Aku ingin menuturkan kepadamu suatu cerita yang kudengar
ketika aku duduk bangku SMA dulu. Cerita yang dituturkan oleh seorang kawan
sebagai suatu pembuka tentang acara keagamaan tahun itu. Maukah kau duduk
sebentar untuk membaca cerita ini?
Jadi
begini ceritanya.
***
Dulu,
di masa lampau tanah-tanah bumi tidak seperti sekarang. Kalau kita bisa
menjelajahi waktu kembali ke masa lalu, masih banyak tanah-tanah yang ditumbuhi
pepohonan yang rimbun membentuk hutan. Maka dari itu, masih banyak hewan-hewan
yang hidup dan berkeliaran di sana-sini. Rusa dan Kijang di antaranya. Rusa
suka pohon dan itulah mengapa dia hidup di hutan. Kau tidak akan menemukan rusa
di pekaranganmu sekarang karena yang ada di sekelilingmu saat ini hanyalah
tembok-tembok tinggi menjulang dan mobil-mobil berlalu lalang.
Rusa tentu tidak suka tembok dan mobil.
Saking
banyaknya rusa yang berkeliaran, hewan ini sering dijadikan sasaran bagi mereka
yang hobi berburu di hutan. Biasanya seperti yang sering kita dengar-dengar
dari kisah-kisah jaman dulu, para keluarga raja-lah yang sering diceritakan
gemar berburu Rusa. Tak terkecuali seorang Raja bernama Raja ini. Ingat nama
Raja ini adalah Raja.
Raja
merasa tertantang ketika mendengar sebuah rumor bahwa di dalam hutan pedalaman
yang belum pernah ia singgahi, terdapat seekor rusa yang memiliki tanduk begitu
indah. Bercabang-cabang dan bersih berkilau bagaikan terbuat dari emas. Raja
begitu tertarik. Maka Raja mulai menyusun segala persiapan untuk berangkat
berburu lusa. (cerita tentang rusa bisa dilihat di sini)
Kuda-kuda
telah berjejer rapi, dan busur-busur telah ditenggerkan ke pundak Raja dan
masing-masing prajuritnya. Pada keberangkatan kali ini, Raja mengajak serta
penasehat kerajaan bernama Hakim. Ada yang begitu istimewa (untuk tidak
dibilang aneh) dari pribadi Hakim ini, ketika dimintai nasehat dia akan selalu
mengatakan itulah yang terbaik. Sejauh ini kalimat itu yang selalu keluar dari
mulutnya.
Raja
dan rombongan telah tiba di hutan tujuan. Mereka memutuskan untuk menginap di
sebuah gubuk kosong tak berpenghuni di tengah hutan. Meskipun tak semegah
istananya, tapi Raja merasa beruntung bisa menemukan gubuk di tengah hutan
seperti ini. Bahkan entah difungsikan sebagai apa, di dalam gubuk tersebut
terdapat kotak bawah tanah yang dibatasi dengan jeruji besi. Persis seperti
sebuah penjara.
Malam
itu, Yang Mulia Raja memutuskan untuk membantu mengupas buah apel di dapur.
Para prajurit sempat menolak, namun sang Raja justru memaksa. Ia terus mengupas
dan memotong-motong buah apel sambil bersenandung riang. Membayangkan bilamana
Rusa bertanduk indah itu berhasil ditangkap.
“Arghhhhhh!”
Seisi
gubuk menjadi panik mendengar sebuah teriakan keras. Para prajurit bergegas
menuju sumber suara yang berasal dari dapur. Darah terlihat menetes dari sebuah
jari kelingking milik seorang yang berteriak keras tadi, yang tak lain adalah
Sang Raja. Jari kelingkingnya tangan kirinya telah putus terkena sebilah pisau.
***
Keadaan
mulai mereda, Raja tidak lagi menjerit kesakitan setelah ditangani oleh para
prajuritnya. Namun, meskipun rasa sakitnya mulai berkurang, tetap saja
kelingking yang telah terpotong tidak bisa disambung dan dikembalikan seperti
sedia kala.
“Hakim,
sebagai penasehat kerajaan. Bagaimana pendapatmu tentang kelingkingku yang
hilang ini?”
“Saya
turut bersedih, Paduka. Tapi itulah yang terbaik.”
Wajah
Raja seketika menjadi merah padam. Ia menggebrakkan meja dengan tangan kanannya
(jari-jari tangan kanan masih lengkap. Ingat yang jari yang putus adalah tangan
kiri). Memerintahkan para prajurit untuk menjebloskan Hakim ke dalam penjara
bawah tanah atas jawabannya barusan.
“Sialan,
penasehat macam apa kau ini. Berani-berani bilang bahwa kelingkingku yang putus
adalah yang terbaik?”
Hakim
diseret dan dilemparkan ke ruang bawah tanah. Penjara tersebut tidak akan
terlihat jika tidak benar-benar menundukan kepala ke arah lantai. Hanya ada
sedikit lubang seukuran lubang tikus untuk bernafas.
“Itu
yang terbaik!” ujar Hakim pelan di balik jeruji besi.
***
Raja
berangkat berburu paginya seperti yang sudah direncanakan. Di waktu berburu itu
ia berharap agar bisa menjadi penghibur hati atas hilangnya kelingkingnya
sekarang. Lebih-lebih atas jawaban kurang ajar Hakim kepada dirinya.
Hutan
pedalaman ini memang unik. Pepohonannya begitu rimbun sehingga terlihat
garis-garis lurus cahaya yang menembus payung dedaunan. Rusa yang hidup di sini
juga berjumlah lebih banyak dari hutan lain. Namun, hati Raja belum puas karena
hingga sore menjelang, ia masih belum melihat sosok rusa bertanduk indah yang
dirumorkan.
Semua
wajah tertunduk lesu ketika berjalan pulang ke gubuk singgah. Namun kemudian,
mata Raja serasa tertusuk oleh sebuah kilatan sinar di tengah hutan. Ia
beranjak selangkah demi selangkah dan yang ia temukan membuatnya tercengang.
Rusa yang dari tadi dia incar tengah berdiri santai dengan rusa betina yang
lain di pinggiran danau. Tanduknya memang begitu indah, lekak-lekuk dan
percabangan tanduk rusa yang dilihat ini begitu berbeda dari rusa biasanya.
Indah menawan. Selain itu, kakinya juga gemuk berisi, tidak seperti rusa lain
yang kurus kering sehingga membuat lari mereka begitu lincah.
Segera
Raja dan rombongan berlari mengejar dan memburu Rusa bertanduk indah tersebut.
Namun,
derap kaki yang terdengar lebih banyak dari langkah kaki-kaki mereka. Raja
mengejar si rusa, namun dirinya juga serasa ada sesuatu yang mengejarnya,
langkah yang seakan sedang memburu Raja dan prajurit juga.
Langkah
mereka terhenti, dari arah kiri dan kanan mereka sekarang justru diserbu oleh
sekelompok manusia. Pakaian mereka awut-awutan dan teriakan mereka begitu buas
seakan kelaparan. Mereka hanya saling berteriak untuk berkomunikasi satu sama
lainnya. Mereka adalah suku bar-bar yang tinggal di dalam hutan.
***
Api
unggun telah dinyalakan. Kuali besar pun telah diposisikan di atas api yang
membara. Beberapa orang terlihat menceburkan lobak, dan sayuran ke dalam kuali
tersebut. Tak lupa dengan rusa yang telah dikuliti ikut dilempar di kuali.
Suku
bar-bar yang tadi menyerang Raja dan prajurit sekarang duduk melingkar sambil
meneriakkan suara-suara teriakan saling bersahut-sahutan. Sedang Raja dan
prajurit terikat kuat sehingga tidak bisa bergerak.
“Arghhhh…”
teriak salah seorang prajurit.
Dua
orang suku bar-bar langsung menyeretnya tak kala ketua suku menyuruh mereka untuk
memasukkan prajurit tersebut ke dalam kuali besar. Dan begitu seterusnya sampai
ketua suku berdiri tepat di hadapan Raja.
“Hei,
aku Raja mu. Penguasa seluruh dataran negeri ini. Termasuk hutan ini!”
Ketua
suku hanya terus menatap dari kepala sampai ke ujung kaki Raja. Mereka jelas
tidak tahu apa yang dikatakan Raja. Dan tentu saja mereka tidak tahu pula
siapakah Raja itu. Malam ini, yang mereka tahu, mereka akan berpesta besar dan
makan-makan sampai malam.
Raja
sudah begitu pasrah, ia hanya diam saja dan tertunduk lemas. Pikirnya pasti
dirinya juga akan dilemparkan pula ke dalam kuali besar.
“Huhuhu,
Hahaha!” sekarang justru Tetua suka berteriak-teriak. Diikuti dengan teriakan
dari suku bar-bar lainnya. Ia berteriak ketika matanya terhenti pada jari
kelingking tangan kiri Raja.
Mereka
semua sekarang justru tampak begitu ketakutan.
Sang
Raja disuruh pergi dari hadapan para suku bar-bar.
***
“Bagi
suku bar-bar, ketika memakan yang tidak sempurna tubuhnya. Maka barang siapa
yang memakannya ataupun yang mendekatinya, mereka percaya bahwa keturunan mereka
akan terlahir cacat lebih parah. Dan jari kelingking Raja yang telah terputus
akibat memotong buah apel membuat mereka mengusir Raja. Mereka suku bar-bar
begitu takut kalau keturunan cacat.”
Raja
melangkah kembali dalam gubuk dengan perasaan sedih dan takut tak terkira. Di
dalam gubuk pun, tubuh-tubuh para prajurit sudah tidak bernyawa. Dan ia
mendengar suara seseorang dari balik jeruji bawah tanah.
“Kaukah
itu, Hakim?”
“Iya,
Paduka.”
“Bagaimana
kau bisa selamat?”
“Untunglah
Raja memenjarakanku di sini, ketika sekelompok suku bar-bar datang ke gubuk
ini, mereka tidak tahu bahwa ada sebuah ruangan bawah tanah yang hanya ada
lubang sebesar tikus ini. Aku melihat mereka dari bawah berteriak-teriak dan
seakan bersorak sorai. Dan mereka tidak melihatku karena aku berada di ruangan
sempit nan gelap ini, Paduka.”
“Untunglah
Paduka memenjarakanku. Terima kasih banyak.”
Raja
pun menangis. Ia membuka kembali gembok penjara bawah tanah tersebut.
“Itu
yang terbaik, Paduka.”
*****