Rabu, 28 Desember 2016

Cara Terbaik Menasehati Diri



Aku manusia, dan seperti manusia pada umumnya aku melakukan banyak kesalahan.

Aku manusia, dan seperti manusia pada umumnya aku ingin merasa dinasehati ketika melakukan kesalahan. Meskipun terkadang mau dinasehati bagaimanapun juga, kadang hati ini merasa tetap saja bebal. Seolah-olah masuk telinga kanan, keluar begitu saja melalui telinga kiri. Atau bahkan masuk telinga kanan langsung keluar juga dari telinga kanan. Mental begitu saja.

Kita butuh nasehat, selalu membutuhkannya. Beberapa orang mampu untuk meminta nasehat dari orang lain, beberapa lagi memilih diam. Mereka memilih diam karena terkadang merasa ‘sungkan’ untuk meminta nasehat dari seorang kawan, guru maupun sahabat. Aku juga begitu. Terlalu sering malah.

Maka jika kita sudah meminta nasehat kepada orang lain dan orang tersebut merasa tidak enak untuk memberikan nasehat dengan terus terang, atau ketika kita dinasehati  seseorang yang ada justru kita merasa sebal dengan orang yang berbicara, mungkin itulah saatnya kita belajar untuk menasehati diri sendiri.

Lalu bagaimana caranya untuk menasehati diri sendiri? Banyak caranya. Beberapa orang memilih untuk merenung di tengah sepi, beberapa orang sepertiku justru memilih untuk menuliskannya. Ya, aku merasa salah satu alasan kenapa menyukai menulis sesuatu adalah karena dengan cara itu aku bisa menasehati diriku sendiri. Berbicara kepada diri sendiri.

Kadang aku menuliskannya sebagai suatu cerita, yang mana ketika aku membaca ulang aku tahu persis apa yang melatarbelakangi cerita yang kutulis sebelumnya. Aku tahu persis apa pesan cerita tersebut dan kenapa aku menuliskannya. Kadang sebuah cerita, kadang hanya sebuah tulisan lepas yang tak memiliki tema khusus dalam penulisannya.

Ketika kutuliskan sebuah cerita seorang anak kecil yang marah-marah karena mainannya rusak di tangan temannya, di saat itu pula aku sedang merasakan hal yang sama dan cerita tersebut akan berakhir dengan poin memaafkan. Tentu hal itu bukan berarti aku sedang marah dengan teman karena mainanku dirusak. Itu hanya sebuah adegan fiksi yang kubuat untuk menggambarkan kasus yang sama.

“Yang paling banyak mengerti diri kita, adalah Allah dan diri kita sendiri.” Orang lain hanya tahu secuil tentang diri kita. Tahu secuil kehidupan kita.

Maka dari itu aku menulis, karena menurutku menulis adalah cara terbaik untuk menasehati diri sendiri tanpa merasa dinasehati.

Menulis adalah cara terbaik bertanya sekaligus memperoleh jawaban karena sejatinya sebuah pertanyaan yang terlontar dari kepala, biasanya hati kita sendiri sudah tahu jawabannya.



0 komentar:

Posting Komentar