Aku ingin bercerita kepadamu tentang takjil yang bukan paling
favorit. Karena jika kau tanyakan padaku takjil apa yang paling kusuka, aku
akan sigap dan lancar menjawab takjil yang dibuat ibuku dan dimakan bersama keluargaku.
Aku yakin diriku bukanlah satu-satunya orang yang akan memberikan jawaban
seperti ini. Mungkin kau juga. Karena entah kenapa kalau soal keluarganya
segalanya lebih berasa meskipun dengan menu takjil paling sederhana.
Aku tak akan bercerita takjil apa
yang sering ibuku buat, sungguh aku takut nanti air liurmu keluar atau kau
buru-buru hendak mampir ke rumahku di waktu berbuka. Bukannya kau tidak boleh
mampir, hanya saja jarak jogja ke comal kotaku sangatlah jauh. Jadi kali ini
aku hanya ingin bercerita tentang takjil yang bukan paling favorit di Jogja.
Tempat biasaku bertemu denganmu.
Kau pasti sudah hafal betul bahwa
menjadi anak kos-kosan di kampus sekitaran Jogja mempunyai berkah tersendiri di
bulan puasa ini. Masjid-masjid di sekitar tempatku menuntut ilmu ini banyak
yang memberikan takjil untuk berbuka puasa secara cuma-cuma, dan kadang tidak
tanggung-tanggung langsung beratus bungkus menu berbuka sudah dipersiapkan. Nah
ya aku dan temanku sebagai mahasiswa tidak menolak dengan kedermawaan orang-orang
sini. Dan karena itu kudoakan kebaikan kepada mereka. Semoga kebaikan yang
mereka berikan akan kembali dalam keberkahan yang berlipat-lipat.
Pernah di suatu sore aku diajak oleh
salah satu kawanku. Menjadi obrolan wajib sebelum memilih masjid mana yang
hendak kita sambangi sore itu.
“Eh buka dimana, Bro?”
“Di masjid yang di sana aja yuk,
biar deket kontrakanku yang baru?”
“Enggak di tempat biasa aja?”
“Sekali-kali lah”
Mendengar kalimat sekali-kalilah
membuat hatiku condong mengikutinya. Ya hitung-hitung safari masjid kalau kata
temenku yang satu itu.
“Menu apa ya yang kita dapat hari
ini?”
Agak kaget ketika kaki melangkah
masuk ke dalam masjid. Di masjid yang biasa kami datangi, kotak-kotak menu takjil sudah
terbariskan rapi dan kita hanya perlu duduk sembari mendengarkan kajian sore
sebelum buka. Sedangkan masjid yang kudatangi sore itu lain, tak ada kardus
makanan.
“Ah mungkin kalau sudah adzan nanti
dibagikan atau ada tempat khusus,” batinku.
Adzan telah berkumandang dan ada mas-mas yang
mempersilakan kita untuk beranjak ke sebelah masjid. Sudah ada teh dan kardus
kecil yang sama dengan dibawa oleh anak-anak TPA selesai mengaji.
“Lho, kok kecil?” kalimat itu tak
pernah terucap karena ia hanya bersemayam di hatiku yang heran.
“Tahu gitu aku ke masjid biasa.”
Lagi-lagi kalimat ini hanya ada di pikiranku.
Semua orang yang berada di masjid
kemudian sholat maghrib berjamaah.
***
Beberapa
orang menyodorkan nasi kepada jamaah yang keluar dari masjid seusai sholat. Aku
menerimanya, kotak nasi yang kupikir tidak akan kudapatkan. Kami berdua
beranjak pulang. Diperjalanan kami berbincang banyak hal, termasuk hal yang
mengganjal di pikiranku.
“Aku kira nggak bakalan dapat makan
tadi, Bro?”
“Kenapa emang?”
“Ya tahu gitu kan mending ke masjid
yang biasa aja.”
“Lho emang ada kewajiban mereka po
memberi kita nasi?”
“Tidak,” dan lidahku tiba-tiba
tergigit dengan pertanyaan yang dilontarkan kawan sebelahku.
***
Sore itu, dari sekotak takjil yang
bukan paling favorit aku mengerti satu hal. Rasa yang mengganggu di pikiranku
itu ada karena sebelum berangkat aku sudah berpikir akan mendapat sesuatu.
Sekotak nasi. Sore itu aku mulai berekspektasi. Dan layaknya semua ekspektasi,
jika tidak memenuhi, maka hanya akan ada rasa kecewa hati. Toh memang tak ada
kewajiban mereka untuk memberikan sesuatu kepadaku.
Hari itu, kalau saja aku tidak
berharap apa-apa, aku pasti akan lebih bersyukur menerima apapun yang
diberikan. Secara, harusnya malah aku nggak dapat apa-apa.
Ah iya, sore itu rasa takjil yang
bukan paling favorit itu jadi terasa berbeda.
Terima kasih kepada beliau-beliau
yang telah berbaik hati berbagi di tiap waktu berbuka kami.