Minggu, 26 Juli 2015

Aku dan Kemarahan



            Mobil telah terparkir di halaman depan rumah berwarna orange. Dari balik pintu turun rombongan keluarga dari daerah Comal. Turun pertama kali gadis kecil berkepang dua. Menarik-narik kakak laki-lakinya untuk segera keluar.

            Menjadi sebuah tradisi tahunan bahwa keluarga Lana dan Rehan akan berkunjung ke sanak saudara. Silaturahim sekaligus meminta maaf atas segala kesalahan. Lana sangat menyukai acara seperti ini, untuk pertama karena beberapa lembar angpau untuk jajan, dan yang utama karena bisa mendengar cerita-cerita dari paman, bibi dan sepupu-sepupunya. Kunjungan pagi ini, ia berharap mendapatkan cerita dari seorang atlet lari sekaligus adik dari ayahnya. Om Taufik namanya.

            “Wah Om, pialanya banyak sekali.”
          “Ju-a-ra nasional, juara kecamatan, duh sampai lana nggak bisa ngitung berapa tulisan juaranya Om. Kok bisa si Om? Lana ingin tahu boleh?”
            “Ingin tahu kok minta izin?”
            “Eh maksud Lana, Lana boleh tahu rahasianya Om?”
            “Rahasia? Ehm, Om lari kalau marah”
            “Eh maksud Om?”

            “Kalau Om sedang marah, Om langsung lari-lari kencang muterin taman kota. Entar kan Om jadi nggak marah lagi karena tenaga om sudah habis buat lari. Dan lama kelamaan lari Om jadi tambah kenceng.”

            “Wah, Om. Lana baru denger yang ginian.”
            “Kalau Lana pas marah ngapain?”

           “Nimpukin Kak Rehan pakai bantal Om Taufik.” Jawab Lana dengan bangga, bahkan gayanya bak melebihi mendapat juara emas di tingkat nasional.

            Sebuah bantal melayang ke arah gadis kecil berkepang dua tersebut. Tepat sasaran namun tetap lembut mengenai dirinya.


0 komentar:

Posting Komentar