Minggu, 25 Desember 2016

Tentang Hari Wisuda




 “Ceritakan kepadaku tentang hari wisuda!” pinta Lana kepada si tukang cerita. Maka, si tukang cerita itu bercerita tentang Ikhsan.

Pagi itu langit berwarna biru cerah, biasanya tidak seperti itu. Beberapa hari kemarin Jogja selalu diliputi oleh rintik-rintik hujan. Kadang tidak cuma rintik, tapi lebih cocok disebut guyuran.

Sekian ribu orang di ruangan, ditunggu oleh sekian ribu pula kerabat yang di luar. Kepala mendongak dan menyapu pandangan ke pintu utama, berharap yang dilihatnya adalah orang yang sejak dari tadi dinantikan. Seorang mahasiswa yang telah berpindah temali topinya.

Ikhsan di sana, berdiri di antara gerombolan laki-laki dengan korsa biru. Gerombolan yang berseru ketika kakak angkatan muncul dengan senyum bahagia. Ikhsan di sana, memandang dengan bahagia pula kawan-kawannya yang tengah wisuda. Beberapa menghaturkan hadiah, beberapa lagi menyodorkan bunga. Tapi jelas, jumlah tawa yang ada jauh lebih banyak daripada beberapa hadiah dan beberapa bunga. Tawa ketika mengucapkan selamat, tawa ketika berfoto bersama.

“Itu Kamal datang, ayo kita geret dia,” sosok yang baru saja muncul dari balik kerumunan itu langsung dikeroyok dengan ucapan selamat.

“Jadi Kamal keren ya, kehadirannya selalu membuat ramai sekitarnya,”
“Kamu iri ya, San?” orang di sebelah Ikhsan berdiri berusaha menggoda.

Ikhsan diam sejenak. Siapa juga yang tidak iri dengan seorang yang menjadi terbaik di tingkat universitas, menuai banyak prestasi, ikut organisasi sana-sini, sering jalan-jalan ke luar negeri dan begitu supel sehingga diterima dan disambut baik oleh kawan-kawannya.

Mahasiswa mana sih yang nggak iri dengan hal-hal luar biasa seperti itu.
“Tapi aku lebih nyaman jadi diriku sendiri.”



0 komentar:

Posting Komentar