“Ceritakan kepadaku tentang
hari wisuda!” pinta Lana kepada si tukang cerita. Maka, si tukang cerita itu
bercerita tentang Ikhsan.
Pagi itu langit berwarna biru cerah, biasanya tidak seperti itu.
Beberapa hari kemarin Jogja selalu diliputi oleh rintik-rintik hujan. Kadang
tidak cuma rintik, tapi lebih cocok
disebut guyuran.
Sekian ribu orang di ruangan, ditunggu
oleh sekian ribu pula kerabat yang di luar. Kepala mendongak dan menyapu
pandangan ke pintu utama, berharap yang dilihatnya adalah orang yang sejak dari
tadi dinantikan. Seorang mahasiswa yang telah berpindah temali topinya.
Ikhsan di sana, berdiri di antara
gerombolan laki-laki dengan korsa biru. Gerombolan yang berseru ketika kakak
angkatan muncul dengan senyum bahagia. Ikhsan di sana, memandang dengan bahagia
pula kawan-kawannya yang tengah wisuda. Beberapa menghaturkan hadiah, beberapa
lagi menyodorkan bunga. Tapi jelas, jumlah tawa yang ada jauh lebih banyak
daripada beberapa hadiah dan beberapa bunga. Tawa ketika mengucapkan selamat,
tawa ketika berfoto bersama.
“Itu Kamal datang, ayo kita geret dia,”
sosok yang baru saja muncul dari balik kerumunan itu langsung dikeroyok dengan
ucapan selamat.
“Jadi Kamal keren ya, kehadirannya selalu
membuat ramai sekitarnya,”
“Kamu iri ya, San?” orang di sebelah
Ikhsan berdiri berusaha menggoda.
Ikhsan diam sejenak. Siapa juga yang tidak
iri dengan seorang yang menjadi terbaik di tingkat universitas, menuai banyak
prestasi, ikut organisasi sana-sini, sering jalan-jalan ke luar negeri dan
begitu supel sehingga diterima dan disambut baik oleh kawan-kawannya.
Mahasiswa mana sih yang nggak iri dengan hal-hal luar biasa seperti itu.
“Tapi aku lebih nyaman jadi diriku
sendiri.”
0 komentar:
Posting Komentar