mereka akan terlahir cacat lebih parah. Dan jari kelingking Raja yang telah terputus akibat memotong buah apel membuat mereka mengusir Raja. Mereka suku bar-bar begitu takut kalau keturunan cacat.”

                Raja melangkah kembali dalam gubuk dengan perasaan sedih dan takut tak terkira. Di dalam gubuk pun, tubuh-tubuh para prajurit sudah tidak bernyawa. Dan ia mendengar suara seseorang dari balik jeruji bawah tanah.

                “Kaukah itu, Hakim?”
                “Iya, Paduka.”
                “Bagaimana kau bisa selamat?”

                “Untunglah Raja memenjarakanku di sini, ketika sekelompok suku bar-bar datang ke gubuk ini, mereka tidak tahu bahwa ada sebuah ruangan bawah tanah yang hanya ada lubang sebesar tikus ini. Aku melihat mereka dari bawah berteriak-teriak dan seakan bersorak sorai. Dan mereka tidak melihatku karena aku berada di ruangan sempit nan gelap ini, Paduka.”

                “Untunglah Paduka memenjarakanku. Terima kasih banyak.”
                Raja pun menangis. Ia membuka kembali gembok penjara bawah tanah tersebut.

                “Itu yang terbaik, Paduka.”
*****


0 komentar:

Posting Komentar